Muslimspot.com

Kamis, 17 Maret 2011

Hukum Tasharruf Zakat Kepada Muslim Fasik


Oleh: Jondra Pianda

A.     LATAR BELAKANG
Setiap umat Muslim berkewajiban untuk memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Al-Qur’an. Pada awalnya, Al-Qur’an hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Yaitu dengan turunnya qur’an surat al-Rum ayat 38. Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Yaitu dengan turunnya qur’an surat al-Mu’minun ayat 1-4, al-Naml ayat 1-3, Luqman ayat 1-5, dan Fusshilat ayat 6-7.[1] Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat itu, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.


Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari’ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan.[2] Kejatuhan para khalifah dan negara-negara Islam menyebabkan zakat tidak dapat diselenggarakan dengan berdasarkan hukum lagi.
Terakhir, di Indonesia, regulasi penyelenggaraan kepengurusan zakat diatur oleh Pemerintah melalui Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan yang bersift teknis, seperti tidak adanya penegasan mengenai sistem pemungutan zakat, penghitungan harta muzakki oleh petugas zakat, dan bahkan tidak ada ketentuan sanksi atau hukuman bagi orang yang tidak mengeluarkan zakat atau tidak mematuhi ketentuan zakat tersebut. Tidak terkecuali persyaratan yang tak kalah penting yaitu mengenai ketentuan atau kualifikasi pengelola zakat, terutama terkait loyalitasnya dalam ber-tasharruf (mengelola) zakat.
Hal ini dinilai penting sebab salah satu penyakit yang masih menggerogoti keuangan Indonesia adalah korupsi atau penyalahgunaan uang negara termasuk dalam bidang pengelolaan zakat.[3] Hal ini sangat dipengaruhi oleh loyalitas setiap pengelola keuangan negara yang lemah. Artinya bahwa hanya faktor iman saja-lah yang mampu menghindarkan para pengelola tersebut dari jerat korupsi. Alasan pentingnya bagian ini supaya dana zakat yang dikumpulkan oleh masyarakat melalui pengelola zakat nasional dapat diterima dan disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga tujuan sosial zakat tersebut dapat tercapai.
Islam mempunyai pandangan tersendiri terhadap masalah ini, bahwa seseorang yang tidak loyal (fasik) terhadap ajaran islam memiliki derajat yang rendah di sisi Allah SWT (q.s. at- Taubah: 67). Jika kemudian orang yang fasik tersebut diangkat menjadi pengelola zakat yang sarat akan dimensi spiritual dan sosial itu, maka menarik untuk memunculkan pertanyaan bagaimanakah hukum tasharruf zakat yang dikelola oleh orang- orang yang fasik tersebut. Untuk menjawab pertanyaan inilah, penulis mengangkat tema hukum tasharruf zakat kepada muslim fasik.

B.      RUMUSAN MASALAH
Berdasar pada latar belakang di atas maka yang menjadi fokus permasalahan penulisam makalah ini adalah
1.      Bagaimana ketentuan- ketentuan islam mengenai kriteria pengelola zakat
2.      Apakah hukum tasharruf zakat kepada muslim yang fasik

C.   PEMBAHASAN
1.     Pengertian Tasharruf Zakat
Kata tasharruf berasal dari bahasa Arab yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pengelolaan atan pengurusan. Biasanya kata tasharruf ini sering dujumpai dalam fikih muamalah yang identik dengan beberapa istilah dalam al-‘ilmu al-iqtishadyi (ilmu ekonomi), seperti kata “al- iltizam” ataupun “al-‘aqdu”.
Sedangkan zakat dalam terminologi fiqih, sering juga disebutkan dengan istilah shadaqah dengan maknanya yang lebih general yang berkonotasi pada sebuah amal kebajikan kepada orang lain.  Zakat berasal dari kata “zaka” sebagai mana digunakan dalam al-Qur'an adalah suci dari dosa.  Dalam literatur fiqih zakat bermakna suci, tumbuh, berkembang dan berkah.  Pengertian zakat secara terminologis adalah bagian harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim mukallaf yang memenuhi persyaratan kepada pihak yang memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan dikenainya kewajiban zakat adalah nisab, haul dan kadar zakat.  Sedangkan pihak penerima zakat adalah yang memenuhi salah satu kriteria dari delapan ashnaf (golongan) mustahiq (berhak) zakat sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan tasharruf zakat dalam makalah ini adalah kegiatan pengelolaan/ pengurusan zakat yang diserahkan kepada muslim yang fasik. Yaitu orang- orang yang tidak mengindahkan perintah Allah swt. Karenanya, mereka menyuruh kepada kemungkaran dan melarang berbuat yang ma’ruf.

2.      Tujuan dan Pengaruh Zakat
Sebelum membahas mengenai tujuan tasharruf zakat dan pengaruhnya, penting untuk dikatahui bahwa zakat merupakan satu- satunya ibadah yang secara langsung memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi spiritual (agama), moral dan sosial. Dan masing- masing dimensi tersebut memuat faedah- faedah. Adapun faedah- faedah tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1.      Faedah Diniyah (segi agama)[4]
a.      Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
b.      Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
c.       Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS: Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq "alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam" juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
d.      Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.

2.      Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)
a.      Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
b.      Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
c.       Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
d.      Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.

3.      Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
a.      Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
b.      Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
c.       Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
d.      Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
e.      Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.

Pada bagian terakhir ini tampak bahwa Islam dalam men-syariatkan zakat merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi nilai keadilan. Tidak hanya pada dimensi spiritual namun juga sosial. Tasharruf zakat merupakan ibadah memiliki unsur yang multidimensi. Maksudnya bahwa diantara kelima rukun islam, syari’at zakat merupakan syari’at yang mempu menyentuh tatanan spiritual dan sosial sebagai objek tujuan pembenahan. Oleh sebab itu, pengaruhnya pun dapat pula mencakup tidak hanya pada kehidupan individu tapi juga pada masyarakat sosial.
Untuk itu, di Indonesia yang masyoritas penduduknya memeluk agama islam, pengelolaan zakat diurus oleh pemerintah melalui Badan Amil Zakat Nasional sebagai perangkat pemerintahan. Terdapat beberapa alasan mengapa negara perlu turut campur dalam masalah tasharruf (pengelolaan) zakat ini, diantaranya:
Pertama, zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf dan hibah. Zakat hukumny wajib (imperatif) sementara charity hukumnya mandub (sunnah). Pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah dalam qur’an surat al-Taubah ayat 103. Padahal satu- satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan itu adalah negara lewat perangkat pemerintahan.
Kedua, potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Ketiga, zakat mempunyai potensi besar untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Keempat, supaya dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kelima, memberikan kontrol kepada pengelola negara.[5] 

3.      Tasharruf Zakat pada Masa Rasulullah
Nabi Saw. memberikan zakat kepada orang yang beliau ketahui, bahwa orang itu tergolong ahli zakat. Apabila seseorang meminta zakat, sedang beliau tidak mengetahui keadaannya, maka beliau berikan setelah mengetahui bahwa orang tersebut tidak berharta dan tidak sanggup berusaha. [6]
َعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا: ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم بَعَثَ مُعَاذًا رضي الله عنه إِلَى اَلْيَمَنِ )  فَذَكَرَ اَلْحَدِيثَ, وَفِيهِ: ( أَنَّ اَللَّهَ قَدِ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ, تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ, فَتُرَدُّ فِ ي فُقَرَائِهِمْ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيّ ِ
Artinya:
Dari Ibnu Abbas r. bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Mu'adz ke negeri Yaman --ia meneruskan hadits itu-- dan didalamnya (beliau bersabda): "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan mereka zakat dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Beliau mengambil zakat dari orang yang wajib memberikannya kepada orang yang wajib menerimanya. Beliau menyuruh dibagi kepada orang yang berhak yang berada ditempat zakat itu dan yang lebih dari keperluan mereka barulah diangkut kepada beliau umtuk beliau membaginya. Karena itu beliau mengutus pengumpul- pengumpul zakat ke dusun- dusun mendatangi orang- orang yang mempunyai harta yang nyata, yaitu binatang, dan tumbuh- tumbuhan. Di samping itu, beliau mengirim pula orang yang menaksirkan buah- buah kurma yang masih di batang dengan menyuruh tinggalkan 1/3 atau ¼ untuk pemiliknya sendiri. Pernah Rasulullah mengirim Abdullah Ibn Rawahah untuk mentaksir buah- buahan dan tanam- tanaman penduduk Khaibar. Abdullah menolak sogokan yang diajukan oleh penduduk Khaibar kepadanya.[7]
Para ulama sepakat bahwa yang wajib membayar zakat adalah orang islam yang merdeka (bukan budak), baligh, berakal sehat, dan mempunyai hak milik penuh atas harta benda yang mencapai satu nishab. Kecuali pada yang terakhir ini, para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban membayar zakat harta benda yang mencapai satu nizhab yang dimiliki oleh anak yatim, orang gila, hamba sahaya, orang kafir, dan orang yang tidak pasti kepemilikannya, seperti orang yang mempunyai hutang atau ia mempunyai piutang, atau hartanya tidak dapat diambil.[8]
Adapun orang- orang yang berhak menerima zakat adalah sebagai berikut:[9]
a.      Fakir, yaitu orang- orang yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
b.      Miskin, yaitu orang- orang yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
c.       Amil, yaitu orang- orang yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
d.      Muallaf, yaitu orang yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya.
e.      Hamba sahaya, yaitu orang- orang yang ingin memerdekakan dirinya..
f.        Gharimin, yaitu orang- orang yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
g.      Fisabilillah, yaitu orang- orang yang berjuang di jalan Allah, seperti dakwah dan perang.
h.      Ibnus Sabil, yaitu orang- orang yang kehabisan biaya di perjalanan.

Kualifikasi ini berdasar pada firman Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat at-Taubah: 60, yang berbunyi sebgai berikut:
 * $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
Artinya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Q.S. at-Taubah: 60)

Diantara orang- orang yang tidak berhak menerima zakat adalah sebagai berikut:[10]
a.      Orang kaya, hal ini berdasar pada sabda Rasulullah yang artinya, "Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari).
b.      Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
c.       Keturunan Rasulullah, berdasarkan sabda Rasulullah yang berbunyi, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim).
d.      Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri.
e.      Orang kafir.

4.     Sekilas tentang Tasharruf Zakat di Indonesia
Konsepsi pemerintah negara republik Indonesia adalah konsepsi pemerintahan negara islami.[11] Negara RI yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 ini tercakup dalam pengertian darul-islam. Pemerintah yang sah menurut hukum islam, dan umat islam wajib patuh terhadapnya.
Oleh sebab itu, pemerintah RI mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana ngara- negara islam yang lain, menurut tinjauan hukum islam, termasuk menegakkan sistem perzakatan.
Sesuai dengan amanat pancasila dan UUD1945, maka pemerintah RI mempunyaituas kewajiban untuk memberikan bimbingan dan bantuan guna memperlancar usaha pembangunan agama sesuai dengan ajaran agama masing- masing, termasuk persoalan zakat. Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa pengolaan zakat itu merupakan tugas negara.
Negara berhak dan wajib menangani pengurusan zakat dan tidak boleh membiarkan para pemilik zakat itu menyelesaikan sendiri urusan pendistribusian zakat, karena zakat merupakan sarana untuk melindungi nasib orang fakir, miskin, untuk mengubah kondisi dan situasi konstelasi ekonomi rakyat yang masih jauh dari yang diharapkan, dan untuk dapat menumbuhkembangkan tata kehidupan yang serba selaras, serasi dan seimbang. Sekiranya inilah yang kemudian melandasi berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di Indonesia.

5.      Hukum Tasharruf Zakat kepada Muslim Fasik
Perhatian qur’an dengan nashnya terhadap amil zakat dan dimasukkannya delapan golongan mustahiq zakat yang berada setelah fakir dan miskin sebagai sasaran zakat dalam islam bukanlah suatu tugas yanag hanya diberikan kepada seseorang. Tetapi juga merupakan tugas negara. Nagara wajib mengatur dan mengangkat orang- orang yang bekerja dalam urusan zakat yang terdiri dari para pengumpul, penyimpan, penulis, penghitung, dan sebagainya. Zaklat mempunyai anggaran khusus yang dikeluarkan daripadanya gaji para pelaksananya.
Dari tulisan para ahli fikih disebutkan bahwa wajib para Imam mengirim para petugas untuk memungut zakat, karena Nabi saw. Dan para khalifah sesudah beliau menugaskan para pemungut zakat. Dan hal ini merupakan hal yang mashur.
Diantara hadis- hadis Nabi ialah Abu Hurairah yang terdapat dalam hadis sahih Bukhari-Muslim yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. Telah mengutus Umar Ibnul-Lutbiah sebagai petugas pemungut zakat. Hadis dalam soal ini banyak sekali. Diantaranya penduduk terdapat orang yang punya harta tapi tidak tahu akan kewajibannya. Ada juga diantara mereka yang mengetahui kewajibannya tetapi kikir, oleh karena itu wajib adanya para pemungut zakat.[12]

1.      6. Penegasan Rasulullah Terhadap Pemeliharaan Harta Zakat dari orang Fasik
Bila amil zakat itu seorang pegawai yang jujur dari kalangan pemerintah, hendaklah ia berusaha mengumpulkan dan menyimpan zakat itu menurut perintah. Ia tidak boleh menggunakan zakat itu sedikitpun untuk kepentingan dirinya atau ia gelapkan harta zakat itu sedikit atau banyak. Karena harta itu milik umum, tidak boleh seseorang punya ambisi memilikinya, atau mengambilnya secara tidak sah menurut hukum. Hadis Adi Bin Umairah, ia berkata:
“Saya dengar rasulullah saw. Mengatakan bahwa barangsiapa diantaramu kami angkat jadi amil zakat, lalu ia gelapkan sebuah jarum atau lebih, maka pada hari kaiamat aia akan datang sebagai penghianat”. Lalu berdirilah seorang hitam dari kalangan anshar, nampaknya saya pernah melihatnya. Ia berkata: “wahai rasulullah, jelaskan kepadaku pekerjaan yang engkau maksudkan itu”. Nabi berkata: “ada apa denganmu?” ia berkata: “saya dengan engkau katakan demikian.” Maka nabi berkata: “baiklah saya katakan sekarang. Barangsiapa aiantaramu aku angkat jadi pelaksana suatu pekerjaan, hendaklah ia laporkan hasil kerjanya, baik ia peroleh sedikit ataupun banyak.” Lalu ia mengambil apa yang aku berikan, dan ayang aku larang tidak dia ambil.” [13]

2.      7. Syarat- Syarat Amil Zakat
Aspek kejujuran nampak menjadi kualifikasi utama amil zakat. Yusuf Qardawy dalam bukunya memaparkan bahwa amil zakat harus memenuhi beberapa kualifikasi, yaitu sebagai berikut:[14]
a.      Hendaklah dia seorang muslim, karena zakat itu urusan kaum muslimin, maka islam menjadi syarat bagi segala urusan mereka. Dari urusan tersebut dapat dikecualikan tugas tidak berkaitan dengan soal pemungutan dan pembagian zakat misalnya penjaga gudang atau sopir. Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dibolehkan dalam urusan zakat menggunakan amil bukan muslim berdasar atas pengetian umum dari kata “al ‘amilina alaiha” sehingga termasuk di dalamnya pengertian kafir dan muslim. Juga harta yang diberikan kepada alim itu adalah upah kerjanya. Oleh karena itu tidak ada halangan baginya untuk mengambil upah tersebut.
b.      Handaklah petugas zakat itu seorang mukallaf, yaitu orang yang dewasa yang sehat akal pikirannya.
c.       Petugas zakat itu hendaklah orang yang jujur, karena ia diamanati harta kaum muslimin. Janganlah petugas zakat itu orang yang fasik lagi tidak dapat dipercaya, misalnya ia akan berbuat zalim kepada para pemilik harta. Atau ia akan berbuat sewenang- wenang terhadap hak fakir miskin, karena mengukuti kainginan hawa nafsunya atau untuk mencari keuntungan.
d.      Memahami hukum-hukum zakat
e.      Kemampuan untuk melaksanakan tugas
f.        Tidak boleh mengangkat kerabat
g.      Disyaratkan laki- laki
h.      Sebagian ulama mensyaratkan amil itu adalah orang yang merdeka bukan seorang hamba.

3.      Analisis
            Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa islam sangat berhati- hati dalam menjaga kemashlahatan manusia. Sebagai salah satu tujuan utama disyariatkannya zakat tentu saja faktor kemashlahatan manusia tidak boleh dicederai hanya karena pengurus zakat, dalam hal ini adalah amil zakat, yang tidak profesional dengan mengabaikan aspek kejujuran. Oleh karena itu, muslim yang fasik tidak dapat diterima sebagai amil zakat karena adanya kekhawatiran tersebut. Hal ini berlangsung setidaknya pada masa awal islam dan awal munculnya syria’at zakat itu muncul.
            Terdapat beberapa alasan yang mendukung pernyataan ini, diantaranya: pertama, bahwa masyarakat pada awal pensyari’atan zakat berada dalam kondisi ekonomi yang tidak setabil sehingga ketergantungan terhadap zakat sangalah besar. Kedua, dahulu kegiatan ekonomi tidak sepesat saat ini sehingga perkembangan ekonomi tidak merata khususnya bagi orang fakir dan miskin. Ketiga, keberadaan orang fasik dahulu sangat membahayakan kekuatan islam sehingga kekhawatiran akan terjadinya kecurangan dalam pengelolaan zakat sangatlah besar.
            Di Indonesia, pemikiran tentang urgensitas pengelolaan zakat patut diapresiasi sebagai suatu terobosan penting. Mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang hingga hari ini jauh dari kata stabil. Adanya BAZNAS merupakan suatu bentuk kepedulian islam terhadap para pemeluknya. Kedudukan BAZNAS sangatlah penting dalam mengurus dan mengelola dana zakat demi pemerataan pembangunan.
            Dalam islam, tidak ada ketentuan khusus mengenai kualifikasi amil zakat secara subjektif selain apa yang disampaikan oleh Yusuf Qardwy, yaitu muslim, mukallaf, jujur, memahami hukum zakat, mampu, laki- laki dan bukan hamba sahaya. Hal ini penting mengingat urgensitas zakat untuk kekuatan islam. Dengan demikian, hanya orang- orang yang memiliki loyalitas terhadap ajaran islamlah yang pantas menjadi amil zakat.
            Pada era modern ini, yang nota-benenya berbeda baik secara regulasi zakat dan situasi ekonomi terhadap zaman dimana awalnya zakat disyari’atkan. Perbedaan tersebut juga berdampak pada persepsi masyarakat terhadap zakat. Pertama, bahwa umat islam sudah tidak lagi memiliki ketergantungan besar terhadap zakat seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi global yang memungkinkan umat islam untuk menekuni berbagai macam profesi untuk keberlengsungan hidupnya. Kedua, islam sudah memiliki kekuatan yang memadai sehingga tidak begitu khawatir dengan adanya segelintir orang fasik. Ketiga, pengelolaan zakat oleh pemerintah diatur secara khusus dalam undang- undang sehingga berbagai kecurangan dapat dimonitor secara efektif dan bahkan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Keempat, seiring dengan berkembangnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan, pengelolaan zakat membutuhkan tenaga ahli, artinya tidak semua muslim memiliki kompetensi di bidang ini.
            Perlu dicatat bahwa kekhawatiran akan terjadinya kecurangan merupakan syarat penting dalam menjadikan status hukum orang fasik menjadi amil zakat pada awal pensyari’atan zakat. Artinya, jika kemudian kecurangan itu dapat dicegah atau ditanggulangi oleh peraturan dalam suatu negara maka status hukum orang fasik tersebut itu pula dapat menjadi boleh menjadi amil zakat. Wallahu a’lam bi al-shawab.
           
           
DAFTAR PUSTAKA

Asnaini, Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Peljar, 2008)

H.A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultumedi, 2008)

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Alih bahasa oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zidun, (Beirut: Dar al-Jiil, 1989)

Nurdin Mhd. Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)

Sjechul Hadi Permono, Pemerintah Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1992)

T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000)

                                              , Beberapa Permasalahan Zakat, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976)

                                             , Pedoman Zakat, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999)

Yusuf  Qardawi, Hukum Zakat, Alih bahasa oleh Salman Harun Dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1996)











[1] Asnaini, Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Peljar, 2008), hal 29
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hal 204.
[3] Nurdin Mhd. Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. XXIV
[4] T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 22
[5] Op., Cit, Nurdin Mhd. Ali, hal. XXIV
[6] Op., Cit. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, hal 215
[7] Ibid.
[8] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Alih bahasa oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zidun, (Beirut: Dar al-Jiil, 1989), hal. 550
[9] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Beberapa Permasalahan Zakat, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976), hal.32
[10] H.A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultumedi, 2008), hal. 28
[11] Sjechul Hadi Permono, Pemerintah Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1992), hal. 151
[12] Tusuf  Qardawi, Hukum Zakat, Alih bahasa oleh Salman Harun Dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1996), hal. 545
[13] Op., Cit. Yusuf Qardawi, hal 557
[14] Op., Cit, Yusuf Qardawy, hal. 551

Tidak ada komentar:

Posting Komentar