Muslimspot.com

Selasa, 03 Mei 2011

Syarat, Pembagian, dan Ruang Lingkup Ijtihad

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
1.      Syarat- Syarat Mujtahid
            Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid. Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbāt (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syari’at) dan tathbīq (penerapan hukum). Sebelum dikemukakan beberapa syarat tersebut, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu mengenai rukun ijtihad, yaitu: [1] 
a.       Al-wāqi’, yaitu kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nash.
b.      Mujtahīd, yaitu orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
c.       Mujtahīd fīh, ialah hukum-hukum syari’at yang bersifat ‘amali (taklifi).
d.      Dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtāhid fīh.
Yusuf al-Qardhawy,[2] mengemukakan beberapa kriteria kemampuan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan berijtihad yang secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alqur'an dan al-Hadits.
b.      Mengetahui bahasa Arab.
c.       Mengetahui metodologi qiyās dengan baik.
d.      Mengetahui nāsikh dan mansūkh.
e.       Mengetahui kaidah-kaidah usul dengan baik dan dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut.[3]
f.       Mengetahui maqāshid al-ahkām.
Sedangkan Al-Ghazali,[4]  menjelaskan syarat mujtahid hanya pada dua syarat saja, yaitu:
  1. Menguasai pengetahuan-pengetahuan ilmu syara’ (agama), yang memungkinkan seorang mujtahid bertindak proporsional dalam meneliti suatu persoalan, yaitu ia bisa mendahulukan apa yang mesti didahulukan, dan mengakhirkan apa yang mesti diakhirkan.
  2. Seorang mujtahid mestilah seorang yang adil dan menjauhi kemaksiatan- kemaksiatan yang tercela. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa syarat yang kedua (adil) adalah merupakan syarat diterimanya fatwa, bukan syarat sahnya ijtihad. Oleh karena itu, jika seseorang mendalam ilmunya, tetapi ia tidak menggambarkan keadilan dirinya, maka ia berijtihad untuk dirinya saja, tidak untuk yang lainnya dalam wujud fatwa.
Begitupun dengan al-Syatibi yang mensyaratkan dua persyaratan dalam berijtihad, yaiutu: Pertama, memahami secara sempurna maqāshid al-syarī’ah.; Kedua, mempunyai kapasitas dalam mengistinbat hukum sebagai gambaran dari pemahamannya.[5]
            Berdasarkan penjelasan mengenai syarat ijtihad terdahulu, ternyata syarat ijtihad itu tidak sedikit dan tidak ringan. Hal tersebut juga berhubungan dengan pembagian mujtahid, yang menurut Muhaimin dkk.,[6] dapat dibagi menjadi dua kelompok umum berdasar pada tingkatan masing-masing, yaitu mujtahid mutlāq dan mujtahid madzhāb.
Mujtahid muthlāq adalah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya dan menerapkan dasar-dasar pokok sebagai landasan ijtihadnya.
            Senada dengan hal tersebut, Yusuf Qaradhawi menjelaskan bahwa dengan istilah mujtahid mutlāq mustaqqil (jenis pertam dari mujahid mutlāq, peny.), yaitu mujtahid yang mempunyai tiga ciri khas, yaitu: 1) merintis sendiri dengan menggunakan kaidah dan ilmu usul yang disusunnya sendiri; 2) mendasarkan pada Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan mengetahui hukum-hukum yang telah ada jawabannya, memilih dalil-dalil yang bertentangan, menjelaskan yang rājih dari yang ada perselisihan, dan memperingatkan untuk senantiasa menyimpulkan hukum langsung merujuk kepada dalil-dalil tersebut; 3) berbicara dalam hal-hal yang belum ada kejelasan hukum sebelumnya dengan merujuk kepada dalil-dalil. Sedangkan yang dimaksud mujtahid madzhāb ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak ada atau belum dikeluarkan oleh madzhabnya dengan cara menggunakan metode yang telah disusun madzhabnya tersebut.[7]
Dalam hubungannya dengan hal tersebut di atas, Imam Nawawi Ibnu Shalah, sebagaimana dikutip oleh DR. Juhaya S. Praja,[8] menjelaskan bahwa mujtahid Madzhāb (Mutlāq Ghairu Mutsaqqil), adalah mujtahid yang mengikuti imam madzhab tempat ia bernaung, baik dalam ilmu usul maupun furū’. Ia mengikuti temuan yang dicapai imam  madzhab dan tidak menyalahi ketetapan yang telah digariskan imamnya.
2.      Pembagian Ijtihad
            Perbedaan pendapat mengenai makna ijtihad yang diserupakan dengan qiyās, ra’yu (logika) yag termasuk di dalamnya istihsān atau mashālih mursalah, menjadi pembahasan yang terus bergulir. Al-Syafi’I,  misalnya yang menyatakan bahwa ijtihad sama dengan qiyās, dibantah oleh Al-Ghazali dengan argumentasi bahwa ijtihad lebih umum ketimbang qiyās, karena ijtihad kadang memperhatikan penelitian usahanya dalam masalah-masalah umum, kedalaman lafaz- lafaz, dan jalan-jalan mencari dalil lain selain qiyās. Bahkan dikatakan bahwa ijtihad mencakup ra’yu (logika), qiyās, dan akal. Sebagaimana ra’yu diartikan oleh mereka yang berpendapat demikian diklaim sebagaimana para sahabat memahaminya, yaitu sebagai amal yang yang dipandang oleh mujtahid sebagai suatu kemaslahatan dan lebih dekat kepada semangat syari’at Islam tanpa penelitian kepada apakah hal itu ada dasar tertentu untuk kejadian tersebut atau tidak.[9]
            Pembagian ijtihad, sebagaimana yang dijelaskan al-Syātibi,[10] terbagi kepada tiga bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, yaitu:
a.       Ijtihad bayānī, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash-nash syāri’ (Al-Qur’an dan al-Sunnah). Ijtihad ini untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya zhannī, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihād bayāni ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda.
b.      Ijtihad qiyāsī, yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash –baik qat'i ataupun zhanni- juga tidak ada ijma' yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam 'illat hukumnya, atau biasa disebut qiyās.
c.       Ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar'i dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash –baik qath'i maupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma'. Dasar pegangan dalam ijtihad macam ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara' yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat ataupun menghindarkan madharat.
Mengenai pembagian ijtihad diatas, Taqiy al-Dīn al-Hakīm dalam al-Ushūl al-‘Āmmah li al-Fiqh al-Muqārin, mengomentari bahwa ijtihad bayāni tidak mencakup syarat-syarat pembagian yang mantiqi, karena tidak memenuhi kapasitas pembagian. Dimana ijtihad ini tidak mencakup ijtihad istihsāni dan lainnya dari dalil-dalil istinbāt yang menjadi pegangan para fuqaha. Kemudian mengenai ijtihad qiyāsī, ia berkomentar bahwa qiyas bukan satu bagian ijtihad bayani dari keseluruhan bagian-bagian qiyās. Tetapi pada sebagiannya qiyās menjadi bagian dari ijtihad, seperti qiyās yang didasarkan pada nash yang tersurat dengan menggunakan ‘illat atau yang mengambil keumuman hukum dari keumuman atau kemutlakan illatnya untuk semua yang berkaitan dengannya.[11]
Sedangkan ijtihad istishlāhī merupakan nama lain dari ijtihad bayāni, karena sama-sama menyimpulkan hukum dari dalil-dalil yang umum, seperti “Lā Dharāra wa lā dhirāra” (jangan membahayakan diri dan orang lain). Oleh karena itu, menurut al-Hakīm, ijtihad itu terbagi kepada dua bagian saja. Pertama, ijtihad ‘aqlī, yaitu ijtihad yang argumentasinya atas dasar akal dan logika yang tidak bisa diterima menjadi hukum syara’, seperti kebebasan akal dan kaidah-kaidah yang menolak bahaya yang diperselisihkan atau jeleknya sanksi hukum tanpa adanya penjelasan dan lainnya. Kedua, ijtihad syar’ī, yaitu argumentasi yang didasarkan atas argumentasi-argumentasi syar’i. Yang termasuk ijtihad ini adalah ijma’, qiyas, istihsān, istishlāh, ‘urf, istishhāb, dan lainnya.[12]
Sedangkan melihat bentuk ijtihad dari sisi mungkin atau tidak mungkin terhenti kegiatannya, al-Syatibi membaginya menjadi dua macam. Pertama, ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam bentuk ini adalah yang disebut dengan tahqīq al-manāth atau ijtihad dalam menjelaskan hukum. Kedua, ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya. Pada bentuk kedua ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) tanqīh al-manāth yang artinya upaya mujtahid untuk memilih berbagai ‘illat yang ditemukan untuk ditetapkan sebagai ide hukum suatu ayat, dan (2) takhrīj al-manāth yang artinya upaya mujtahid untuk menggali berbagai ‘illat dari suatu hukum.[13]
Kemudian ijtihad dilihat dari sisi hasil yang dicapai terbagi kepada dua bentuk. Pertama, ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai penemuan hukum, yakni ijtihad yang dihasilkan oleh pakar yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan. Kedua, ijtihad ghair mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat dipandang sebagai cara dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan.[14]
3.      Ruang Lingkup  Ijtihad (Majal al-Ijtihad)
Ijtihad hanya dapat dilakukan pada lapangan atau medan tertentu yaitu: 1) dalil-dalil yang qath'i wurūd-nya dzanni dalālah-nya; 2) dalil-dalil yang dzani wurūd -nya qath'i dalālah-nya; 3) dalil-dalil yang dzanni wurūd dan dalālah-nya. 4) terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukumnya. Oleh karena itu, Ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap kasus-kasus yang sudah secara tegas disebutkan hukumnya oleh dalil-dalil yang qath'i wurūd dan dalālah -nya.[15]
Oleh karena itu, tidak setiap hasil ijtihad dapat dijadikan sumbangan dalam pembaruan hukum Islam dan mendapatkan legitimasi dari para hukum Islam kecuali apabila memperhatikan dua hal pokok tersebut diatas yaitu: Pertama, pelaku pembaharuan hukum Islam adalah orang yang memenuhi kualitas sebagai mujtahid. Kedua, pembaruan itu dilakukan di tempat-tempat ijtihad yang di benarkan oleh syara'.
Imam al-Ghazali[16] telah membatasi mengenai ranah yang bisa dimasuki ijtihad hanya pada setiap hukum syara’ yang tidak ditemukan kejelasan dalilnya (baik dari Al-Qur’an ataupun al-Sunnah) secara qath’ī. Maka tidak menjadi lahan dan ranah ijtihad setiap apa yang telah termaktub secara eksplisit dan qath’ī, seperti wajibnya shalat lima waktu, zakat, dan lainnya. Maka dari sini, dapat diketahui bahwa hukum-hukum syari’at jika dinisbatkan kepada ijtihad ada dua macam, yaitu apa yang diperbolehkan ijtihad padanya dan apa yang tidak diperbolehkan.
Adapun yang termasuk ranah yang dilarang ijtihad padanya adalah hukum-hukum yang sudah diketahui keberadaannya secara pasti atau yang telah ditetapkan dengan dalil yang qath’ī al-tsubūt,[17] seperti wajibnya shalat, shaum, zakat, haji, dua kalimat syahadat, haramnya zina, mencuri, minum khamar, membunuh, dan sanksi-sanksi hukumnya, dimana semua hal tersebut sudah dinyatakan di dalam Al-Qur’an dan al-hadits, baik perkataan nabi ataupun pekerjaannya.[18]
Sedangkan yang termasuk ranah ijtihad adalah hukum-hukum yang ada nash atau dalilnya, tetapi bersifat “dzannī al-tsubūt dzannī al-dilālah”, “qath’ī al-tsubūt dzannī al-dilālah”, “qath’ī al-dilālah dzannī al-tsubūt, hukum-hukum yang yang sama sekali tidak eksplisit dalam nash dan dalil, dan hukum yang belum ada ijma’ mengenainya.[19]
Jika keadaan  nash hadits dzannī al-tsubūt, maka ini menjadi ranah ijtihad yang mesti dilakukan dengan penelitian pada sanadnya dan jalan sampainya periwayatan dan derajat para perawinya, baik sisi ‘adālah (keshalehan) maupun dhabth (intelektual). Kemudian jika keadaan nash hadits dzannī al-dilālah, maka yang mesti dilakukan ijtihad adalah penelitian dalam pengetahuan makna termaksud suatu nash dan kekuatan dilālah (petunjuk)-nya atas makna. Kadang-kadang makna itu bersifat ām (umum) atau bersifat mutlak. Kadang-kadang dimaksudkan dengan bentuk amr (perintah) atau bentuk nahy (larangan). Kadang-kadang juga menunjukan makna dengan bentuk ‘ibārat (perumpamaan), isyarat, ataupun yang lainnya.[20]
Kemudian jika suatu kejadian atau masalah, tidak ditemukan kejelasan nash ataupun ijmā’ sama sekali, maka ranah ijtihad dalam hal ini adalah dengan penelitian tentang hukumnya dengan dalil-dalil ‘aqliyyah (menggunakan akal), seperti qiyās, istihsān, mashālih mursalah, ‘urf, istishhāb, dan lainnya.[21]



[1]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 100
[2]Yusuf al Qardhawy, Al-Ijtihād., hal. 6-67
[3]Menurut Al Razi, syarat untuk menguasai ilmu ushul fiqh ini adalah syarat terpenting dalam berijtihad. Lihat, Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, 1999), hal. 106
[4]A. Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh; Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 104
[5]Dalam Yusuf Qardhawy dkk, (terj.) oleh Husein Muhammad, Dasar Pemikiran Hukum Islam, Ijtihad vs Taqlid, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hal 77. Lihat pula, Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar untuk Ushul Fiqh Madzhab Sunni, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 297
[6]Muhaimin dkk, Dimensi- Dimensi Studi Islam, (Surabaya: Karya Abitama, 1994), hal 198-199
[7]Ibid.
[8]Juhaya S. Praja, Ilmu., hal. 108
[9]Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam, Konsep Qiyas Imam Syafi’i, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hal. 95
[10]Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Ahkām, Jilid 4, (Dār al-Fikr, t.th.), hal. 96
[11]Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (Dār al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1986), hal.    1041-1042 
[12]Abdul Wahhāb Khalaf, ‘Ilm.,hal. 52-91
[13]Al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt., hal. 47
[14]Ibid., hal. 93
[15]Yusuf al-Qardhawy, Al-Ijtihad., hal. 83
[16]Ibid.  hal. 84
[17]Qath’ī al-tsubūt artinya nash (teks) yang dipastikan sumbernya dari Allah SWT. Teks Al-Qur’an yang kita baca sekarang sama dengan nash yang diturunkan kepada rasul-Nya SAW., tanpa mengalami perubahan sedikit pun karena diwariskan secara mutawatir (terjamin) dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dari segi indikasinya terhadap hukum, ayat Al-Qur’an dibagi atas dua klasifikasi. Pertama, Qath’ī al-Dilālah, yaitu teks yang berindikasi hanya satu pengertian, tidak mungkin diberi interpretasi lain dari makna harfiahnya. Contohnya ayat-ayat yang menerangkan hukum waris yang menjelaskan bahwa bagian suami yang tidak punya anak adalah separo dari warisan, bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan, hukum hudūd, dan yang lainnya. Kedua, Zhannī al-dilālah, yaitu nash yang menunjukan satu makna, tapi mungkin ditakwil untuk makna yang lainnya. Contohnya kata qurū’ dalam Al-Qur’an, dalam bahasa Arab berarti haid atau bersih. Sebagian ‘ulama memaknai haid, yang lainnya memaknai bersih. Meskipun maknanya bisa lebih dari satu, tapi maksud dan tujuannya sama. Lihat penjelasan Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, ( Bandung: Syamil, 2006), hal. 103-104. Sedangkan dalam hadits, ada yang Qath’i al-Tsubut, yaitu yang mutawatir (banyak periwayat dalam setiap tabaqāt), ada juga yang dzanni al-tsubūt, yaitu yang ahād.
[18]Wahbah Zuhaili, Ushūl., hal. 1052-1053 
[19]Ibid. hal 1053
[20]Wahbah Zuhaili, Ushūl., hal. 1053
[21]Ibid.

4 komentar: