Muslimspot.com

Minggu, 20 Maret 2011

Perkembangan Praktek Pengadilan Mengenai Keputusan Tata Usaha Negara sebagai Objek Gugatan


Oleh:
Prof Dr Paulus Effendi Lotulung, SH (Ketua Muda Bidang Peradilan Tata Usaha Negara di Mahkamah Agung R.I)

Perkembangan praktek peradilan mengenai KTUN sebagai objek gugatan di Pengadilan TUN yang dalam beberapa tahun terakhir ini marak digugat, yaitu berupa produk-produk hukum berupa Surat Keputusan, dimana Pejabat yang menerbitkannya secara formal berada di luar lingkup Tata Usaha Negara, tetapi substansinya merupakan urusan pemerintahan, misalnya: Surat-surat Keputusan Ketua DPRD mengenai penentuan bakal calon Bupati, Walikota, dan sebagainya, ataupun juga Surat-surat Keputusan Ketua Partai Politik, dan sebagainya.
Demikian juga, ada gugatan-gugatan yang objek gugatannya berupa surat-surat Keputusan Pejabat TUN yang diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada di luar urusan pemerintahan (eksekutif), misalnya: dibidang ketatanegaraan, atau berkaitan dengan bidang politik. Selain itu ada keputusan-keputusan TUN yang menimbulkan titik singgung dengan aspek hukum perdata dalam tugas dan fungsi pemerintahan. Bagaimanakah pembagian kompetensi mengadilinya?
Kompetensi absolut Peradilan TUN diatur di dalam Pasal 1 Angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat Konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 Angka (3) di atas dapat dipahami bahwa suatu KTUN adalah produk yang diterbitkan oleh Pejabat TUN (atau Jabatan TUN) berdasarkan wewenang yang ada padanya (atributie) atau diberikan padanya dalam bidang urusan pemerintah (delegatie). Selanjutnya apa yang dimaksud dengan “urusan pemerintah”?
Penjelasan Pasal 1 Angka (1) menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” ialah “kegiatan yang bersifat eksekutif”. Dengan demikian, tidaklah termasuk di dalamnya kegiatan yang bersifat legislatif dan yudikatif (jika bertitik tolak pada teori trias polika Montesquieu dalam ketatanegaraan mengenai pembidangan kekuasaan Negara).
Salah satu kata kunci yang penting dalam suatu KTUN adalah adanya “wewenang” atau “kewenangan” yang selalu harus ada dan yang menjadi dasar berpijak bagi Pejabat TUN untuk dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dan khususnya dalam hal ini adalah menerbitkan keputusan-keputusan TUN sebagai salah satu instrumen yuridis dalam menjalankan pemerintahan. Wewenang dalam menjalankan urusan pemerintahan tersebut dapat dilakukan melalui perbuatan atau tindakan yang bersifat atau menurut hukum publik, maupun yang bersifat atau menurut hukum privat.

Masalah-masalah Aktual Ketetenagakerjaan


Masalah Aktual Ketenagakerjaan
Dan Pembangunan Hukum di Indonesia
Oleh : Rekson Silaban, SE
Masalah kontemporer ketenagakerjaan Indonesia saat ini menurut analisis saya
berangkat dari 4 (empat) soal besar, yaitu;
1. tingginya jumlah penggangguran massal;
2. rendahnya tingkat pendidikan buruh;
3. minimnya perlindungan hukum
4. upah kurang layak
Pengangguran dan pendidikan rendah
Masalah di atas pada akhirnya tali temali menghadirkan implikasi buruk dalam
pembangunan hukum di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh keempat masalah di atas
dapatlah disimpulkan bahwa akar dari semua masalah itu adalah karena ketidakjelasan
politik ketenagakerjaan nasional. Sekalipun dasar-dasar konstitusi UUD 45 khususnya
pasal 27 dan pasal 34 telah memberikan amanat yang cukup jelas bagaimana
seharusnya negara memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja.
Berikut adalah data ketenagakerjaan Indonesia menurut Sukemas tahun 2002.

Undang-undang tentang Yayasan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG YAYASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Menimbang :
a)    Bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Yayasan.

Undang-undang Ketenagakerjaan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang
a.       bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c.       bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d.      bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e.       bahwa beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f.       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang undang tentang Ketenagakerjaan;
Mengingat
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama antara

Jumat, 18 Maret 2011

Risalah Jum'at 10

PERISTIWA HARI AKHIR
Oleh: Abu Adam Al-Khoyyat (Hartono)

Hadirin jamaah shalat Jum’at rahimakumullah
    Hendaknya seorang Muslim senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah Allah limpahkan kepada kita semua, baik nikmat keimanan, kesehatan dan keluangan waktu sehingga kita bisa melaksanakan kewajiban kita menunaikan shalat Jum’at. Dan hendaklah kita berhati-hati agar jangan sampai menjadi orang yang kufur kepada nikmat Allah. Allah berfirman:

    “Jikalau kalian bersyukur pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kalian mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya siksaku sangat pedih.” (Ibrahim: 7).
    Demikian pula kami wasiatkan untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dalam segala keadaan dan waktu. Takwa, sebuah kata yang ringan diucapkan akan tetapi tidak mudah untuk diamalkan.
    Ketahuilah, wahai saudaraku rahimakumullah, tatkala Umar bin Khaththab Radhiallaahu anhu  bertanya kepada shahabat Ubay bin Ka’ab Radhiallaahu anhu tentang takwa, maka berkatalah Ubay: “Pernahkah Anda berjalan di suatu tempat yang banyak durinya?” Kemudian Umar menjawab: “Tentu” maka berkatalah Ubay: “Apakah yang Anda lakukan”, berkatalah Umar: “Saya sangat waspada dan hati-hati agar selamat dari duri itu”. Lalu Ubay berkata “Demikianlah takwa itu” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1, hal. 55).
    Demikianlah takwa yang diperintahkan oleh Allah dalam kitabNya yakni agar kita senantiasa waspada dan hati-hati dalam setiap tindakan keseharian kita, dan juga dalam ucapan-ucapan kita, oleh karena itu janganlah kita berbuat dan berucap kecuali berdasarkan ilmu.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.
    Hendaklah kita bersegera mencari bekal guna menuju pertemuan kita dengan Allah karena kita tidak tahu kapan ajal kita itu datang. Dan Allah berfirman:
    “Dan berbekallah, maka sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal.” (Al-Baraqah:197).

Risalah Jum'at (7)

URGENSI TAUHID DALAM MENGANGKAT DERAJAT DAN MARTABAT KAUM MUSLIMIN
Oleh: Andri Sugeng Prayoga

 Ma'asyirol Muslimin rahimakumullah ...
          Segala puji bagi Allah, Rabb dan sesembahan sekalian alam, yang telah mencurahkan kenikmatan dan karuniaNya yang tak terhingga dan tak pernah putus sepanjang zaman kepada makhluk-Nya. Baik yang berupa kesehatan, kesempatan sehingga pada kali ini kita dapat menunaikan kewajiban shalat Jum’at.

          Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada pemimpin dan uswah kita Nabi Muhammad, yang melalui perjuangannyalah, cahaya Islam ini sampai kepada kita, sehingga kita terbebas dari kejahiliyahan, dan kehinaan. Dan semoga shalawat serta salam juga tercurahkan kepada keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
          Pada kesempatan kali ini tak lupa saya wasiatkan kepada diri saya pribadi dan kepada jama’ah semuanya, agar kita selalu meningkatkan kwalitas iman dan taqwa kita, karena iman dan taqwa adalah sebaik-baik bekal untuk menuju kehidupan di akhirat kelak.
Ma'asyirol Muslimin rahimakumullah ...
          Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal, menurut tuntunan Islam, tauhidlah yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti. Dan amal yang tidak dilandasi dengan tauhid akan sia-sia, tidak dikabulkan oleh Allah dan lebih dari itu, amal yang dilandasi dengan syirik akan menyengsarakannya di dunia dan di akhirat. Sebagaimana Allah berfirman:
          “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelum kamu, ‘jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”. (Az-Zumar: 65-66)

Risalah Jum'at (6)

BAHAYA SYIRIK DAN KEUTAMAAN TAUHID
Oleh: Agus Hasan Bashori

Ibadallah ! Saya wasiatkan kepada Anda sekalian dan juga kepada saya untuk selalu bertaqwa kepada Allah di mana saja kita berada. Dan janganlah kita mati melainkan dalam Islam.
Telah banyak penjelasan yang menerangkan makna taqwa. Di antaranya adalah pernyataan Thalq bin Habib:
إِذَا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ فَأَطْفِئُوهَا بِالْتَّقْوَى. قَالُوْا: وَما الْتَّقْوَى؟ قَالَ: أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ الله عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَرْجُو ثَوَابَ اللهِ وَأنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَخَافُ عِقَابَ اللهِ.
“Apabila terjadi fitnah, maka padamkanlah dengan taqwa”. Mereka bertanya: “Apakah taqwa itu?” Beliau menjawab: “Hendak-nya engkau melaksanakan keta’atan kepada Allah, di atas cahaya Allah, (dengan) mengharap keridhaan-Nya; dan hendaknya engkau meninggalkan kemaksiatan terhadap Allah, di atas cahaya Allah, (karena) takut kepada siksaNya.
Ketaatan terbesar yang wajib kita laksanakan adalah tauhid; sebagaimana kemaksiatan terbesar yang mesti kita hindari adalah syirik.

Risalah Jum'at 3)

GAYA HIDUP ISLAMI DAN GAYA HIDUP JAHILI
Oleh: Surahmat (Yogyakarta)
Khutbah I
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ، اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ؛
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ،: {
Hadirin jamaah Jum’at yang berbahagia rahimakumullah
      Ada dua hal yang umumnya dicari oleh manusia dalam hidup ini. Yang pertama ialah kebaikan (al-khair), dan yang kedua ialah kebahagiaan (as-sa’adah). Hanya saja masing-masing orang mempunyai pandangan yang berbeda ketika memahami hakikat keduanya. Perbedaan inilah yang mendasari munculnya bermacam ragam gaya hidup manusia.
        Dalam pandangan Islam gaya hidup tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu: 1) gaya hidup Islami, dan 2) gaya hidup jahili.

Rekonstruksi Madzhab Manhaji Nahdlatul Ulama Menuju Ijtihad Saintifik Modern

Oleh: Mahsun Mahfudz

Abstrak
Kalau kita mencoba mengkontekkan antara nash (teks suci) dan al-Waqi’ (kenyataan) maka prasarat yang harus dipahami adalah bahwa keduanya merupakan dua wilayah yang jika dapat dikawinkan maka akan memunculkan pemahaman yang komprehensip. Corak dalam membaca teks menurut asy-Syatibi ada tiga yaitu qira’ah salafiyyah, qira’ah ta’wiliyyah, dan qira’ah maqashidiyyah. Sementara dalam wilayah al-Waqi’ ada beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam memahami fenomena-fenomena sosial, politik dan sebagainya misalnya sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Dengan demikian idealnya adalah ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu yang ada pada wilayah al-Waqi’. Jika tidak maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak aplicable. Oleh karenanya ijtihad harus selalu digelorakan dan pintu ijtihad tidak pernah ditutup.

Kamis, 17 Maret 2011

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  I TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

Hukum Tasharruf Zakat Kepada Muslim Fasik


Oleh: Jondra Pianda

A.     LATAR BELAKANG
Setiap umat Muslim berkewajiban untuk memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Al-Qur’an. Pada awalnya, Al-Qur’an hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Yaitu dengan turunnya qur’an surat al-Rum ayat 38. Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Yaitu dengan turunnya qur’an surat al-Mu’minun ayat 1-4, al-Naml ayat 1-3, Luqman ayat 1-5, dan Fusshilat ayat 6-7.[1] Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat itu, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.

Selasa, 15 Maret 2011

Tahapan Persidangan Dalam Perkara Pidana*

Oleh: Jondra Pianda

BAB I
PENDAHULUAN

Kisah dalam film Love Story in Harvard setidaknya dapat menjadi tinta penting dalam menulis sedikit deskripsi pada benak pikiran kita terkait tata beracara dan tahapan persidangan pidana. Sehingga menurut penulis adalah wajar jika film tersebut menjadi salah satu referensi ringan mahasiswa (hukum) dalam memperdalam secara praktis kiat/ strategi beracara pada persidangan pidana.

Membaca Pesan Tuhan Lewat Ariel*

“Apabila anda memperhatikan apa yang diserukan Allah SWT untuk direnungkan, hal itu akan mengantarkan kamu pada ilmu tentang Rabb, tentang keesaan-Nya, sifat-sifat keagungan-Nya dan kesempurnaan-Nya, seperti qudrat, ilmu, hikmah, rahmat, ihsan, keadilan, ridha, murka, pahala dan siksa-Nya. Begitulah cara Dia memperkenalkan diri kepada hamba-hamba-Nya dan mengajak mereka untuk merenungi ayat-ayat-Nya.”
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Senin, 14 Maret 2011

Prediksi Soal Ujian Nasional Mapel PAI SMP Tahun 2010/2011

1.  Perhatikan firman Allah SWT dalam surat Ali-Imron ayat 134 berikut  :
Berkaitan dengan hukum bacaan alif lam, pada ayat tersebut terdapat hukum bacaan alif lam syamsiyah berjumlah …..
A.     3                                                                     
B.     4                                                                     
C.     5
D.     6

Soal MTQ Tingkat Kabupaten untuk SMP

1.     Jelaskan pengertian Al Syamsiyah?
2.     Apakah arti lafal Syamsiyah?
3.     Mengapa Al Syamsiyah disebut juga Idgham Syamsiyah?
4.     Sebutkan huruf- huruf Syamsiyah?
5.     Jelaskan pengertian Al Qamariyah?
6.     Apakah arti lafal Qamariyah?
7.     Mengapa Al Qamariyah disebut juga Izhar Qamariyah?
8.     Sebutkan huruf- huruf Qamariyah?

Urgensi Ijtihad Saintifik dalam Menjawab Problematika Hukum Transaksi Kontemporer


Nur KholisÒ

 Abstract

The article below traces to find the urgency of saintific ijtihad to solve Islamic law problems of contemporary transaction (mu’amalah mu’asirah) in the age of globalization. The age of globalization supported by information technologies revolusion makes all aspects of human life changes rapidly especially in economic activities. Many kinds and aspects of transaction that human did not think many years ago, occur in this era, for instance insurance, electronic banking, e-commerce, capital market, unit trust, etc. All forms of transaction in this era need to be solved and justified by Islamic law in order to all muslims in the world can participate in economic activities among other people at the global era.
Islam as the last religion revealed by Allah SWT has many tools to anticipate and solve contemporary problems occurring in the global era. Al-Qur’an and al-Sunnah as the main sources of Islamic law provide tools to make Islamic teachings always suitable for all time, namely by saintific ijtihad. By doing saintific ijtihad to solve contemporary transaction problems in this global era will make Islamic law always appropriate whenever and wherever.

Hukum Islam dan Transformasi Sosial Masyarakat Jahiliyah: Studi Historis tentang Karakter Egaliter Hukum Ilsma


oleh Sulhani Hermawan
(Staf P3M dan Dosen Fiqh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta)

A.    Pendahuluan
Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.[1] Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah  mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak seluruh system social, terutama system hukum yang ada pada masyarakat Jahiliyyah.[2] Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan membawa syari'ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip, kemunculan Nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran-ajaran egaliter, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan social terhadap kejahiliyyahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama system hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.[3]

Sumber dan Metode Penetapan Hukum Islam


Mohammad Taufiq Hidayat
(Mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam UII- Jogjakarta)

  1. Latar Belakang Masalah
Konsep penemuan hukum merupakan teori hukum terbuka yang pada pokoknya bahwa suatu aturan yang telah dimuat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Al Quran dan Hadis serta hukum postif (baca ; undang-undang, qanun dan fiqh) dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna direlevasikan dengan fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan hukum, baik karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas. Persoalan hukum yang tidak jelas bunyi teks suatu undang-undang, maka dalam metode penemuan hukum dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode bayani, ta’lili dan istislahi.

Gerakan Islam Liberal di Indonesia


Oleh: Prof. Dr. HM. Atho' Mudzhar
(Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama)

A. PENDAHULUAN
Istilah Islam liberal tadinya tidak terlalu dikenal dan diperhatikan orang di Indonesia. Apalagi jumlah pendukungnya hanya minoritas yang amat kecil. Istilah itu justru menjadi amat populer setelah dikeluarkannya fatwa MUI pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa faham liberalisme adalah sesat dan menganut faham itu adalah haram hukumnya. Jadi, terlepas dari perdebatan tentang keabsahan fatwa itu, istilah Islam liberal di Indonesia justru dipopulerkan oleh pihak penentangnya. Memang terkadang suara merekapun nyaring bunyinya.

Program Tahunan Mapel PAI SMP


PROGRAM TAHUNAN
Mata Pelajaran          : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Satuan Pendidikan     : SMP I Purwosari
Kelas                      : VII
Tahun Pelajaran                : 2010/2011

Program Semester Mapel PAI Kelas 7 SMP


PROGRAM SEMESTER 
Mata Pelajaran    : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Satuan Pendidikan       : SMP I Purwosari
Kelas                        : VII/ I
Tahun Pelajaran : 2010/2011





KKM Mapel PAI Kelas 7 SMP


KRITERIA KETUNTASAN MINIMUM (KKM)

Satuan Pendidikan                   : SMP Negeri I Purwosari
Kelas/ Semester                       : VII  
Mata Pelajaran                         : Pendidikan Agama Islam
Tahun Pelajaran                       : 2010/  2011

Garis Besar Pendapat-Pendapat At-Thufi


Muhammad Roy, MA.

Di dalam membangun konsep maslahah. At-Tufi banyak mengemukakan kasus, baik berkaitan dengan aqidah, akhlak maupun fiqih yang diselesaikan melaui maslahah dengan tidak mempertimbangkan nas, ijma’ maupun qiyas. Misalnya:
a.       Sesungguhnya telah terjadi nas-nas dalam hadis yang ditentang oleh maslahah. At-tufi merujuk pada pendapat ibnu mas’ud yang bertentangan dengan nas dan ijma’ dalam hal tayamum karena kemaslahatan. Menurut nas dan ijma’ sahabat, bahwa tayamum boleh dilaksanakan karena sakit dan ketiadaan air. Ibnu berpendapat bahwa orang sakit tidak boleh bertayamum, sebab jika diperbolehkan dikhwatirkan ada orang yang hanya sedikit dingin saja telah bertayamum, tidak meu berwudu. Ketika dingatkan akan ayat[1] dan hadis[2] tentang perintah tayamum, ibnu mas’ud tidak mau menerimanya. Dalam perkembangannya pendapat ibnu mas’ud tersiar luas dimasyarakat dan tak ada seorang pun yang menginginkannya.
b.      Diriwayatkan dalam sebuah hadist,[3] ketika Rasulullah pulang daripeperangan ahzab , kemudaian beliau bermaksud mengadakan genjatan senjata, maka Allah memerintahkan untuk segera menyusun di Bani Quraidah. Kemudian Rasulullah memerintahkan sebagian sahabatnya untuk segera kesana, seraya bersabda: “janganlah kalian salat Asar sebelum tiba di perkampungan Bani Quraidah”. Ternyata ada salah seorang sahabat yang tidak mengindahkan sabda Rasulullah dengan melaksanakan salat Asar sebelum sampai disana. Menurut pendapat at-Tufi para sahabat yang menyalahi perintah Nabi untuk tidak melaksanakan salat Asar kecuali diperkampungan Bani Quraidah juga atas dasar maslahah.[4]
c.       Ketika Rasulullah mengutus Abu Bakar untuk menyampaikan kepada masyarakat, hadist yang berbunyi:[5]
(man qaala laailaaha illa Allah dakhala al-jannah)
            “barang siapa mengucapkan laailaaha illa Allah, maka masuk surga”
Sahabat umar melarang untuk menyampaikan pada khalayak atas dasar kemaslahatan. Alasan umar ra-demikian, kata at-Tufi- jika hadist itu disampaikan pada masyarakat, maka dikhawatirkan menyebabkan mereka malas beramal karena hanya mengamalkan hadist tersebut.[6]
d.      Ada seseorang masuk masjid (tanpa mengindahkan kesucian) langsung melaksanakan salat, maka para sahabat langsung heran atas perbuatan orang tersebut. Kemudian Rasulullah lang memerintahkan kepada Abu bakar untuk membunuhnya, keduanya tidak melaksanakan perintah Nabi, seraya bertanya kepada Nabi: “Bagaimana kami akan membunuhnya sementara ia melaksanakan salat?” menurut pendapat at-Tufi yang demikian itu adalah memelihara maslahat.[7]
e.       Pada suatu hari di Hudaibiyah (perang Hudaibiyah) Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat untuk bertahallaul sebelum selesai ibadah hajinya. Para sahabat menolaknya seraya lantaran belum selesai ibadah haji. Kemudian Rasulullah tersinggung seraya berkata: “tiada aku perintah sesuatu kecuali tidak mau melaksanakannya”. Penolakan para sahabat ini, kata at-Tufi adalah dalam rangka memelihara maslahah.[8]
Ketika Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat agar hajinya dijadikan (dicukupkan) umrah saja. Mereka menolak seraya menjawab, “Bagaimana mungkin kami telah menamakannya (berbuat)” haji. Penolakan semacam ini adalah Dalam rangka memelihata maslahat.[9]

f.       Sabda Rasulullah kepada Aisyah: “Seandainya masyarakat belum memperbahrui janji mereka masuk Islam tentu saja aku akan merobohkan ka’bah”. Kemudian aku dirikan kembali diatas pondasi Nabi Ibrahim. Hal demikian menunjukkan bahwa yang wajib adalah mendirikan Ka’bah diatas pondais Nabi Ibrahim tidak dilaksanakannya pembongkaran Ka’bah adalah karena maslahat umat.[10]
g.      Hadis yang berbunyi[11] (ummatii laa tajtami’u ‘laa dlolaalah)  “umatku tidak akan bersepakat akan kesesatan”
Menurut at-Tufi kata ummah meliputi seluruh golongan, yang dalam hadis disebutkan 73 golongan.[12] Dalam pada itu, kesepakatan umat di sini meliputi semua golongan tak terkecuali. kesepakatan mereka menjadi hujjah syar’iyyah yang wajib diikuti. Dulu, memang kesepakatan mereka terbatas pada masalah teologi, tetapi persoalan itu terus berkembang. Karena itu tiada persoalan, bila ijma’ mereka pada masalah-masalah yang berkembanga tetap menjadi sumber hukum.[13]
h.      Bagi orang kaya, ketentuan membayar kafarat  dalam hal saumi melakukan hubungan seksual dengan istrinya pada siang hari bulan ramadan, harus ditentukan puasa dua bulan berturut-turut, tidak boleh memilih yang lain berupa memberikan makan  pada fakir-miskin atau memerdekakan budak. Sesungguhnya kafarat itu dimaksudkan sebagai hukuman agar yang berbuat itu tidak mengulangi perbuatannya. Tiada artinya bila si kaya memilih memberikan makan atau memerdekakan budak lantaran ia kaya, karena itu ia tidak akan mampu mengendalikan nafsu seksualnya. Satu-satunya hal agar ia merasa dihukum adalah melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut. Ketentuan ini adalah semata-mata memelihara kemaslahatan. Tetepi at-Tufi tidak menyetujuinya karena dinilai meninggalkan nas[14]. Kalauorang kaya bolehmeilih , maka terjadiperunahan ukum oleh akal, hal ini tidak dapat dibenarkan.[15]
i.        Posisi at-Tufi dalam masalah iman dan kufur lebih  memilih mazhab yang berpendapat bahwa keimanan seseorang itu cukup dengan membenarkan dalam hati (at-tasdiq) tidak perlu mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan perbuatan.[16] Sebab, hakikatnya kufur adalah orang yang memengingkari hal-hal yang telah ditetapkan oleh agama secara pasti (kaunuhu minaddin daruratan). Persoalan-persoalan diluar itu tidak bisa dijadikan kriteria iman dan kufurnya seseorang. Dengan demikian kufur itu kebalikan dari iman, sedangkan iman adalah tasdyq adanya Allah, Malaikat, kitab-kitab, para utusan-Nya dan kebenaran hari akhir.[17]
j.        Dalam masalah dimensi hukum islam, at-tufi berpendapat bahwa hukum islam itu dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu:
1)      Hukum yang bersifat qat’i misalnya atentang kepercayaan kepada allah, sifat-sifat kesempurnaan-Nya, kewajiban salat lima waktu, meliputi rukun islam dan hukum yang bersifat mahdah lainnya.
2)      Hukum yang bersifat ijtihad,  seperti hukum-hukum furu’, mulai hukum taharah sampai dengan hukum-hukum yang menyangkut masalah-masalah lain yang berkaitan dengan masalah usul.
3)      Hukum yang berdiri di atas keduanya (al-Wasiat), belum jelas antara qat’i dan ijtihad, seperti masalah-masalah yang diperselisihkan berbagai mazhab: Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Hanabilah, di antaranya masalah kemakhlukan al-Qur’an, satrah (arah), ayat-ayat tentang sifat Allah, masalah taqdir dan sebagainya.
Ditegaskan oleh at-Tufi bahwa pembagian yang demikian ini adalah berdasarkan penelitian rasional (al-‘aqal).  Karena itu bisa jadi satu mazhab memandang qat’i, sementara mazhab lain memandang ijtihad (zanni).[18]
k.      At-Tufi berpendapat bahwa hukum ibadah itu merupakan hak Allah, manusia hanya melaksanakan ibadah itu sesuai petunjuk-Nya yang telah ditetapkan.[19] Dalam pada itu dalil yang berkaitan dengan ibadah tidak perlu dirubah. Berbeda dengan dalil Syara’ yang berkaitan dengan muamalah dan yang sejenis. Efektifitasnya sebagai sarana aktifitas dapat diukur oleh akal manusia. Atas dasar itu  pada kondisi ruang dan waktu tertentu, apabila sarana tidak lagi efektif untuk mencapai tujuan, perlu diadakann perubahan, sehingga tujuan Syari’ah tetap tercapai, yaitu maslahah manusia.
At-Tufi membedakan syari’at menjadi ibadat, muqaddarat dan muamalat. Ia memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah muamalah, penentuan boleh tidaknya sesuatu, ditekankan pada maslahah dengan mempertimbangakan unsur-unsur darurat, Illat, ‘adat dan syarat karena situasi tertentu. Sedangkan masalah ibadat dan muqaddarat ditentukan berdasarkan nas dan ijma’.[20] Demikian sebagian pendapat-pendapat at-Tufi yang diungkap dalam bab II ini sebagai sampel. Pendapat-pendapat yang lainnya akan diungkapkan pada kasus-kasus yang ada pada bab-bab berikutnya.


[1] Q.s. al-maidah/5:6.
[2] Banyak hadis yang memperbolehkan tayamum karena ketidak adaan air. Lihat al-Bukhari, Matan Bukhari, jilid 1, (Surabaya: Ahmad Ibnu Nabhan, t.th.), hlm 70 bab “iza lam yazid maan wala turaban”.
[3] Ibid., hlm.73 Bab salat.
[4] At-Tufi, At Ta’yin fi Syarhi al-Arba’in An-Nawawi; bi Tahqiq, Ahmad Haji Muhammad Usman (Makkah, Al maktabah Al Makiyah), 1998, hlm 258.
[5] As-Suyuti, Al-Jamius Sahir, Fi Ahadi al-Basyir an-Nazir, (Kairo: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1967), hlm. 310. Hadist al-Bazar dari Abu Said ini dinilai sahih.
[6] Husen Hamid Hasein, Nazariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Baerut: Dar An-Nahdah, Al-Arabi, 1997), hlm. 547.
[7] Ibid.
[8] At-tufi, at-Ta’yin, (Makkah: al-Maktabah, 1998), hlm. 264.
[9] Ibid., hlm. 268. Husain Hamid, Nazariyah, hlm. 547.
[10] Ibid., hlm. 268.
[11] HR. Al Ahkam, Al Mustadrak, jilid 1, hlm. 15 dari Ibnu Umar.
[12] HR. Abu Daud Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abu Gurairah. At-Tirmizi menyatakan hadis hasan sahih.
[13] At-Tufi, At-Ta’yin. Hlm. 255.
[14] Berdasarkan hadis Hr. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah: Mustafa al-Hin dan Mustafa al-Bagi, al Figh al Manhaji, jilid 2, (Damsik: Darul Qalam, 1987) hlm. 96-97.
[15] At-Tufi, Syarah Mukhatsar Raudah, jilid, 3, Tahqiq Abdullah Al-Muhsin at-Turki (Baerut: Ar-Risalah, 1998), hlm 206.
[16] Berbeda dengan ahli as-Sunnah yang berpendapat iman itu tasdyq bi al-qalby, qaulun bi al-lisan dan ‘amalun bi al-arkan.
[17] At-tufi, Al-Isyarah al-Ilahiyyah ila al-Mabahis al-Usuliyah, jilid 1, Tahqiq Abu Asim Hasan ibn Abbas ibn Qutub, (Makkah: al-Maktabah al-Makiyyah, 2002), hlm. 40.
[18] Ibid. hlm. 38.
[19] At-Tufi, at-Ta’yin, hlm. 274-277.
[20] Ibid. hlm. 21. lihat juga, hlm. 274-277.