by Jondra Pianda, S.Sy
1.
Hukum Islam dan Tantangan
Modernitas
Sebagaimana
telah dipaparkan sebelumnya, bahwa Islam diyakini sebagai agama yang universal
dan berlaku sepanjang masa yang ajarannya diklaim akan selalu sesuai dengan
tuntutan zaman dan tempat (shālihun likulli zamān wa makān).[1] Al-Qur’an
menyatakan bahwa lingkup keberlakuan ajaran Islam adalah untuk seluruh ummat
manusia, dimana pun mereka berada.[2] Oleh karena itu Islam sudah seharusnya dapat diterima
oleh setiap manusia di muka bumi ini, tanpa ada konflik dengan situasi kondisi
dimana ia berada.[3]
Islam
akan berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia telah berhadapan
dengan masyarakat bersahaja. Ketika Islam berhadapan dengan masyarakat modern,
ia dituntut untuk dapat menghadapinya. Secara sosiologis diakui bahwa
masyarakat senantiasa mengalami perubahan.[4] Perubahan
suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada dalam
masyarakat. Semakin maju cara berfikir, suatu masyarakat akan semakin terbuka
untuk menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenyataan ini dapat
menimbulkan masalah, terutama jika dikaitkan dengan norma-norma agama.
Akibatnya, pemecahan atas masalah tersebut diperlukan, sehingga Syariat Islam
(termasuk hukum Islam) dapat dibuktikan tidak bertentangan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.[5]
Gambaran
tentang kemampuan syariat Islam dalam
menjawab tantangan modernitas dapat diketahui dengan mengemukakan
beberapa prinsip syariat Islam diantaranya adalah prinsip yang terkait
dengan mu’amalah dan ibadah. Dalam bidang mu’amalah
hukum asal segala sesuatu adalah
boleh kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan
bahwa sesuatu itu terlarang. Sedangkan dalam bidang ibadah hukum asalnya adalah
terlarang kecuali ada dalil yang mendasarinya.
Berdasarkan prinsip di atas dapat dipahami bahwa
modernisasi yang terkait dengan segala macam bentuk mu’amalah diizinkan
oleh syariat Islam untuk berijtihad di dalamnya, selama tidak bertentangan
dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Berbeda dengan bidang muamalah, hukum Islam
dalam bidang ibadah tidak terbuka kemungkinan adanya modernisasi, melainkan
materinya harus berorientasi kepada nash Al-Qur’an dan hadis yang telah
mengatur secara jelas tentang tata cara pelaksanaan ibadah tersebut. Namun
modernisasi dalam bidang sarana dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan.[6]
2.
Pengaruh Modernisasi
terhadap Konsepsi Hukum Islam
Harun
Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode yaitu periode klasik
(650-1250 M.), periode pertengahan (1250-1800 M.) dan periode modern (1800 M.-
dan seterusnya).[7] Dalam
persepsi muslim tradisional (pra modern), hukum Islam menyajikan sebuah sistem
yang ditakdirkan Tuhan, yang tidak ada kaitannya dengan berbagai perkembangan
historis. Dalam persepsi mereka, Al-Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan
uraian rinci tentang segala sesuatu. Menurutnya, hanya ada satu sumber yang
darinya aturan-aturan hukum dapat dikembalikan yaitu wahyu Tuhan. Ide tentang
hukum alam tidak dikenal. Coulson menyimpulkan bahwa pemahaman tradisional
tentang perkembangan hukum Islam tidak memiliki dimensi historis sama sekali.[8]
Era
modern yang menurut Harun Nasution bermula pada abad ke-19,[9] merupakan
periode yang di dalamnya kepercayaan tradisional mulai dipertanyakan dan
mendapat tantangan serius. Melalui imperialisme, pengaruh peradaban Barat
terhadap dunia Timur, terutama dunia Islam, sangat kuat. Akibatnya, beberapa
aspek ajaran Islam dipertanyakan, dan salah satu aspek tersebut adalah
pertanyaan yang ditujukan kepada doktrin hukum Islam.[10] Pada perkembangan berikutnya modernitas ini berpengaruh
terhadap konsepsi hukum Islam (sebagaimana menurut anggapan muslim tradisional
tersebut di atas) .
Perubahan
pemahaman terhadap konsepsi hukum Islam tersebut salah satunya dihembuskan oleh
Schaht yang meruntuhkan anggapan tradisional tentang hukum Islam. Schaht tidak
mengkaji hukum Islam secara teologis dogmatis, melainkan lebih bersifat
historis dan sosiologis. Ia menyajikan hukum Islam bukan sebagai seperangkat
norma yang diwahyukan, tetapi sebagai fenomena historis yang berhubungan erat
dengan realitas sosial. Ia menyimpulkan bahwa sebagian besar hukum Islam
termasuk sumber-sumbernya, merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan
historis.[11]
Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu pengaruh modernitas terhadap
konsepsi hukum Islam adalah bahwa hukum Islam tidak lagi dipandang hanya
semata-mata bersifat dogmatis yuristik melainkan ada dimensi historisitas dan
sosiologis. Dan kalau kita kaitkan dengan perkembangan pemahaman terhadap
konsepsi hukum Islam di era modern (dan kontemporer saat ini) maka dapat
diambil kesimpulan yang serupa bahwa hukum Islam tidak lagi dipahami sebatas
wahyu Tuhan yang tidak terjangkau oleh historisitas melainkan bahwa hukum Islam
tidak dapat dilepaskan dari historisitas yang melingkupinya. Bahkan saat ini
ada anggapan bahwa hukum Islam tidak hanya ditemukan dalam wahyu tetapi juga
dapat ditemukan dalam alam (hukum natural).[12]
Dalam
menghadapi pengaruh modernitas yang telah merasuk kedalam setiap sendi
kehidupan masyarakat Islam, jelas bahwa upaya pengembangan hukum Islam sangat
diperlukan. Yusuf al-Qardhawy secara tegas mengungkapkan bahwa semenjak
terjadinya perubahan pesat dalam segala lini kehidupan dan perkembangan sosial
sebagai hasil dampak dari revolusi industri, maka ijtihad –jika dikatakan
dibutuhkan di setiap zaman- pada zaman modern ini lebih dibutuhkan dibandingkan
pada zaman-zaman sebelumnya. Menurutnya, adalah suatu kebutuhan yang mendesak
pada masa sekarang ini untuk membuka kembali pintu ijtihad. Pintu intihad ini,
lanjut Qardhawy, dibukakan oleh Rasulullah saw, maka tiada seorang pun yang
berhak menutupnya selain beliau. Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap
orang Islam bertugas tidak hanya membuka pintu intihad tersebut melainkan harus
benar-benar melaksanakan ijtihad tersebut.[13]
Ketika
persoalan yang muncul merupakan persoalan baru yang tidak eksplisit (qath’ī)
dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, maka ijtihad adalah jawabannya, yang sudah
barang tentu mesti dilakukan menurut konsep yang sebenarnya di dalam Islam.
Mengenai urgensitas kesinambungan ijtihad, sebagaimana dikutif Yusuf
al-Qaradhawi, Imam al-Syaukani berkata: “Tidak tersembunyi atas kalian (jelas
nampak-peny.) bahwa kedudukan ijtihad adalah fardhu yang niscaya
keberadaannya sepanjang rentangan zaman, tanpa harus kosong dari seorang
mujtahid. Bahkan, dia menambahkan
hendaknya ijtihad tidak hanya sampai pada tataran hukum saja melainkan
menembus “lingkaran usul fiqih”
sebagai penyempurna babak yang telah dimulai oleh Iman al-Syatibi.
Senada
dengan pernyataan tersebut, Amir Mu’allim dan Yusdani secara tegas menyatakan
bahwa pengembangan hukum Islam, di samping dilandasi oleh epistemologi yang
kokoh juga perlu memformulasikan dan merekonstruksi basis teorinya. Basis teori
hukum Islam sebagaimana dibahas oleh para ahli teori hukum Islam terdahulu,
bahwa salah satu persyaratan penting mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah
kaharusan untuk mengetahui tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan
ini pertama kali dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwaini, dilanjutkan oleh Abu
Hamid al-Ghazali, diteruskan oleh Izzuddin bin Abd al-Salam. Basis teori ini
secara sistematis dan rinci dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan
diliberalisasikan oleh Najmuddin al-Thufi yang kemudian dikenal dengan term maqashid
al-syarī’ah. Kajian utama basis teori ini adalah mengenai kemahlahatan
manusia baik di dunia dan akhirat.[14]
Pemikiran
maslahat yang merupakan basis teori hukum Islam yang telah dirintis oleh tokoh-
tokoh Islam tersebut kemudian menghilang dan dihidupkan kembali oleh para pakar
hukum Islam modern, dan lebih relevan lagi jika dikaitkan dengan kebutuhan
legislasi Islam dalam era globalisasi sekarang ini.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi modernitas sebagai tantangan
terberat bagi siapa saja, Islam harus memiliki watak ganda; pada satu sisi,
sebagai perwujudan hukum Tuhan ia harus mampu mengakomodasi atau bersikap
akomodatif terhadap tuntutan zaman. Watak pertama menuntutnya untuk mampu
membentuk tata kehidupan masyarakat. Watak kedua menuntutnya untuk dapat
dipengaruhi masyarakat supaya tidak ketinggalan zaman.
Terdapat
dua kondisi jika watak kedua ini diabaikan. Pertama, Islam akan menjadi hukum
yang kuno, kaku, dan ketinggalan zaman. Kedua, ia akan kehilangan jati dirinya
sebagai hukum Tuhan. Ini terjadi apabila hukum Islam terlalu semangat menerima
perubahan.[15] Artinya,
seperti yang diungkapkan oleh DR. Ahmad Buud, bahwa setidaknya terdapat
beberapa hal yang menjadi karakteristik dan dampak negatif maupun positif
modernitas, diantaranya adalah,: pertama, semakin terbebasnya manusia
dari kejumudan dan taklid yang membutakan; Kedua, kemajuan dan
perkembangan teknologi, terutama dari Barat; Ketiga, kegandrungan
masyarakat dunia pada kacamata (worldview) Barat, hingga tersebar
paham sekulerisme dan liberalisme di dunia Islam; Keempat,
kebangkitan umat Islam mengejar ketertinggalannya dari Barat.[16]
Oleh sebab itu, ijtihad merupakan bahasan yang tak
henti-hentinya dan menjadi kajian ramai para ulama zaman klasik hingga
sekarang, sebut saja misalnya Imam al-Ghazali dalam al-Mustasyhfā-nya.
Demikian juga dengan Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyād al-Fukhūl
sampai pada ulama-ulama kontemporer semisal Abdul Wahab Khalaf, Yusuf
Qaradhawi, Wahbah Zuhaili, dan Ali Jum'ah. Bahkan hampir di setiap
buku-buku usul fiqih selalu disisakan ruang pembahasan resmi tentang ijtihad.
[1]M. Amin Abdullah dalam Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir Peta Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun
Pustaka Yogyakarta, 2003), hal. xi
[3]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), hal. 39.
[4]Soerjono Soekanto, Pokok- Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994),
hal. 88
[6]Fathurrahman Djamil, Filsafat., hal. 42-43
[7]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1990), hal. 12.
[8]Akhmad Minhaji (terj.) oleh Ali Masrur, Kontroversi Pembentukan Hukum
Islam Kontribusi Joseph Schacht (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 15.
[9]Harun Nasution, Pembaharuan., hal. 14.
[10]Akhmad Minhaji, Kontroversi..., hal. 15.
[12]Syamsul Anwar, “Paradigma Fiqih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum
Islam, Teori dan Metodologi”, makalah matakuliah Ushul Fiqh (tidak di-publish), Yogyakarta, 2001, hal. 21.
[13]Yusuf al-Qardhawy, Ijtihad.,
hal.127
[14]Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam,
(Yogyakarta: UII Press, 1999), hal. 4
[15]Muhyar Fananai, Konsep Qoth’i Zanni dan Pentingnya Bagi Metode Istinbath
Hukum di Era Modern: Studi Perbandingan Antara Jumhur Ulama dan Al Syatibi, Skripsi sarjana, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1996), hal.
XV
[16]Ahmad Buud, “Ijtihad dan Urgensinya dalam
Hukum Islam”, dalam http://0882.multiply.com/journal/item/7, diakses pada 26 Novermber 2010.
Aftershokz titanium is a steel pipe from a welding
BalasHapusIron ore from the Horseshoe and titanium dioxide sunscreen the Saratoga River titanium bike frame in titanium apple watch band the Near West in the United States. titanium hair Iron ore from Horseshoe and the Saratoga River ford fusion titanium for sale in the Near West