Muslimspot.com

Sabtu, 07 Mei 2011

Konstruksi Idiologis Gerakan Fundamentalis Islam Dalam Lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (Telusur Jaringan Terorisme di Indonesia)
Oleh: Drs. Jeje Abdul Rojak, M.Ag.
 
A.      Pendahuluan
Penelaahan secara mendalam terhadap akar munculnya radikalisme dan terorisme di kalangan umat Islam di Indonesia, selalu menarik untuk dicermati secara mendalam. Karena banyaknya segi yang dapat didalami dan luasnya jaringan bahkan jaringannya sangat rapi serta tersembunyi, tidak mungkin dengan instan dapat dilacak semuanya. Itulah sebabnya makalah ini memfokuskan akar jaringan gerakan radikalisme yang mengatasnamakan umat Islam dari sisi penanaman ajaran dari madzhab mana yang disinyalir berkontribusi terhadap lahirnya gerakan terorisme nusantara.
Fenomena radikalisasi di kalangan ummat Islam seringkali disandingkan dengan faham keagamaan. Faham keagamaan Islam yang sering dianggap menjadi inspirasi gerakan radikal adalah paham wahhabi, sekalipun kalau dicermati secara seksama gerakan radikal di kalangan beragama merupakan fenomena sosial dan bukan fenomena keagamaan. Artinya pengaruh ajaran keagamaan seradikal apapun hanya merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor radikalisasi gerakan sosial kemasyarakatan.
Kajian ini tidak memfokuskan pada fenomena gerakan radikal ummat Islam, tetapi memfokuskan pada fenomena transformasi nilai-nilai salafi, yang sering diidentikkan sebagai inspirasi gerakan radikal tersebut. Laporan regional Asia yang dikeluarkan oleh International Crisis Group (selanjutnya disebut ICG) pada tanggal, 13 September 2004[1] menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat sejumlah lembaga pendidikan yang bergabung dalam Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah (FKAWJ). Sejumlah pondok pesantren tersebut mencoba mengajarkan ajaran salafi kepada para santri dan siswanya dengan tujuan:
1.      Untuk melatih para calon pengajar di bidang keislaman dan bahasa Arab yang dikemudian hari akan ditempatkan di sejumlah sekolah Islam dan pondok pesantren.
2.      Untuk menyiapkan sejumlah muballigh yang akan menyebarluaskan paham salafi di masyarakat dalam skala yang lebih besar.
3.      Untuk mempraktikkan ajaran Islam yang terhindar dari bentuk-bentuk yang berbau Bid’ah, Takhayul dan Khurafat.
4.      Untuk melaksanakan program dauroh dan beberapa bentuk pelatihan yang lain.

Di kalangan pengikut Salafi di Indonesia terdapat dua kelompok besar. Pertama adalah kelompok Surury[2] dengan tokoh sentralnya Yusuf Baisa berpendapat bahwa untuk dakwah Islam harus dibangun atas tiga pilar utama. Kemampuan organisatoris seperti yang dicontohkan oleh gerakan Ikhwanul Muslimin, kebijakan Jama’ah Tabligh dan ajaran keagamaan yang pernah diajarkan oleh para tokoh-tokoh salaf. Sedangkan dakwah bertujuan untuk menyebarluaskan dan mengajarkan pengetahuan keagamaan Islam di kalangan ummat Islam.

Kamis, 05 Mei 2011

Melihat Makna, Sifat, dan Indikasi Hukum Adat serta Perbedaannya Dengan Hukum Kebiasaan

By: Jondra Pianda, S.Sy.
    Terdapat perbedaan antara hukum adat dan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah hukum yang terbentuk karena adanya perbuatan yang dilakukan secara berulang- ulang. Karena itu, disebut sebagai kebiasaan (gewoonte) dan dirasakan masyarakat sebagai suatu perbuatan yang sudah seharusnya dilakukan. Kebiasaan ini memiliki sifat mengikat didasarkan pada pandangan msyarakat yang merasakan kebiasaan yang bersangkutan sebagai kewajiban yang harus ditaati karena telah dikukuhkan oleh pemimpin masyarakat, atau di dalam masyarakat modern karena adanya pendapat umum, yurisprudensi dan doktrin.
Adapun unsur dari hukum kebiasaan itu sendiri adalah: pertama, adanya keyakianan masyrakat tentang suatu perbuatan yang dianggap sebagai keharusan sehingga harus dilaksanakan. Kedua, adanya pengakuan atau keyakinan bahwa kebiasaan tersebut bersifat mengikat. Dan ketiga, adanya pengukuhan berupa pengakuan dan atau penguatan dari keputusan yang berwibawa.
Sedangkan hukum adat adalahhukum yang merupakan bagian dari adat- istiadat, memiliki asas- asas yang berasal dari budayadan keyakianan masyarakatsebagai norma tidak tertulis yang dibuat dan atau dipertahankan oleh fungsionaris hukum (penguasa yang berwibawa) bersifat mengikat serta mengandung sanksi.
Sebagai hukum sosial hukum adat memiliki sifat khusus, yaitu terbuka, sebuah sifat yang muncul karena adanya interaksi harmonis antara sistem- sistem hukum yang berlaku pada masyarakat indonesia, antara hukum tertulis dan tidak tertulisatau antara hukum adat dengan hukum islam serta hukum barat. Berdasarkan sifat ini tidak menutup kemungkinan bahwa hukum adat dapat menerima hukum tertulisatau sistem hukum lain ke dalam sistem hukumnya selama hukum dipandnag sesuai dengan keperibadian masyarakat.

Rabu, 04 Mei 2011

Jangan Boikot Pajak

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Fenomena pajak beberapa akhir ini menjadi sorotan mendalam media dan masyarakat luas. Hal ini bukan disebabkan oleh prestasi Ditjen (Direktorat Jendral) Pajak selaku pihak yang dipercaya menangani masalah perpajakan di Indonesia melainkan sebaliknya karena torehan negatif lembaga tersebut. Bagaimana tidak, tabir penggelapan dana pajak yang mencuat akhir- akhir ini sudah cukup sebagai alasan rakyat menyuarakan pemboikotan pembayaran pajak di media jejaring sosial Face Book. Dan jika hal ini benar- benar terjadi maka apa kata dunia?
Pajak merupakan beban yang ditetapkan oleh pemerintah, yang dikumpulkan sebagai keharusan dan dipergunakan untuk menutupi anggaran umum pada suatu segi. Sedangkan pada segi lain, untuk memenuhi tujuan- tujuan perekonomian, kemasyarakatan, politik, serta tujuan- tujuan lainnya yang dicanangkan oleh negara. 
Ironis memang jika melihat darimana pajak itu berasal dibandingkan dengan keadaan rakyat yang begitu menderita di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan dan sosial. Di satu sisi,  jauh di beberapa penjuru negeri ini banyak anak yang menderita busung lapar karena kelaparan, putus sekolah dan prosentase pengangguran yang tak kunjung berkurang. Di sisi lain, para pejabat bermewah- mewah dengan fasilitas negara yang wah dan dipandang tak manusiawi pada akhir dekade ini.
Belakangan diketahui bahwa penyebab fenomena memperihatinkan ini adalah penggelapan dana pajak yang note- benenya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat dan digunakan untuk kepentingan pribadi para pejabat dan kaum elit di tanah air.
Bagi kalangan yang sadar atau mengetahui seluk- beluk pajak tentu akan memiliki tanggapan berbeda dengan yang kurang atau sama sekali tidak mengetahui penyelewengan yang terjadi. Bagi mereka yang tahu, tentu akan sangat terkoyak nuraninya dan mengutuk perbuatan penyelewengan tersebut. Sedangkan bagi mereka yang tidak, paling ridak akan menganggap pajak yang selama ini mereka percayakan kepada negara untuk dikelola dengan baik hanya sebagai “upeti” wajib untuk pemerintah sebagai sewa tempat dimana mereka tinggal. Dengan kata lain, mereka akhirnya sadar bahwa hidup di tanah air yang telah merdeka sejak 64 tahun silam ini adalah bag hidup ng-kos yang identik dengan kehidupan mahasiswa.
Menarik untuk ditinjau status pajak dalam yurisprudensi islam (fiqh) mengingat sebagian besar penduduk negeri ini adalah muslim. Dalam beberapa kajian mengenai pajak dalam fiqh islam kerap dikaitkan dengan zakat, rukun islam yang keempat. Keterkaitan ini diangkat terilhami dari sistem perekonomian yang ada pada masa Rasulullah mendirikan Negara Madinah yang diatur dalam suatu piagam terkenal yaitu Piagam Madinah. Pada pasal ke-37 piagam tersebut dinyatakan “Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya,…”. Hal ini merupakan isyarat adanya kewajiban seluruh penduduk Negara Madinah di bidang ekonomi saat itu tanpa membedakan agama dan suku. Sejatinya pajak atau yang di sebut biaya pada piagam tersebut bertujuan untuk solidaritas sosial dan pada akhirnya mampu mensejahterakan rakyat sebagai pihak yang dibebankan membayarnya. Tentunya didukung pula dengan  administrasi yang baik hingga penyalurannya yang tepat guna sehingga pada masa itu dikenal dengan masa tamaddun yaitu masa dimana umat islam memulai peradabannya dalam bidang administrasi negara di bidang ekonomi.

Memotret Keberpihakan Majlis ‘Ulama Indonesia Terhadap Pemerintah Dalam Fatwa Tentang Golongan Putih (Studi Deskriptif- Kualitatif Terhadap Latar Belakang Berdirinya Majlis Ulama Indonesia (Mui) dan Kedudukannya Pada Pemerintah Orde Baru dan Pemerintah Orde Reformasi serta Fatwa Tentang Golongan Putih Dalam Pemilu 2009)

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.

A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Fatwa terakhir MUI pada awal tahun 2009 ini merupakan fatwa yang dinilai oleh berbagai kalangan sebagai fatwa yang kontroversial karena terkesan berlebiha.[1] Menurut  Miswan Thahadi, penulis buku "Seputar Fatwa Haram Golput", Kontroversi terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang golongan putih (golput) ini lebih disebabkan oleh permasalahan kontekstual dan bukan karena esensi fatwa itu sendiri.[2] Dia juga berpendapat bahwa masih terdapatnya pertentangan antara fatwa tersebut juga mengindikasikan bahwa fatwa tersebut belum dipahami sepenuhnya oleh seluruh umat Islam.Ia memaparkan, fatwa itu hanya berpengaruh terhadap orang-orang yang hatinya terikat pada syariah. Oleh sebab itu, lanjutnya, efektivitas dari penerapan fatwa juga bisa dikorelasikan dengan sejauh mana ikatan umat terhadap penerapan syariah.
Terlepas dari kontraversi yang ada terdapat pendpat yang menurut penulis cukup bijak, bahwa Pengharaman golongan putih pada pemilu oleh MUI tentunya disertai dengan beberapa syarat dan ketentuan yang dipersyaratkan pada kondisi dan kaadaan pada kejadiannya saat itu yaitu ketika salah satu dari calon yang tersedia layak untuk dipilih yaitu calon yang tersedia sudah memenuhi unsur-unsur yang sesuai dengan syariat hukum Islam ( Fatwa ini hanya berlaku bagi umat Islam Indonesia ).[3]
Pengertian layak untuk dipilih dapat dilihat pada terpenuhinya syarat-syarat minimal yang harus dimiliki oleh calon pemimpin yang akan dipilih tersebut seperti : Bertaqwa kepada Allah SWT. Seorang yang layak untuk dipilih tersebut adalah seorang yang beragama Islam yang bertaqwa kepada Allah SWT. Seorang muslim dilarang mengangkat pemimpin dan memberikan kepercayaan kepada orang-orang kafir karena mereka sudah ditakdirkan untuk menjadi kaum yang bertugas menghancurkan aqidah umat Islam secara keseluruhan. Berilmu. Pemimpin yang layak untuk dipilih itu adalah pemimpin yang cerdas dan menguasi bidang yang akan dipimpinnya yang dengan ilmu yang dikuasainya itu diharapkan akan mampu membawa kesejahteraan kepada masyarakat yang dipimpinnya dan tentunya bukan pemimpin yang telah gagal atau pemimpin merupakan bagian dari kegagalan masa lampau karena bisa saja kegagalan yang terjadi dimasa lampau adalah akibat dari keberadaan dia pada masa itu. Jujur. Jangan memilih pemimpin yang munafik dan suka membohongi rakyat seperti iklan-iklan yang menyesatkan, janji-janji yang secara realistis tidak akan mungkin dipenuhi dan lain sebagainya seperti (sekelumit ulasan)

Respon Seputar Pertanyaan Tentang Hukum Akad

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Jawaban Soal Nomor 1: Pengertian Perikatan dan Perjanjian
Hakikat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak- pihak yang diikat di dalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga undang- undang. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakikatnya pmerupakan hasil kesepakatan para pihak , jadi sumbernya benar- benar kebebasan pihak- pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain mengikat karena danya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang- undang, contohnya perikatan antara orang tua dengan anaknya muncul karena adanya kesepakatan dalam perjanjian diantaranya ayah dan anak tetapi perintah undang- undang.
Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada konsekuensi hukumnya. Pada periktan masing- masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing- masing pihak yang telah terikat. Sementra pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing- masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah- olah hanya merupakan perjajian sepihak saja. Definisi pasal tersebut menggambarkan bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yan mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.
Konsekuensi hukum lainya yang muncul dari pengertian itu adalah bahwa oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janjia (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).

Perjanjian Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Konvensional

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
A.        Pengertian Perjanjian dalam Lembar Syari’ah dan KUH Perdata
Sebelum membahas maslah sumber suatu perikatan maka nampaknya penting untuk dipaparkan terlebih dahulu terkait dengan masalah definisi perikatan itu sendiri. Akad atau kontrak berasal dari bahsa arab yang berarti ikatan atau simpulan baik katan yang nampak (hissy) maupun tidak nampak (ma’nawi).[1] kamus almawrid, menerjemahkan aqad sebagai contract and agreement atau kontrak dan perjanjian[2]. Sedangkan akada dan kontrak menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua belah pihak atau lebih yang memiliki implikasi hkum yang mengikat untuk melaksanakannya.
Sehubungan dengan pengertian hukum kontrak dalam literature hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping istilah “hukum perikatan” untuk menggambarkan ketentuan hukum yang mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah “hukium perutangan” , “hukum perjanjian” ataupun “hukum kontrak”. Masing- masing istilah tersebut mempunyai artikulasi yang berbeda satu dengan yang lainnya.[3]

Selasa, 03 Mei 2011

Bahasa Inggris di Pinggiran Kota Jogja [Pentingnya Lembaga Bahasa Inggris ‘Milik Pribadi’ Dalam Meningkatkan Prestasi Bahasa Inggris Siswa Pedalaman]

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Dalam ungkapan dikatakan: “ Ad dunya madinatul ‘ilmi, wal lughotu babuha”. Atau jika di bahasa Indonesia-kan menjadi dunia adalah kota ilmu, dan bahasa adalah pintunya.
Seolah memperkuat ungkapan tersebut, Irham Ali Saifuddin dalam ’34 Kunci Sukses Menaklukkan Toefl’ mengatakan bahwa pesatnya pergaulan dan interaksi global telah menempatkan bahasa sebagai salah satu media yang mutlak kebutuhanya. Tanpa kemampuan berbahasa yang memadai, pasatilah akan muncul problem pelik dalam menjalin interaksi global tersebut.
Mengingat pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi, maka bahasa inggris yang sampai saat ini masih menjadi peringkat teratas sebagai bahasa internasional menjadi sangat mutlak penguasaannya. Sehingga kebutuhan akan media pembelajaran dan pemahaman yang baik terhadapnya menjadi suatu keniscayaan pula. Namun, yang sangat disayangkan di negara ini adalah hal tersebut belum atau baru sedikit yang menyadarinya. Mengapa?
Dewasa ini, penguasaan bahasa inggris di indonesia masih sangat minim jumlahnya bahkan menurut Anies M. Basalamah pengetahuan bahasa inggris rata-rata orang Indonesia ternyata jauh di bawah pengetahuan orang- orang yang tinggal di negara berkembang lainnya di Asia, seperti Malaysia, Singapura, India dan lain sebagainya. Entah apa sebabnya.
Namun yang pasti, L.G. Alexander dalam ‘New English Concept’ mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dia mengatakan bahwa permasalahan utamanya adalah minimnya habit (kebiasaan). Yaitu kebiasaan seseorang dalam menggunakan bahasa. Dalam konteks indonesia minimnya habit tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor bahasa inggris adalah karena bahasa inggris diasumsikan sebagai second language (bahasa kedua). Bahkan ironisnya, dapat pula dikatakan ketiga setelah bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Sehingga jelas ini merupakan kendala besar penguasaannya. Sementara dalam tingkatan konsep pembelajaran bahasa inggris, terutama di sekolah formal, sebagaimana diungkapkan oleh Umar Asasuddin Sokah dalam ‘Problematika Pengajaran Bahasa Arab dan Inggris’, bahwa masalah utama dan merupakan faktor utama kesuksesan penguasaan bahasa inggris terletak pada tenaga pengajar dan waktu yang memadai.

Perjanjian, Perikatan dan Kontrak vs Akad, Iltizam dan Tasharrufaat (Tinjauan Etimology dan Terminology)

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Bagian Awal
Interaksi intrapersonal tidak akan pernah bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia untuk memnuh hajat hidupnya. Hal tersebut terwujud dalam interaksi- interaksi ekonomi (muamalah) seperti jual beli, kontrak kerja (join venture) dan transaksi lainnya yang mengindikasikan adanya hubungan tsharrufaat.
Dalam ber-tasharrufaat tentu saja tidak dapat pula terlepas dari adanya ‘perjanjian’ yang terjadi sebagai konsekuensi atas hubungan intrapersonal atau muamalah tersebut. Namun, tidak semua orang paham dan mengerti akan istilah perjanjian tersebut. Karena seiring dengan berkembangnya kosa kata yang meluas dan menyempit, kata- kata tersebut ada yang telah diperbaharui atau diganti untuk maksud yang lain. Sehngga ketidakpahaman tersebut berdampak pada kesalah pahaman. Terutama bagi para pelaku ekonomi dan ahli hukum ekonomi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Wijono Prodjokodikoro, SH., bahwa pengetahuan soal istilah terutama yang berkaitan dengan hukum adalah sangat penting bagi para ahli hukum dalam mempelajari berbagai sudut dari hukum itu. Oleh sebab itu, sering sekali terjadi perdebatan di dalamnya. Dengan demikian memahami istilah terutama dalam hukum yang mengatur hubungan intrapersonal dalam hal muamalah, adalah sangat penting pula.[1]
Hal tersebut lah yang melatarbelakangi penulis menyuguhkan makalah ini ke hadapan pembaca. Terutama kepada yang terhormat Bapak Drs. H. Asmuni MA. Selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perikatan.

Bagian V: Kesimpulan dan Saran terkait Pemikiran Hukum Islam KH. Abdurrahman Wahid dan Pengaruhnya terhadap Gerakan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
A.  Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan yang telah penulis lakukan di atas, maka dapat penulis simpulkan beberapa hal:
1.        Hegemoni pemikiran kaum neo-modernis Islam di Timur Tengah dan Barat, memiliki porsi yang besar dalam proses pembentukan pemikiran Gus Dur. Sebelumnya para ahli usul fiqih telah berhasil merumuskan suatu konsep penetapan hukum Islam, yakni konsep maqāshid al-syarī’ah. Perumusan ini, sangat berpengaruh terhadap pemikiran hukum  Islam Gus Dur sehingga melahirkan ciri khas pada corak pemikiran hukum Islam-nya yaitu penempatan kemaslahatan (al-maslahāt al-‘ammah) dan keadilan (al-‘adālah al-ijtimā’iah), sebagai prioritas tujuan penetapan hukum Islam yang berdasar pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Adapun letak perbedaan pemikiran hukum Islam Gus Dur dengan pemikir-pemikir sebelumnya bahwa pertimbangan aspek kultur lokal di mana hukum Islam dituntut mampu beradaptasi, sangat dominan.
2.        Metodologi yang digunakan Gus Dur dalam pemikiran tentang hukum Islam dapat dikategorikan kedalam dua metode, yaitu: Pertama, metode istislāhi; metode ini digunakan Gus Dur untuk membangun  hubungan struktur hukum yang berpedoman kepada gabungan antara Al-Qur’an, Sunnah, ijtihād dan ijmā’ ulama. Kedua, terkait kajian normatif (interpretasi teks), Gus Dur menggunakan pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini digunakannya sebagai alat pembantu dalam menunjukkan konteks sosial terkait penerapan suatu hukum. Hal ini bertujuan untuk memberikan perspektif baru terhadap teks. Maksudnya, teks dipahami dari konteks dan sosio-kultural di mana ia menjadikan manusia sebagai subjek penafsiran keagamaan. Hal ini ditujukan untuk memperpendek jarak antara teks dan realitas.

Membaca Kemungkinan Pengaruh Pemikiran "Liberal" Gus Dur terhadap Gerakan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Berbicara masalah pengaruh pemikiran Gus Dur terhadap pemikiran genarasi muda Islam di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai pemikir- pemikir muda di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai lahan subur Gus Dur dalam menanamkan benih pemikiran “liberal”nya. Sebab sejak terpilihnya Gus Dur sebagai ketua PBNU, tak dapat disangkal bahwa kontribusi terbesar yang dilakukan Gus Dur terhadap masyarakat Nahdlatul Ulama khususnya para intelektual muda adalah membantu berubahnya kultur Islam tradisionalis. Mereka menganggap bahwa Gus Dur telah memberikan kepercayaan kepada mereka untuk menjelajahi ide-ide baru dan juga melakukan usaha-usaha baru.[1] Bahkan fakta ini menjadikan Kamarruzzaman Bustaman- Ahmad  berani menyebut Gus Dur sebagai “Nabinya” anak muda Nahdlatul Ulama.[2]
Mengutip apa yang ditulis  Gus Dur dalam sebuah artikel bertajuk Kebangkitan Islam karya Rusydi Hamka dan Iqbal Emsyarif Arf Saimima, sebagai berikut:
Kaum muslimin masa kini memang tidak dituntut untuk menyamai penemuan pada sarjana masa lampau, dari al- Kindi sampai penemu muslim tak dikenal yang menemukan besi hitam tak berkarat di India dari masa kejayaan dinasti Mugal. Tetapi mereka dituntut untuk menerapkan dan menafsirkan kembali penemuan-penemuan sesuai dengan kebutuhan hakiki umat manusia, tugas mana jauh lebih berat dari tugas-melakukan penemuan itu sendiri. Kaum muslimin masa kini tidak dituntut menghasilkan karya agung sastra dunia seperti Kalilah wa Dimmah. Tetapi mereka diberi kemampuan untuk memberikan arti baru kepada kehidupan melalui karya itu, yang juga bukan tugas lebih ringan: meneruskan tradisi secara dinamis jauh lebih berat dan sukar dari pada membuat tradisi itu sendiri. Kaum muslimin masa kini tidak dituntut untuk menghadirkan aliran-aliran huukum  Islam, seperti madzhab- madzhab fiqih yang empat, atau aliran Theologia Ghazali, tetapi mereka diharuskan menerapkan secara kreatif  ketentuan-ketentuan yang diletakkan kesemua madzhab itu dalam situasi kehidupan yang baru sama sekali, sebuah proses penafsiran kembali yang jauh lebih sulit dan mendirikan kesemua madzhab itu sendiri…kalau kaum Mu’tazilah pernah menjulangkan nama Islam dalam sejarah dunia dengan visi humanismenya yang segar dan kreatif selama beberapa abad lamanya, maka kaum muslim kini dituntut untuk merumuskan kembali arti Islam. Bagi kehidupan yang mengalami begitu banyak perubahan dengan cepat, memiliki begitu aneka ragam tantangan dan kemungkinan. Dari kemampuan memenuhi tuntutan inilah akan ditentukan dimensi dan kerengka kebangkitan kembali peradaban Islam dalam masa depan yang tidak tertalu jauh lagi.[3]


Seputar Polemik Produk Pemikiran Hukum Islam KH. Abdurrahman Wahid

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
A. Seputar Fatwa KH. Abdurrahman Wahid tentang Bumbu Penyedap Makanan Ajinomoto
Pada tahun 2001, masyarakat dibuat “heboh” akibat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mengharamkan Ajinomoto.[1] Sebab, berdasarkan penelitian MUI, bahan baku Ajinomoto ditengarai dicampur dengan lemak babi. Masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, langsung tersentak. Sebelum ini, sebenarnya Ajinomoto sudah mengantungi sertifikat ‘halal’ dari MUI. Namun itu hanya berlaku dua tahun, dan berakhir sejak Juni 2000. Setelah tanggal itu, pihak Ajinomoto tak melakukan pemeriksaan lagi ke MUI. Mereka malah mengubah bahan bakunya, yang ditengarai MUI mengandung ekstrak lemak babi.[2]
Dalam siaran pers yang dipublikasikan oleh Departemen Manajer PT. Ajinomoto Indonesia,  Tjokorda Bagus Sudarta, mengakui bahwa mereka menggunakan bactosoytone yang diekstraksi dari daging babi untuk menggantikan polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging sapi karena lebih ekonomis. Ekstraksi ini hanya medium dan tidak berhubungan dengan produk akhir. Sehingga tidak benar bahwa produk akhir MSG Ajinomoto mengandung unsur enzim babi yang dikenal sebagai “porcine”.[3]


Melacak Metodologi Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid terhadap Epistemologi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Tidak seperti para pembaru hukum Islam lainnya, metodologi ijtihad  hukum Islam Gus Dur nyaris tidak dapat ditemukan dalam buku yang secara spesifik membahasnya. Bahkan hal ini juga terjadi pada para intelektual Islam lainnya yang tergolong kaum modernis awal yaitu antara 1970-an sampai 1980-an.[1] Menurut Marzuki Wahid, anggapan seperti ini tidak dapat disalahkan, sebab perhatian mereka (intelektual Indonesia, peny.) sendiri yang memaksa demikian untuk menyikapi realitas sosial, politik, dan ekonomi ketika Orde Baru secara sistematis dan terus- menerus malakukan intervensi secara berlebihan terhadap umat Islam dan bentuk -bentuk pengamalan keagamaannya. Oleh karena itu, menurut Wahid, aspek metodologis dan substansi ajaran Islam atau sumber-sumber pengambilannya yang selama ini disakralkan tidak terjamah oleh pembaruan mereka. Kalaupun masuk, lanjut Wahid, mereka berhenti pada pada kritik bangunan (sejarah) pemikiran Islam masa lampau tanpa memberikan tawaran baru yang berarti. Isu-isu yang menjadi label pemikiran mereka tidak dilengkapi dengan kerangka metodologi dan epistemologi yang kucup: alias belum tuntas. Mareka, sejauh ini, hanya mengadvokasi betapa pentingnya kontekstualisasi, reaktualisasi, reinterpretasi, dan pribumisasi maupun tema sejenis (sebagai pendekatan ijtihad, peny.), tanpa memberikan bukti contoh (rekonstruksi) pemikiran Islam baru seperti apa yang tepat untuk zaman ini.[2] Namun demikian, pendekatan ijtihad oleh sarjana-sarjana Indonesia ini dianggap lebih mendalam, karena mereka mengawinkan keserjanaan Islam klasik dengan metode-metode analitik modern Barat.[3]
Namun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak dapat dilacak secara keseluruhan. Sebab, dalam kaitannya dengan bangunan metodologi ijtihad hukum Islam Gus Dur, menurut penyusun, banyak sekali tertuang dalam berbagai artikel ataupun tulisan-tulisan dalam bentuk lain. Dalam melaksanakan pembaruan hukum Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman, akurat dan faktual, pada hasil pelacakan terhadap ijtihad Gus Dur, dia menggunakan dua metode ijtihad, yaitu sebagai berikut:

Konsep Ideal Ijtihad Hukum Islam di Indonesia Menurut KH. Abdurrahman Wahid

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Hukum Islam adalah hukum yang dibuat untuk kemaslahatan hidup manusia,[1] dan oleh karenanya hukum Islam sudah seharusnya mampu memberikan jalan keluar dan petunjuk terhadap kehidupan manusia baik dalam bentuk sebagai jawaban terhadap suatu persoalan yang muncul maupun dalam bentuk aturan yang dibuat untuk menata kehidupan manusia itu sendiri. Hukum Islam dituntut untuk dapat menyahuti persoalan yang muncul sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya mempertimbangkan modernitas dalam hukum Islam.
Perubahan dalam masyarakat memang menuntut adanya perubahan hukum. Soekanto menyatakan bahwa terjadinya interaksi antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat adalam fenomena nyata.[2] Dengan kata lain perubahan masyarakat akan melahirkan tuntutan agar hukum (hukum Islam) yang menata masyarakat ikut berkembang bersamanya.[3]
Dalam konteks Indonesia, Gus Dur mengungkapkan bahwa corak pemikiran tentang hukum Islam (fiqih) di Indonesia masih banyak bersifat apologetis. Pernyataan hukum Islam dapat memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat, menurutnya terlalu ideal dan masih jauh dari jangkauan masa kini. Dalam hal ini ia mengambil perbandingan terhadap negara-negara yang telah mulai berkembang pemikiran yang tidak bersifat apologetis mengenai hukum agama seperti Fyzee di India, Sayyed Hosein Nasr di Iran dan Al Mahmasani di libanon-Syria.
Jika ditelusuri pemikiran Gus Dur tentang hukum Islam sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat satu “kata kunci” yang selalu dimunculkan sebagai faktor  ijtihad Gus Dur yaitu “dinamisasi” ajaran Islam tradisional yang sering dinggap konservatif dan menolak pembaruan (tajdid).
Dalam konteks Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid berpandangan bahwa cita-cita penetapan hukum yang ideal tersebut akan dapat dicapai dengan mengembangkan sifat universal ajaran Islam melalui dinamisasi hukum Islam yang menurutnya adalah tajdīd (pembaruan yang terbatas)[4] dengan cara mereproduksi ajaran ulama klasik dan mempertimbangkan aspek kekinian (modernisasi fiqih).

Bagian IV: Konsep, Metodologi, dan Pengaruh Pemikiran Hukum Islam KH. Abdurrahnman Wahid terhadap Gerakan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
A. Latar Belakang Pemikiran Hukum Islam KH. Abdurrahman Wahid
1. Pandangan tentang Universalisme dan Kosmopolitanisme Ajaran Islam
Universalisme Islam dalam pandangan Gus Dur menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhīd), kesusilaan (akhlāq) yang dalam masyarakat seringkali disempitkan hingga menjadi kesusilaan berlaka yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan.[1] Dalam hal ini, Gus Dur, mengutamakan persamaan derajat dalam hukum dan sangat memperhatikan kemaslahatan manusia.
Universalisme yang tercermin pada ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian pada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam itu sendiri. Gus Dur mengungkapkan lima jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini sehingga manampilkan ke-universal-annya. Kelima ajaran dasar tersebut adalah apa yang dikenal dengan istilah maqāshid al-syarī’ah al-khamsah (lima jaminan dasar) yang meliputi: jaminan keselamatan jiwa, kebebasan berkeyakinan, keselamatan keluarga, harta benda dan profesi.[2]
Kelima jaminan dasar di atas mencerminkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur utama kemanusiaan dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun seluruh jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik yang tidak berfungsi secara lengkap tanpa didukung oleh kosmopolitanisme peradaban Islam.[3]




Sejarah Perkembangan Pemikiran dan Karya Intelektual KH. Abdurrahman Wahid



Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Perkembangan dan Tipologi Pemikiran 
Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam klasik dan pendidikan Barat modern. Faktor-faktor ini merupakan prasyarat baginya untuk mengembangkan  ide- ide liberalnya.[1] Dalam kegiatan- kegiatannya yang berkaitan dengan perjalanan, membaca dan memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini. Menurut Greg Barton, barangkali ia mengerjakan hal ini secara lebih lengkap dari pada mayoritas inteletual Islam Indonesia lainnya.[2]
Secara kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, semua aktifitas tersebut mendapat apresiasi oleh banyak pihak, termasuk yang tampak dari penghargaan Megsaysay dari pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993) dan Penghargaan Dakwah Islam Dari Pemerintah Mesir (1991).[3]
Cendikiawan liberal seperti Gus Dur dan kebanyakan ulama NU terbuka untuk berlajar dari tradisi lain, termasuk tradisi-tradisi yang terdapat di jantung spiritualitas Jawa dan Asia Tenggara sebelum datangnya Islam. Greg dalam Syafi’i Ma’arif, menyebut Gus Dur sebagai seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus dan membebaskan batas-batas orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk ke wacana  modern, liberal, dan kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Islam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar. [4]  Hal ini sejalan dengan keyakinan yang dianut secara luas oleh kaum tradisionalis bahwa segala sesuatu yang tidak secara jelas diharamkan oleh Al-Qur’an dan sunnah Nabi maka hal itu diizinkan selama terdapat konsistensi dengan prinsip-prinsip dan nilai –nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sebaliknya kaum cendikiawan konservatif dengan  latar belakang  modernis, jika sesuatu tidak ada acuannya dalam Al-Qur’an dan sunnah, maka hal itu harus diperlakukan secara hati- hati; dan jika sesuatu mengandung unsur bertentangan dengan monoteisme Islam maka hal itu juga harus dihindari.[5]


Bagian III: Notasi Biografi KH. Abdurrahman Wahid

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
A.   Sejarah Keperibadian KH. Abdurrahman Wahid
Sisi kontroversial pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur), sebagaimana orang mengetahuinya, sejatinya mulai tampak sejak bagaimana pemahaman orang terhadap kapan dia dilahirkan. Banyak orang, termasuk teman- teman, keluarganya dan oleh hampir semua penulis buku tentang Gus Dur beranggapan bahwa dia dilahirkan pada tanggal 4 Agustus tahun 1940 di Denanyar Jombang Jawa Timur. Sedangkan menurut Greg Barton, bahwa  Gus Dur memang dilahirkan pada hari ke-empat bulan kedelapan. Akan tetapi tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni bahwa Gus Dur dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan Islam. Menurutnya, tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah tanggal 7 September.[1]
Dalam hal ini, nampak bahwa Barton mencoba memperlihatkan sisi kontroversial Gus Dur melalui pernyataan demikian:
Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, tampaknya teman- teman dan keluarganya yang menghadiri pesta perayaan hari ulang tahunnya di Istana Bogor pada hari jum’at tanggal 4 Agustus 2000 tak sadar bahwa sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana banyak aspek dalam hidupnya dan juga pribadinya, ada banyak hal yang tidak seperti yang terlihat. Gus Dur memang dilahirkan pada hari ke-empat bulan kedelapan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni bahwa Gus Dur dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan Islam. Sebenarnya, tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah tanggal 7 September.

Konsep Ijtihad Hukum Islam di Indonesia

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
1. Hukum Islam dan Nilai- Nilai KeIndonesiaan
Beragam fakta historis menunjukkan betapa Islam memi­liki peran penting membentuk struktur budaya, sosial dan politik di Nusantara. Melalui corak kesufian yang dikem­bangkan para Wali Songo misalnya, Islam berhasil membentuk corak keberagamaan masyarakat sekaligus dianggap salah satu faktor yang menentukan kesuksesan penyebaran Islam di Nusantara. Gerakan kultural keagamaan yang mereka lakukan itu juga memberi kontribusi penting bagi perkembangan pesantren dan madrasah, pusat pengajaran dan pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, yang jumlahnya saat ini mencapai lebih dari 50 ribu buah.[1] Di era kerajaan Demak, penguasa telah menjadikan syariat Islam dijadikan dasar pengelolaan kerajaan. Islam hadir sebagai agama resmi bagi kerajaan yang berdiri sejak tahun 1478 ini. Salah satu jejak peninggalan akulturasi kebudayaannya adalah Masjid Agung Demak yang didirikan Walisongo.
Di masa-masa itu, Islam memengaruhi sekaligus terpengaruh struktur sosial-politik yang ada. Sebagai sesuatu yang datang dari luar, Islam mampu menerima berbagai unsur lokalitas yang sudah ada sebelumnya. Tidak hanya Islam, Hindu dan Budha seperti yang berkembang di era Majapahit juga mengalami proses yang kurang lebih sama: menerima unsur lokalitas.[2]
Meski begitu harus pula diakui, corak Islam yang hadir di Indonesia tidak homogen. Dalam beberapa kasus, Islam berhadapan dengan tradisi lokal yang dianut masyarakat. Di Sumatera Barat misalnya, upaya menjadikan Islam sebagai hukum negara mendapat penolakan serius dari masyarakat yang lebih memihak pada hukum adat. Karena tidak ada kekuasaan dominan kala itu, akhirnya konflik tidak tehindarkan. Perang Paderi pun meledak selama kurang lebih 16 tahun (1821-1837).[3]


Urgensi Ijtihad Kontemporer dalam Menghadapi Tantangan Modernitas


Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
1.   Hukum Islam dan Tantangan Modernitas
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa Islam diyakini sebagai agama yang universal dan berlaku sepanjang masa yang ajarannya diklaim akan selalu sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat (shālihun likulli zamān wa makān).[1] Al-Qur’an menyatakan bahwa lingkup keberlakuan ajaran Islam adalah untuk seluruh ummat manusia, dimana pun mereka berada.[2] Oleh karena itu Islam sudah seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia di muka bumi ini, tanpa ada konflik dengan situasi kondisi dimana ia berada.[3]
Islam akan berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia telah berhadapan dengan masyarakat bersahaja. Ketika Islam berhadapan dengan masyarakat modern, ia dituntut untuk dapat menghadapinya. Secara sosiologis diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan.[4] Perubahan suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada dalam masyarakat. Semakin maju cara berfikir, suatu masyarakat akan semakin terbuka untuk menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenyataan ini dapat menimbulkan masalah, terutama jika dikaitkan dengan norma-norma agama. Akibatnya, pemecahan atas masalah tersebut diperlukan, sehingga Syariat Islam (termasuk hukum Islam) dapat dibuktikan tidak bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.[5]