Muslimspot.com

Rabu, 04 Mei 2011

Perjanjian Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Konvensional

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
A.        Pengertian Perjanjian dalam Lembar Syari’ah dan KUH Perdata
Sebelum membahas maslah sumber suatu perikatan maka nampaknya penting untuk dipaparkan terlebih dahulu terkait dengan masalah definisi perikatan itu sendiri. Akad atau kontrak berasal dari bahsa arab yang berarti ikatan atau simpulan baik katan yang nampak (hissy) maupun tidak nampak (ma’nawi).[1] kamus almawrid, menerjemahkan aqad sebagai contract and agreement atau kontrak dan perjanjian[2]. Sedangkan akada dan kontrak menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua belah pihak atau lebih yang memiliki implikasi hkum yang mengikat untuk melaksanakannya.
Sehubungan dengan pengertian hukum kontrak dalam literature hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping istilah “hukum perikatan” untuk menggambarkan ketentuan hukum yang mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah “hukium perutangan” , “hukum perjanjian” ataupun “hukum kontrak”. Masing- masing istilah tersebut mempunyai artikulasi yang berbeda satu dengan yang lainnya.[3]
Istilah hukum perutangan biasanya diambil karena suatu transaksi mengakibatkan adanya konsekuensi yang berupa suatu peristiwa tuntut- menuntut[4]. Hukum perjanjian digunakan apabila melihat bentuk nyata dari transaksi. Hal ini mengacu pada pengertian perjanjian menurut subekti, yaitu suatu operistiwa dimana seseorang berjanji kepadsa orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan seseuatu. Apabila pengturan hukum tersebut mengenai perjanjian dalam bentuk tertulis maka sering disebut hukum kontrak. Sedangkan digunakan hukum perikatan untuk menggambarkan bentuk abstark dari terjadinya keterikatan para pihak yang mengadakan transaksi tersebut, yang tidak ahanya timbul dari adanya perjanjian dari kedua belah pihak, namun juga dari ketentuan yang berlaku di luar perjanjian tersebut yanag mengakibatkan terikatnya para pihak untuk melaksanakan tindakan hukum tertentu. Di sini tampak bahwa hukum perikatan memiliki pengetian yang lebih luas dari sekedar hukum perjanjian.
Hokm kontrak merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa belanda disebut dengan overeenscomsrecht. Lebih lengkap lagi Salim H S mengrtikan hukum kontrak sebagai “keseluruhan dari kaidah- kaida hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. [5]
Dafinisi tersebut didasarkan pada pengetian Van Dunne, yang tidak ahanya mengaji kontrak tidak hanya pada tahap contraktual semata- mata, tetapi juga harus diperhatikan perbuatan sebelumnya yang mencakup tahap procontrakotual dan post contrakotual. Pracontractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan, sedangkan post contractual[6] adalah pelaksanaan perjanjian.
Adapun yng dimksud dengan hukum kontrak syari’ah adalah keseluruhan kaidah- kaidah hukum yang mengatur hubungan hkum di bidang muamalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antarea dua pihak atau lebih berdasarkn kata sepapat untuk menimbulkan akibat hukum secara tertulis berdasarkan hukum islam.[7]

B.        Sumber Perjanjian Syari’ah dan Konvensional
Walaupun sudah dijelaskan terdahulu yaitu dalam pembahasan mengenai Perjanjian, Perikatan dan Kontrak vs Akad, Iltizam dan Tasharrufaat (Tinjauan Etimology dan Terminology), namun mengulang kembali pembahasan tersebut untuk menemukan kembali ungensi pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dalam pembahasan ini, tidaklah menjadi sesuatu yang berlebihan.
Menurut Hendi Suhendi perjanjian adalah suatu hubungan hukum di lapangan harta kekayaan dimana seseorang berjanji (dianggap berjanji) kepada seseorang yang lain atau kedua pihak saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.[8]
Van Dunne sebagaimana dikutip dari Salim mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.[9] Oleh sebab itu, dalam fiqh muamalah dikatakan bahwa ketika proses perjanjian telah terjadi maka dari perjanjian tersebut menimbulkan suatu hubungan yang disebut perikatan.
Untuk memahami secara detail mengenai perbedaan antara perjanjian dan perikatan Dr. Yusuf Musa menjelaskan bahwa  perjanjian itu hanya sebatas pernyatan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan perikatan adlaah pelaksanaan dari pernyataan tersebut sehingga menimbulkan hubuugan antara kedua orang itu, yaitu tuntut dan menuntut.[10]
Sementara dalam pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adlaah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal. [11]
Dengan demikian, setelah adanya perjanjian yang menimbulkan perikatan maka timbulah yang dinamakan kontrak atau oleh Hasanuddin Rahmad disebut perjanjian tertulis sebagai media atau bukti kedua belah pihak.
Charless l. Knap dan Nathan m. crystal menjelaskan bahwa contract is: an agreement between two or more people not merely a shered belief, but common understanding as to something that is to be done in the future. By one or both of them.  Kontrak adlah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih tidak hanya memberikan kepercayaan tapi  secara bersama- sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya.
Maka jika sudah melalui proses penulisan atau penuangan perjanjian dalam tulisan yang mengaitkan undang- undang untuk mengaturnya. Undang- undang tersebut berhak mengatur baik hak atau kewajiban antara kedua belah pihak. Karena undang- undang dalam hal berperan sebagai sumber perikatan yang disebabkan karena perbuatan manusia dalam hal ini kedua belah pihak yang memaksa.
Sebagai skala perbandingan untuk mengomparasikan antara sumber perikatan dalam syari’ah dan konvensional maka menarik untuk mengutif Ahmad Mustafa Az Zarqo dalam Hasanuddin Rahmad mengatakan bahwa sumber- sumber perikatan dalam islam terdiri dari lima hal yang disebut sebagai mashadir al iltizam, yaitu; akad, kehendak sepihak, perbuatan merugikan, perbuatan bermanfaat, dan syara.[12]

C.        Hubungan Hukum Suatu Perjanjian Syari’ah dan Konvensional
Dalam ajaran islam terkait masalah perikatan atau yang lebih dikenal dengan istilah akad. Sesuai dengan definisi sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum yang terjadi antara pihak- pihak yang melakukan akad tersebut terdiri dari tiga hal pokok, yaitu: hubungan untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu dan kepemilikan sebagaimana telah dibahas mengenai sumber perikatan syari’ah sebelumnya. Yang pada intinya hubungan hukum yang terjadi dalam perikatan syari’ah tidak jauh berbeda dengan hubungan hukum yang terjadi dalam perikatan konvensional. Namun demikian tetap, kedua perikatan itu memiliki perbedaan- perbedaan yang cukup mendasar.  
Dalam hal suatu perhubungan uhkum mengenai suatu benda, hukum B.W membedakan antara hak terhadap suatu benda dan hak terhadap orang, sedemikian rupa bahwa, meskipun suatu perjanjian adalah mengenai suatu benda, perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang- dan orang, lebih tegas lagi antara seorang tertentu dan orang lain tertentu.[13] Artinya hukum B.W tetap memandang suatu perjanjian sebagai hubungan hukum dimana seorang tertentu, berdasar atas suatu perjanjian, berwajib untuk melakukan sesuatu hal, dan orang tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu.
Dalam B.W, ada tersebut suatu macam perikatan yang dinamakan “natuurlijke verbintenis” secara tegas tidak diberikan apa yang dimaksud dengan perikatan semacam itu.[14] Satu- satunya pasal yang memakai istilah tersebut ialah pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan, bahwa terhadap natuurlijke verbintenis”, tidaklah diperkenankan untuk meminta apa yang telah dibayarkan itu. Dengan kata lain apa yang sudah dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang, karena pembayaran tersebut dianggap sah. Artinya tidak termasuk dalam golongan pembayaran yang tidak diwajibkan, seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359.

D.        Tentang Akibat Hukum Perjanjian
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, perjanjian bukanlah perikatan moral tetapi perikatan hukum yang memiliki akibat hukum. Akibat hukum dari perjanjian yang sah adalah berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatanya, adalah bahwa kesepakanan yang dicapai oleh para pihak dalam perjanjian mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang- undang. Para pihak dalam perjajian tidak boleh keluar dari perjanjian secara sepihak, kecuali apabila telah disepakati oleh para pihak atau apabila berdasarkan pada alasan- alasan yang diatur oleh undang- undang atau hal- hal yang disepakati dalam perjanjian.
Sekalipun dasar mengikatnya perjanjian berasal dari kesepakatan dalam perjanjian, namun perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal- hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga mengikat untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, dan kebiasaaab atau undang- undang. Untuk itu setiap perjanjian yang disepakati harus dilaksanakan dengan itikad baik dan adil bagi semua pihak.

E.    Sebab- Sebab Berakhirnya Perjanjian
Terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat- syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya habisnya jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian atau dalam loan agreement, semua hutang dan bunga atau denda jika ada telah dibayarkan. Secara keseluruhan, KUHPerdata mengatur factor- factor lain yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian yang sebenarnya jika dibandingkan dengan berakhirnya perikatan dalam hokum syar’I tidak jauh berbeda jika tidak mengatakannya sama, diantaranya karena:
1)      Pembayaran
                Pembayaran tidak selamanya diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsure pembayaran
2)      Penawaran Pembayaran, Diikuti Dengan Penyimpangan atau Penitipan
                Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan pestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam- meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan gigilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.
3)      Pembaharuan Hutang
                Pembaharuan hutang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bias muncul karena berubahnya pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian novasi dimana terjadi pergantian pihak debitur atau karena berubahnya perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian sewa, karena pihak pembali tidak mampu melunasi sisa pembayaran.
4)      Perjumpaan Hutang Dan Kompensasi
                Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling menghutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka masing- masing.
5)      Percampuran Hutang
                Berubahnya kedudukan pihak atau suatu objek perjanjian juga dapat menyebabkan terjadinya percampuran hutang yang mengahirir perjanjian, contohnya penyewa rymah yang berybah menjadi pemilik rumah karena dibelinya rumah sebelum waktu sewa berakhir maka sementara masih ada tunggakan sewa yang belum dilunasi.
6)      Pembebasan Hutang
                Pembebasan hutang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang, sehiongga dengan terbebasnya debitur dari kewajiban pemenuhan hutang, maka hal yang disepakati dalam perjajian sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi tidak ada padahal suatu perjanjian dengan dengan demikian berakhirlah perjanjian.
7)      Musnahnya Barang yang Terhutang
                Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat perjajian karena barang sebagai hal (objek) yang diperjanjikan tidak ada, sehingga berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.
8)      Kebatalan atau Pembatalan[15]
                Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkab perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata cara pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnya perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan pra pihak sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata atau dengan putusan pengadila yang didasarkan pada pasal 1266 KUHPerdata.
9)      Berlakunya Suatu Syarat Batal
                Dalam pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian oleh karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjajian.
10)   Lewatnya Waktu (Daluarsa)

F.         Perbedaan Perjanjian -sebagai Sumber Akad dalam Perikatan Syari’ah- dan Perjanjian dalam Perikatan Konvensional
Hakikat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak- pihak yang diikat di dalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga undang- undang. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakikatnya pmerupakan hasil kesepakatan para pihak , jadi sumbernya benar- benar kebebasan pihak- pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain mengikat karena danya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang- undang, contohnya perikatan antara orang tua dengan anaknya muncul karena adanya kesepakatan dalam perjanjian diantaranya ayah dan anak tetapi perintah undang- undang.
Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada konsekuensi hukumnya.[16] Pada periktan masing- masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing- masing pihak yang telah terikat. Sementra pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing- masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah- olah hanya merupakan perjajian sepihak saja. Definisi pasal tersebut menggambarkan bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yan mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.
Konsekuensi hukum lainya yang muncul dari pengertian itu adalah bahwa oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janjia (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH)



G.       Sekilas Perbedaan Akad dalam Perspektif Hukum Islam dan Konvensional.[17]
a.       Dalam pandangan hukum Islam, Akad itu harus ada sebuah ungkapan tentang adanya ijab dan kabul (serah terima), sendangkan hukum konvensional tidak terlalu memperhatikan hal tersebut.
b.      Adanya pernyataan tentang ijab dan kabul oleh Islam dipandang sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan demi sahnya sebuah akad, namun dalam hukum konvensional syarat sah sebuah akad itu harus mengacu kepada undang-undang yang berlaku.
c.       Persyaratan sah dan tidak sebuah akad (perjanjian) sesuai dengan yang diperintahkan oleh syariat Islam,  bukan hasil dari pemikiran seseorang.
d.      Syarat sahnya sebuah akad dalam Islam tercipta atas dasar kemaslahatan, sehingga hasil akhir dari sebuah Akad -apakah nantinya ia bermanfaat atau tidak- sangat diperhatikan oleh hukum Islam

Kesimpulan
Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa antara perikatan dalam hokum syari’ah dan perikatan yang berlaku di Indonesia (konvensional) terdapat berbagai perbedaan. Adapun perbedaan tersebut terletak pada sumber kedua perikatan itu sendiri, hubungan hokum yang terjadi dan akibat hokum. Yang secara general dapat dikatakan bahwa jika perbedaan telah merasuk dalam ketiga poin tersebut jelas akan menimbulkan perbedaan- perbedaan pada prakteknya, baik dari segi pembentukan, penyelesaian sengketa, batal, hapus atau berakhirnya perikatan dan lain sebegainya. Sehingga menurut perkiraan penulis terkait pembahasan perbandingan antara perikatan dalam hokum syari’ah dan perikatan yang berlaku di Indonesia (konvensional) tidaklah cukup hanya dengan menulisnya seperti sebatas makalah ini. Lebih dari itu, untuk pembahasan yang lebih komprehensif dibutuhkan waktu dan media yang lebih dari hanya sekedar diskusi.
Banyak sekali kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk itu penulis mengakui ketidaksempurnaannya. Untuk level sempurna itu, tentunya makalah ini membutuhkan banyak sekali perbaikan. Untuk itu, penulis sangat membuka tangan bagi pembaca yang berniat membantu untuk menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR RUJUKAN
Al Ba’labakyy (1990), Qamus al- Mawrid. (Beirut: Dar al ‘Ilmi al-Malayyin)
A. Qirom, 1985, Pokok- Pokok Hukum Perjajian Serta Perkembanganya, Yogyakarta: Liberty
Asmuni Mth, 2009, “Beberapa Catatan Tentang Akad” Artikel. FIAI-UII
Fayruz Abadyy Majd Al- Din Muhammad Ibn Ya’qub. aL- Qamus al- Muhit, Jilid 1. tt.  (Beirut: D Jayl)
Gemala Dewi dkk (2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Cetakan ke-2. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
Musa, Yusuf, 1956, Al Fiqh Al Islami, Beirut: Dar Al Kutub Al Hadistah
Muttaqien, Dadan, 2009 “Perjanjian: Pengertian Pokok dan Teknik Perancangan”, makalah: FIAI- UII
Prodjodikoro, Wirjono, 2000, Asas- Asas Hukum Perjanjian, Yogyakarta: Mandar Maju
Rahmad, Hasanuddin, 2003, Contrac DraftingSeri Keterampilan Merancang Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Rahmani Timorita, 2008, “Asas- Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah” Artikel dalam Jurnal Ekonomi Islam  la_Riba Vol. II, No. 1. Yogyakarta: FIAI- UII
Salim H. S (2006), Hukum Kontrak: Teknik dan Penyusunan Kontrak, Cetakan ke-4. (Jakarta: Sinar Grafika)
Subekti (1995), Pokok- Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: Intermasa)
Suhendi, Hendi, 2005, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Press
Syahrani, Ridwan, 1992, Seluk- Beluk dan Asas- Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni
Van Dunne (1990). Wan Prestasi dan Keadaaan Memaksa, Ganti Kerugian, terjemahan oleh Lely Niwan. (yogyakart: Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Proyek Hukum Perdata)


[1] Fayruz Abadyy Majd Al- Din Muhammad Ibn Ya’qub. AL- Qamus al- Muhit, Jilid 1. tt.  (Beirut: D Jayl), hlm. 327.
[2] Munir al Ba’labakyy (1990), Qamus al- Mawrid. (Beirut: Dar al ‘Ilmi al-Malayyin), hlm. 770
[3] Gemala Dewi dkk (2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Cetakan ke-2. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), hlm. 1
[4] Bandingkan dengan pengetian perikatan menrut subekti yaitu, suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan atas pihak yang satu berhak menuntu suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang  lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Lihat Subekti (1995), Pokok- Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: Intermasa). hlm. 123
[5] Salim H. S (2006), Hukum Kontrak: Teknik dan Penyusunan Kontrak, Cetakan ke-4. (Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 3
[6] Van dunne (1990). Wan Prestasi dan Keadaaan Memaksa, Ganti Kerugian, terjemahan oleh Lely Niwan. (yogyakart: Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Proyek Hukum Perdata)
[7] Rahmani Timorita, 2008, “Asas- Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah” Artikel dalam Jurnal Ekonomi Islam  la_Riba Vol. II, No. 1. Yogyakarta: FIAI- UII. hlm. 91- 107
[8] Syahrani, Ridwan, 1992, Seluk- Beluk dan Asas- Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni,. h.256. Sedangkan menurut bahasa perjanjian berasal dari bahasa arab yang berarti arribtu (ikatan), aqdatun (akad) dan al ‘ahdu (janji). Lihat…Hendi Suhendi dalam  Suhendi, Hendi, 2005, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Press, h. 44.
[9] Ibid Salim, HS., 2003 hlm. 25- 27. Sebenarnya banyak sekali definisi- definisi perjanjian yang tertuang dalam berbagai buku fikih muamalah seperti definisi yang disampaikan oleh Prof. Sri Sadewi Masychoen Sofwan, Prof Dr. Wirdjono Prodjodikoro dan KRMT Tirtodiningran. Namun, kesemua definisi tersebut berakhir pada kalimat bahwa perjajian adalah sebagai perbuatan hukum sebagai pengikat diri terhadap seseorang atau lebih. Lihat. Syamsuddin Melila, A. Qirom, 1985, Pokok- Pokok Hukum Perjajian Serta Perkembanganya, Yogyakarta: Liberty, h. 7-8
[10] Musa, Yusuf, 1956, Al Fiqh Al Islami, Beirut: Dar Al Kutub Al Hadistah., h. 320.
[11] Salim HS, SH., dalam bukunya mengkritik isi pasal tersebut Karena dinilai tidak spesifik dalam mengartikan kata perbuatan/ peristiwa. Menurutnya seharusnya kata perbuatan tersebut ditambah menjadi perbuatan hukum. Lihat IbidSalim, HS., 2003, h. 27.
[12] Rahmad, Hasanuddin, 2003, Contrac DraftingSeri Keterampilan Merancang Bisnis, Bandung: PT. citra Aditya Bakti, h. 6
[13] Prodjodikoro, Wirjono, 2000, Asas- Asas Hukum Perjanjian, Yogyakarta: Mandar Maju. Hlm. 7
[14] Subekti (1995), Pokok- Pokokhlm. 125
[15] Wirdjono Prodikoro dalam bukunya Asas- Asas Hukum Perjanjian membagi pembatalan menjadi dua bagin, yaitu: pertama pembatalan absolut, yaitu pembatalan yang terjadi apabila harus dianggap batal, msekipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Kedua, pembatalan tak mutlak yaitu pembatalan yang terjadi hanya jika diminta oleh pihak yang melakukan perjanjian dan hanya berlaku untuk para pihak itu. Selantunya Wirdjono membagi lagi pembatalan jenis kedua ini menjadi dua bagian, yaity: 1) pembatalan atas kekuatan sendiri, maka para hakim diminta supaya menyatakan batal, misalnya dalam hal perjanjian yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa (lihat pasal 1446 B.W). 20 pembayalan belaka oleh hakim, yang putusannya harus berbunyi: membatalkan, misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara paksaan, kekeliruan atau penipuan (lihat pasal 1449 B.W). lihat Prodjodikoro, Wirjono, 2000, Asas- Asas Hukum…Hlm. 196
[16] Muttaqien, Dadan, 2009 “Perjanjian: Pengertian Pokok dan Teknik Perancangan”, makalah: FIAI- UII
[17] Dikutif dari Asmuni Mth, 2009, “Beberapa Catatan Tentang Akad” Artikel. FIAI-UII

3 komentar: