By: Jondra Pianda, S.Sy.
Lagi, risywah (suap)
menjadi obrolan hangat. Tampak bahwa perbuatan ini memang tidak akan kunjung
padam di negeri ini. Terkait Risywah disinyalir banyak sekali
penyebabnya. Namun yang begitu nyata adalah karena pemerintah belum menemukan
format hukuman yang tepat untuk menjerat para pelaku. Mengapa Pemerintah?
Karena memang Negara ini adalah Negara hukum yang menempatkan Pemerintah
sebagai pengurus organisasi yang bernama Negara ini.
Dalam sebuah
dialog para tokoh bertajuk Kiat Memberantas Korupsi, yang ditayangkan
oleh salah satu stasiun televisi tahun lalu, diperoleh satu kesimpulan bahwa
satu-satunya cara ampuh yang mampu
menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang nyaris over-load di negara
yang mayoritas muslim ini adalah dengan meningkatkan kesadaran beragama yang
kuat. Hal ini merupakan jawaban atas
kegamangan para tokoh bangsa itu dalam menemukan solusi yang efektif
menuntaskan negara dari korupsi. Tidak ditemukannya solusi itu, sebabnya adalah
karena hingga saat ini penyebab korupsi itu tidak dapat digeneralisir menjadi
satu karena sejatinya memang beraneka sebab, konsumerisme (ekonomi), tekanan
politik, (keluarga) sosial, lemahnya penegakan hukum dan lain sebagainya. Namun
yang pasti bukan agama dan budaya, karena ajaran agama dan leluhur kita tidak
pernah mengajarkan kita untuk korupsi. Dengan demikian, orang yang melakukan
korupsi dapat disebut pelanggaran terhadap ajaran agama dan kehendak leluhur
suatu bangsa.
Terlepas bahwa
korupsi adalah sebuah pelanggaran terhadap ajaran agama (akhlaq al-madzmumah)
yang harus diberantas, para koruptor dalam ajaran tersebut juga wajib ditolong.
Menolong bukan berarti ikut nimbrung di dalamnya sehingga dikenallah
istilah korupsi berjamaah. Melainkan menolong untuk menyelamatkan mereka dari
ketidakselamatan di akhirat kelas. Bentuk pertolongan itulah yang akan penulis
bahas dalam artikel ini.
Korupsi dalam Tinjauan Fiqh Jinayah
(Pidana Islam)
Dalam tinjauan jinayah pidana Islam, sebagaimana dalam
pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di UII, Prof. Amir Mu’allim dari
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta berargumen bahwa jika mengikuti ajaran
Al-Qur’an korupsi dapat diberantas hanya dengan hukuman mati (bagi koruptor
kelas kakap), potong silang (untuk koruptor kelas menengah), dan penjara (bagi
koruptor kelas teri).
Sangat menakutkan
mengetahui sanksi yang demikian, namun jika boleh menyambung dialog itu pada
saat ini, maka secara spesifik saya beranggapan bahwa kembali pada ajaran agama
itu adalah solusi yang super hebat. Mengingat ajaran agama itu bersumber pada
Tuhan yang menciptakan dan paling mengetahui jalan keluar suatu permasalahan.
Kita semua, mungkin, pernah membayangkan, hidup damai dalam naungan agama yang
kita cintai, Islam.
Setidaknya, karena kita meyakini dengan sepenuh hati, Islam adalah agama yang mampu
memberikan tuntunan-tuntunan hidup yang positif dan rasional lewat ajarannya
baik di dunia maupun akhirat sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an dan AL-Hadis.
Di dalam kedua sumber suci ajaran itu juga diatur mengenai kabar gembira dan
ancaman (basyiran wa nadziran) yang
keduanya difungsikan untuk mendeskripsikan reward
atas kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh tangan manusia selama
mereka di dunia. Hal ini mengisyaratkan bahwa Allah dan Rasul-Nya menghendaki
bahwa manusia seharusnya punya jiwa antisipatif atas akibat dari apa yang akan
diperbuatnya.
Hilangnya jiwa
ansisipatif inilah yang kemudian menjadikan manusia tidak berfikir kedua kali
dalam setiap tindakannya. Khususnya terhadap ancaman dosa bagi siapa yang
melakukan tindakan buruk seperti korupsi atau suap yang juga dapat
diterjemahkan sebagai pengabaian terhadap ancaman Allah dalam Al-Qur’an yang
diperinci oleh Hadis Rasulullah.
Jika boleh
mengajak untuk berandai-andai bahwa jika saja manusia Indonesia ini mampu
menanamkan sikap antisipatif dalam hal dosa-pahala, sebagaimana disampaikan di
atas mungkin bencana akhlak berupa korupsi akan hilang atau paling tidak begitu
menggeliat seperti saat ini.
Ilustrasi
Balasan Allah Bagi Koruptor dalam Slilit Sang Kiyai (Rememori)
Slilit sama sekali tak penting. Tak pernah jadi
urusan nasional. Tidak pula berkaitan dengan ilmuan atau penyair yang memang
tidak pernah mengingatnya. Bahkan satu-satunya produk ekonomi yang berkaitan
dengannya disebut tusuk gigi –bukan tusuk slilit.
Padahal slilitlah yang ditusuk.
Namun demikian, slilit pernah
memusingkan seorang kiyai di dalam kuburnya, bahkan mengancam kemungkinan
susksesnya masuk surga. Ceritanya dia mendadak dipanggil Tuhan, sebelum para
santrinya diap untuk itu. Murid-murid setia itu sesudah mengebumikan sang kiyai
lantas nglembur mengaji berhari-hari.
Arag diperkenankan bertemu roh beliau sejenak barang dua jenak. Dan Allah Yang
Maha memungkinkan segala kejadian akhirnya menunjukkan tanda kebesaran-Nya.
Melalui mimpi, para santri itu melihat roh sang kiyai menemui mereka.
Singkat cerita terjadilah wawancara singkat, prihal nasib sang kiyai di
alam “sana”. Sang kiyai pun berkata: “Baik-baik
nak, dosa-dosaku umumnya diampuni, amalku diterima, tapi cuma satu yang
membuatku masyghul (sibuk). Kalian ingat waktu aku memimpin kenduri di rumah
Pak Kusen? Sehabis makan bareng hadirin berebut menyalamiku, hingga tak sempat
aku mengurus slilit di gigiku. Ketika pulang, di tengah jalan, barulah bisa
kulakukan sesuatu. Karena lupa enggak bawa tusuk gigi slilit maka aku mengambil
sepotong kayu kecil dari pagar orang. Kini alangkah sedihnya, bahwa aku tidak
sempat minta maaf kepada yang empunya prihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah
bakal mengampuniku”.
Para santri pun turut berduka. Kemudian membayangkan alangkah lebih
malangnya nasib sang kiyai bila slilit
di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu sebesar gelondongan kayu raksasa
di hutan Kalimantan. Lebih-lebih kalau menyamai hotel Asoka atau candi
Borobudur, setidaknya satelit Palapa.
Ada satu insensitas ruhani tertentu dari hidup manusia. Yakni tempat Tuhan
begitu mutlak. Tempat pahala begitu sakral, dan dosa begitu menakutkan lebih
dari Banaspati. Intensitas itu tentunya bergantung pada bagaimana seseorang
mengolah dirinya dalam hidup.
Meski demikian,
hal itu sebenarnya neluriah saja. Tanpa mengenal konsep dosa secara agama pun
orang yang menebang pohon angker jatuh sakit menganggap penyakitnya karena dosa
kepada yang punya dan menjaga pohon itu. Ada juga yang merasionalisasi: karena
tindakan penebangan merusak sistem ekologis.
Seorang Indian Wintu Callifornia berkata pilu: “Orang-orang kulit putih ini tidak pernah mencintai tanah, rusa atau
beruang. Jika kami makan daging, kami tak menyisakannya. Jika kami memerlukan
akar, kami bikin lubang bukan mencerabutnya. Kami tak menumbangkan pihon. Kami
hanya memakai kayu yang mencabutnya, memotong-motongnya. Roh tanah benci
mereka! Mereka meledakkan batu-batu. Gunung-gunung kecil, menghamparkannya di
tanah hingga saling tidak bisa bernafas. Batu-batu mengaduh: jangan! Aku pecah
dan aku sedih! Tetapi mereka tak ambil pusing. Bagaimana roh batu menyayangi mereka?
Apa saja yang tersentuh mereka rusaklah segala sesuatu itu….!
Naluri jernih suku Wintu bagai menyindir sejarah, sesudah kepunahan bangsa Kulit
Merah, manusia dengan kesadarannya berhasil menaklukkan alam, menggenggam,
mengeksplorasi, mengekploitasi, dan menyulapnya menjadi surga impian; memakan,
menghabiskan, memeras dan mengenyamnya demi kelayakan-kelayakan yang irasional
dan mubadzir, bagai direncanakan
untuk menyegerakan kehancuran yang ditutup-tutupi.
Jika naluri suku Wintu bisa disebut identik dengan kesadaran dosa, pada
zaman seba penaklukan ini, rumusan dosa telah begitu sukar diperoleh. Segalanya
serba berkaitan, semrawut dan
membenang kusut, menjadi tak begitu penting, juga di negari yang bangsanya
Nampak religius. Kata “Tuhan” disebut ratusan kali setiap hari. Konsep dosa
tidak memiliki fungsi di hampir setiap kebikasanaan yang menyangkut orang
banyak. Konsep dosa hanya tersisa di bagian pinggiran dari urusan pokok
masyarakat. Dan bagian pinggiran itulah hidup Pak kiyai yang sangat masyghul (sibuk,
pen.) akibat dosa selilitnya. (Diadopsi dari: Slilit Sang Kiai karya
Emha Ainun Najib dalam Grafiti mei 1993 hal. 3-5)
Orang
Islam Wajib Menyelamatkan Koruptor
Fitrah manusia
adalah ingin selalu dekat dengan Tuhannya. Jalaluddin Rumi, seorang sufi
mengibaratkan jiwa manusia seperti sebatang bambu yang diambil (dipisahkan)
dari rumpunnya. Begitulah kita-kita bagaimana ruh manusia ini begitu rindu pada
asalnya yaitu Tuhan.
Dengan fitrah
yang demikian, maka manusia sejatinya tidak akan mau berbuat sesuatu yang dapat
menjauhkannya dari Tuhan. Perbuatan yang menjauhkan manusia dari Tuhan itu
adalah segala perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani yang telah
diciptakan Tuhan sebagai barometer. Hati nurani tidak pernah setuju
dengan perbuatan yang buruk. Dan setiap manusia pasti memiliki hati nurani.
Korupsi adalah
perbuatan yang sangat bertentangan dengan ajaran agama karena dapat di-qiyas-kan
sebaai perbuatan mencuri. Jika ditilik lebih jauh akar persoalannya maka dapat
dipastikan bahwa jauh dalam hati nuraninya, seseorang tidak mengehendaki
perbuatan ini. Namun karena beberapa sebab seperti yang disampaikan pada
pendahuluan di atas bahwa lingkungan ekonomi, politik, sosial, dan hukumlah
yang memaksa (menipu)-nya untuk berbuat demikian. Hal ini sesuai dengan
petunjukan Nabi bahwa setiap manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah, kedua
orang tuanyalah yang menentukan apakah ia akan menjadi hitam atau putih. Hal
ini juga dapat diartikan lingkunganlah yang dapat menjadikan seseorang baik
atau buruk.
Keadaan terpaksa
(tertipu) inilah menjadi dalil bagi orang Islam untuk membantu koruptor yang
dipaksa (ditipu) oleh suatu kondisi. Dapat pula diartikan bahwa mereka dizalimi
oleh lingkungan dimana mereka hidup. Di sisi lain, koruptor juga dapat disebut
orang yang zolim karena telah merampas hak orang lain dan menimbulkan banyak
kesengsaraan. Dalam kedua posisi ini, Islam mengajarkan bahwa orang Islam akan
berdosa jika tidak membantu orang yang dizalimi dan zalim, dalam konteks amar
ma’ruf nahi munkar.
Dasar kewajiban
itu sebagaimana firman Tuhan dalam hadis qudsi: "Dengan keperkasaan dan keagunganKu, Aku akan membalas orang zalim
dengan segera atau dalam waktu yang akan datang. Aku akan membalas terhadap
orang yang melihat seorang yang dizalimi sedang dia mampu menolongnya tetapi
tidak menolongnya." (HR. Ahmad)
Begitu juga dalam
hadis Nabi: “Barangsiapa berjalan bersama
seorang yang zalim untuk membantunya dan dia mengetahui bahwa orang itu zalim
maka dia telah ke luar dari agama Islam. (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
Dalam hadis lain
juga disebutkan: “Bila orang-orang
melihat seorang yang zalim tapi mereka tidak mencegahnya dikhawatirkan Allah
akan menimpakan hukuman terhadap mereka semua. (HR. Abu Dawud)
Kemudian
pertanyaan yang timbul adalah dalam bentuk apakah bantuan itu diformulasikan
bagi para koruptor?
Cara membantu
koruptor dalam posisi dia sebagai orang yang zalim adalah sebagaimana Rasul
pernah bersabda, yang seketika itu pula para sahabat bingung karena tidak
mengerti dengan ucapan Rasul. Hadits
tersebut adalah: “Tolonglah
saudaramu baik yang dizolimi dan yang zolim.” Mereka bertanya: “ini kita membantunya disaat dia dizolimi,
kemudian bagaimana kita membantu orang yang zolim?” Beliau bersabda: “rampaslah apa yang ada ditangannya
(kekuasaanya)”
Dalam hadis ini
ini, koruptor diposisikan sebagai pihak yang berlaku zolim karena perbuatan
mencuri hak orang lain. Namun demikian, dalam ajaran Islam mereka juga termasuk
orang-orang yang harus ditolong. Walaupun memang hadis di atas tidak secara
spesifik diformulasikan bagi para koruptor.
Pada akhirnya,
memang tidak ada satupun manusia yang dapat memastikan bahwa hukuman di dunia
dapat menghapus hukuman Allah di akhirat. Namun demikian, indikasi bahwa barang
siapa yang mau bertaubat atas dosa yang telah diperbuatnya, pastilah Allah akan
mengampuni dosa-dosa itu. Wallahu a’lam bishawwab!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar