Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Yusuf Qardhawy mengungkapkan bahwa hukum Islam adalah hukum yang meliputi seluruh lini kehidupan,[2] sehingga untuk memahami hukum Islam perlu diketahui dahulu perbedaan syari’ah dan fiqih (hukum Islam).
Syari’ah sebagaimana dirumuskan oleh Farouq Abu Zaid, adalah peraturan- peraturan Allah yang disampaikan melalui Nabi-Nabi-Nya yang tidak dapat diubah dan diganti. Sedangkan fiqh atau hukum Islam adalah penafsiran atau pemahaman para ulama atau fuqaha terhadap hukum-hukum syari’ah[3], baik secara tekstual maupun kontekstual. Jadi hukum Islam dapat menerima perubahan sejalan dengan perkembangan tempat dan waktu, karena hukum Islam pada dasarnya merupakan karya manusia yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Tujuan syari’ah adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Menurut Sidik Tono, syari’ah dicanangkan demi kebahagiaan manusia lahir maupun batin, dunia dan akhirat, sehingga penempatan mahlahat sebagai acuan syari’ah adalah semata- mata untuk memenuhi tujuan di atas dalam konteks pengembangan hukum Islam yang pada dasarnya tidak boleh menyalahi tujuan syari’ah (maqāshid al-syarī’ah) di atas[4].
Pengejawantahan syari’at Islam atas dua sumber utama syari’at Islam (Al-Qur’an dan sunnah) dewasa ini tidaklah semudah membalikkan tangan. Era mekanisasai dan modernisasi telah menempatkan manusia menjadi bagian dan perkembangan yang penuh dengan kontroversi, tantangan dan persaiangan yang menyebabkan munculnya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak lagi sekedar sederhana.
Eksistensi syari’at Islam yang konsisten pada prinsip dan asasnya tidaklah harus statis, tetapi justeru harus fleksibel dan dapat mereduksi perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokoknya.[5]
Dalam sejarah perkembangannya, hukum Islam mengenal asas menetapkan hukum berdasar ‘urf (kebiasaan) yang berkembang dalam masyarakat. Asas inilah yang kemudian dijadikan dalil bahwa hukum Islam merupakan hukum yang bersifat universal yaitu berlaku dalam setiap relung waktu dan zaman (shālihun likulli zamān wa makān).[6]
Hukum Islam adalah hukum yang dibuat untuk kemaslahatan hidup manusia dan oleh karenanya hukum Islam sudah seharusnya mampu memberikan jalan keluar dan petunjuk terhadap kehidupan manusia baik dalam bentuk sebagai jawaban terhadap suatu persoalan yang muncul maupun dalam bentuk aturan yang dibuat untuk menata kehidupan manusia itu sendiri. Hukum Islam dituntut untuk dapat menyahuti persoalan yang muncul sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya mempertimbangkan modernitas dalam hukum Islam.[7]
Hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi dan lain-lainnya. Bahkan menurut para ahli lingusitik dan semantik bahasa akan mengalami perubahan setiap sembilan puluh tahun. Perubahan dalam bahasa secara langsung atau tidak langsung mengandung arti perubahan dalam masyarakat.[8]
Perubahan dalam masyarakat dapat terjadi disebabkan karena adanya penemuan-penemuan baru yang merubah sikap hidup dan menggeser cara pandang serta membentuk pola alur berfikir serta menimbulkan konsekwensi dan membentuk norma dalam kehidupan bermasyarakat.[9]
Oleh karena hukum Islam hidup di tengah-tengah masyarakat dan masyarakat senantiasa mengalami perubahan maka hukum Islam perlu dan bahkan harus mempertimbangkan perubahan (modernitas) yang terjadi di masyarakat tersebut, hal ini perlu dilakukan agar hukum Islam mampu mewujudkan kemaslahatan dalam setiap aspek kehidupan manusia di segala tempat dan waktu. Dalam teori hukum Islam kebiasaan dalam masyarakat (yang mungkin saja timbul sebagai akibat adanya modernitas) dapat dijadikan sebagai hukum baru (al-‘ādah muhakkamah) selama kebiasaan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.[10]
Perubahan dalam masyarakat memang menuntut adanya perubahan hukum. Soekanto menyatakan bahwa terjadinya interaksi antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat adalam fenomena nyata.[11] Dengan kata lain perubahan masyarakat akan melahirkan tuntutan agar hukum (hukum Islam) yang menata masyarakat ikut berkembang bersamanya.[12]
Sebagaimana dibahasakan Hasan Bisri, hal tersebut merupakan kegiatan reaktualisasi Islam, dimana secara garis besarnya adalah menekankan pada pengejawantahan Islam dengan me-reinterpretasi sumber hukum Islam dengan menggunakan kebutuhan, situasai, dan kondisi dewasa ini sebagai paradigmanya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka umat Islam dituntut untuk dapat melakukan rekonstruksi terhadap khazanah hukum Islam secara inovatif melalui media ijtihad. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu aktual, mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi Islam tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk fiqh sebab fiqh senantiasa fleksibel dan perkembangannya berbanding lurus dengan kehidupan dan kebutuhan manusia. Tanpa ijtihad yang kreatif dan terus menerus kaum muslim akan mengalami kebekuan berfikir dan stagnansi. Seperti yang disampaikan oleh penyair Islam M. Iqbal “ijtihad merupakan prinsip gerak dalam Islam”.[13]
Namun dengan adanya fleksibelitas dalam syari’at Islam dan tuntutan bahwa hukum Islam harus senantiasa up to date dan dapat mereduksi perkembangan kehidupan ummat bukan berarti atau dimaksudkan ajaran Islam, terutama fiqih (hukum) nya tidak konsisten, mudah mengikuti arus zaman dan bebas menginterpretasikan Al-Qur’an dan Sunnah sesuai kebutuhan hidup manusia sehingga aktualisasi hukum Islam melalui pintu ijtihad dalam prakteknya dapat menggeser ke-qath’i-an Al-Qur’an dan Sunnah hanya untuk memberikan legitimasi kepentingan manusia, baik politik, ekonomi, sosial, hukum dan lain sebagainya dengan dalih tuntutan humanisme.
[1]Sidik Tono, “Penafsiran Hukum dalam Proses Perubahan Sosial (Sebuah Kajian Perspektif Metodologi Hukum Islam)”, Jurnal Al Mawarid Edisi Februari (Yogyakarta: Fakultas Suari’ah UII, 1999), hal. 57
[2]Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), hal. 151
[3]Farouq Abu Zaid, Al-Syarī’ah Al-Islāmiyah Baina Al-Muhāfizīn Wa Al-Mujāhidīn, alih bahasa oleh Husain Muhammad (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren Masyarakat, 1988), hal.17
[4]Sidik Tono, “Penafsiran., hal. 57
[5]M. Hasbi, Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Cet. V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 73
[6]M. Amin Abdullah dalam Abdul Mustaqiem, Madzahibut Tafsir Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hal. xi
[8]Harun Nasution, “Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam”, dalam M. Yunan Yusuf, et.al. (ed.), Cita dan Citra Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), hal. 19
[9]Abd. Salam Arief, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut (Yogyakarta: LESFI, 2003), hal. 3
[10]Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 140
[11]Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975, hal. 139
[12]Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 254
[13]Harun Nasution, Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam, Ijtihad dalam Sorotan, Ed. Jalaluddin Rahmad, (Bandung: Mizan, 1980), hal. 113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar