Muslimspot.com

Minggu, 20 Maret 2011

Masalah-masalah Aktual Ketetenagakerjaan


Masalah Aktual Ketenagakerjaan
Dan Pembangunan Hukum di Indonesia
Oleh : Rekson Silaban, SE
Masalah kontemporer ketenagakerjaan Indonesia saat ini menurut analisis saya
berangkat dari 4 (empat) soal besar, yaitu;
1. tingginya jumlah penggangguran massal;
2. rendahnya tingkat pendidikan buruh;
3. minimnya perlindungan hukum
4. upah kurang layak
Pengangguran dan pendidikan rendah
Masalah di atas pada akhirnya tali temali menghadirkan implikasi buruk dalam
pembangunan hukum di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh keempat masalah di atas
dapatlah disimpulkan bahwa akar dari semua masalah itu adalah karena ketidakjelasan
politik ketenagakerjaan nasional. Sekalipun dasar-dasar konstitusi UUD 45 khususnya
pasal 27 dan pasal 34 telah memberikan amanat yang cukup jelas bagaimana
seharusnya negara memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja.
Berikut adalah data ketenagakerjaan Indonesia menurut Sukemas tahun 2002.
Tabel 1
Struktur Angkatan Kerja Pekerja dan Pengangguran Terbuka
Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Tahun 2002
Struktur Angkatan Kerja Struktur Pekerja
Struktur Pengangguran
Terbuka
No.
Tingkat Pendidikan
(juta)
(%)
(juta)
(%)
(juta)
(%)
1
SD dan SD ke bawah
59,05
58,6
55,84
60,9
3,22
35,3
2
SMTP
17,49
17,4
15,34
16,7
2,15
23,5
3
SMU
12,21
12,1
10,07
11,0
2,14
23,4
4
SMK
7,12
7,1
6,02
6,6
1,11
12,2
5
Diploma/Akademi
2,21
2,2
1,96
2,1
0,25
2,7
6
Univesitas
2,69
2,7
2,42
2,6
0,26
2,8
Jumlah
100,77
100,0
91,65
100,0
9,13
100,0
Data ini menunjukkan secara jelas bahwa hanya ada sebesar 2.6% angkatan kerja
kita yang lulus dari perguruan tinggi dan ada sejumlah 75% yang hanya berpendidikan
SLTP ke bawah. Bagi kalangan investor luar yang ingin menanamkan modalnya di
Indonesia, sajian data ini akan menghadirkan suatu pengertian bahwa jenis industri yang
potensial dikembangkan dilndonesia adalah jenis industri manufaktur padat karya
(garment, tekstil, sepatu, elektronik). Sebab dalam situasi pasokan tenaga kerja yang
melimpah ( over supply ), pendidikan yang minim, dan upah murah, hanya jenis industri
manufaktur ringan saja yang cocok di bisniskan. Sekalipun para investor ini tetap harus
mengeluarkan biaya pelatihan kerja, tetapi biayanya tidak sebesar jenis industri padat
modal.

Dan selama hampir 25 tahun lebih pemerintah Indonesia percaya, dengan jenis
investor ini, sampai kemudian disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa jenis industri
seperti itu adalah jenis industri yang paling gemar melakukan relokasi. Pemindahan lokasi
industri ke negara yang menawarkan upah buruh yang lebih kecil, peraturan yang
longgar, dan buruh yang melimpah. Mereka diberikan gelar industri tanpa kaki (foot loose
industries), karena kemudahan mereka melangkah dari satu negara ke negara lainnya.
Indonesia yang mendapat era reformasi tahun 1998 secara ambisius meratifikasi
semua konvensi dasar ILO (a basic human rights conventions) yaitu; kebebasan
berserikat dan berunding, larangan kerja paksa, penghapusan diskriminasi kerja, batas
minimum usia kerja anak, larangan bekerja di tempat terburuk. Ditambah dengan
kebijakan demokratisasi baru dibidang politik, telah membuat investor tanpa kaki ini kuatir
bahwa demokratisasi baru selalu diikuti dengan diperkenalkannya Undang-undang baru
yang melindungi dan menambah kesejahteraan buruh. Bila ini yang terjadi maka
konsekuensinya akan ada peningkatan biaya tambahan (labor cost maupun overhead
cost). Bagi perusahaan yang masih bisa mentolerir kenaikan biaya operasional ini,
mereka akan mencoba terus bertahan, tetapi akan lain halnya kepada perusahaan yang
keunggulan komparatifnya hanya mengandalkan upah murah dan longgarnya peraturan,
mereka akan segera angkat kaki ke negara yang menawarkan fasilitas bisnis yang lebih
buruk.
Itulah sebabnya sejak tahun 1999-2002 diperkirakan jutaan buruh telah kehilangan
pekerjaan karena perusahaannya bangkrut atau re-lokasi ke Cina, Kamboja atau Vietnam.
Jenis indusri seperti ini sudah lama hilang dari negara-negara industri maju, karena
sistem perlindungan hukum dan kuatnya serikat buruh telah membuat industri ini
hengkang ke negara lain.
Secara pribadi saya sangat prihatin dengan nasib 40 juta buruh kita yang
menganggur tersebut, tetapi bila pemerintah cukup cerdas, kita semua harus menarik
pelajaran dari tragedi ini. Pemerintah tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama
dengan tetap memberikan kepercayaan kepada jenis industri manufaktur sebagai sektor
andalan Indonesia untuk menyerap tenaga kerja. Indonesia sebaiknya mengembangkan
jenis industri yang memiliki keunggulan absolute (absolute advantage) seperti industri,
perikanan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, kelautan. Inilah jenis
industri yang sebenarnya kita unggulkan, karena dianugrahkan Tuhan kepada bumi
Indonesia. Investor yang datang ke sektor ini adalah investor yang berbisnis dengan
memanfaatkan potensi sumber daya alam kita, bukan karena sumber daya manusia yang
melimpah. Industri ini juga tidak mengenal re-Iokasi (kecuali kaJau sudah habis masa
eksplorasi). Karena tidak di semua tempat ada tersedia sumber daya alam yang
melimpah.
Mengandalkan terus-menerus industri ke sektor padat karya manufaktur, akan
hanya membuat buruh Indonesia seperti hidup seperti dalam ancaman bom waktu.
Rentannya hubungan kerja akibat buruknya kondisi kerja, upah rendah. PHK semena-
mena dan perlindungan hukum yang tidak memadai, sebenarnya adalah sebuah awal
munculnya rasa ketidakadilan dan potensi munculnya kekerasan. Usaha keras dan
pembenahan radikal harus dilakukan untuk menambah percepatan investor baru. Saya
sangat sedih mendengar berita tentang minimnya atase perdagangan Indonesia yang
mempromosikan potensi keunggulan ekonomi kita. Indonesia dengan penduduk 210 juta

hanya memiliki 25 orang atase perdagangan seluruh dunia. Bandingkan dengan
Singapura, dengan penduduk 4 juta memiliki 125 atase perdagangan, Thailand dengan
penduduk 60 juta punya 75 atase, Malaysia 80, Philippine 45. Bagaimana mungkin
negara lain tahu ada potensi kita bila tenaga yang mempromosikannya hanya 25 orang.
Potensi investasi di banyak negara berkembang juga dapat kita temukan di web-site
khusus mereka, yang disediakan untuk menarik investor asing potensial. Di dalam situs
itu bisa ditemukan (bahkan infofmasi setiap daerah) potensi bisnis apa yang layak
dikembangkan. Indonesia sejauh yang saya ketahui tidak punya situs informasi secanggih
itu.
Selain itu, poIitik nasional kita juga tidak memiIiki komitmen sungguh-sungguh
untuk meningkatkan kualitas SDM, terbukti dengan minimnya alokasi dana APBN yang
disepakati politisi dan pemerintah untuk anggaran pendidikan. Rasio anggaran pendidikan
Indonesia untuk untuk pendidikan hanya 1.6% dari PDB. Sementara itu Thailand 3,6.
Singapura 2.3 dan India 3.3. Itu sebabnya banyak sekolah SD yang tidak mempunyai
guru atau hanya mempunyai 1 atau 2 orang guru yang mengajar semua kelas 1 sampai
kelas 6.
Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah
Dalam kamus modern serikat buruh, hanya ada dua cara melindungi buruh yaitu;
Pertama, melalui undang-undang perburuhan. MeIalui undang-undang buruh akan
terlindungi secara hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak,
melindunginya di tempat kerja (kesehatan dan keselamatan kerja dan upah layak) sampai
dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun.
Kedua, melalui serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus, tetapi buruh
tetap memerlukan kehadiran serikat buruh untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama
(PKB ). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan buruh yang
berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat buruhlah – bukan
melalui LSM ataupun partai politik – bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak
tambahan (di luar ketentuan UU) untuk menambah kesejahteraan mereka.
Negara-negara industri maju telah membuktikan bahwa kedua instrumen di atas
telah mengurangi kesenjangan kaya – miskin, dan sekaligus mengurangi potensi
kemarahan sosial. Tetapi apa yang terjadi di Indonesia, perlindungan undang-undang
terhadap buruh sangat rendah. Lihatlah sistem peradilan perburuhan kita yang tidak
memberikan kemungkinan buruh menang dalam proses peradilan yang panjang (mulai
dari bipartit, perantaraan, P4D, P4P, PTUN, Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, dan
masalah eksekusi). Dalam pengalaman saya 12 tahun sebagai aktifis perburuhan, hanya
satu kali kasus SBSI menang di tingkat MA, kasus yang masuk ke PTUN semuanya
kalah. Dan ribuan kasus yang masuk ke tingkat P4P hampir 90% kalah dan dimenangkan
pengusaha. Buruh sebenamya tidak percaya lagi dengan lembaga peradilan ini, tetapi
karena tidak ada pilihan lain, sekalipun harus kalah, tetapi mereka memilih kalah
terhormat daripada harus menerima PHK semena-mena. Ditambah lagi dengan program
Jamsostek yang tidak memberikan manfaat banyak terhadap buruh, karena di samping

status usahanya profit oriented, pemerintah bahkan ikut-ikutan mengambil dana deviden
dari keuntungan Jamsostek. Sehingga buruh hanya menerima rata-rataRp 2,5 juta setelah
pensiun umur 55 tahun. Tentu saja jumlah ini tidak mencukupi kebutuhan buruh pasca
kerja. Itulah sebabnya banyak pensiunan buruh jatuh dalam kemiskinan tragis, sebab
bahkan saat bekerja saja hidupnya sudah berada pada level subsisten, setelah pensiun
akan lebih tragis lagi. Semua kenyataan ketidakadilan ini bisa dilihat dan diketahui semua
politisi dan pemerintah. tetapi tidak ada satupun partai yang membuat hak inisiatif dalam
merubah UU peradilan perburuhan dan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan.
Otonomi daerah telah menghadirkan skenario lebih buruk terhadap buruh, sebab
tidak ada efektif lagi pengawasan Depnaker pusat. Semua daerah berlomba memperluas
retribusi baik legal maupun ilegal untuk menambah APBD, tidak perduli apa dampaknya
terhadap semakin berkurangnya minat investor beroperasi di daerah itu. Ada retribusi
perpanjangan ijin IKTA, pungutan mendapatkan kartu kuning, ijin penyimpangan waktu
kerja, biaya pendaftaran PKB, dan sebagainya, yang kesemuanya menggambarkan
kaburnya visi pemerintah daerah terhadap pengembangan perekonomian.
Solusi
Mengingat masalah ketenagakerjaan sudah terlanjur rumit, maka tidak ada jalan
lain bagi pemerintah untuk segera membuat langkah-langkah serius sebagai berikut:
- Segera mereformasi badan peradilan perselisihan perburuhan, sehingga
dimungkinkan buruh mendapat pelayanan yang adil. Lembaga peradilan buruh itu
harus bersih, cepat, proses sederhana, biayanya murah dan ada limit waktu
(usulan SBSI maksimum 120 hari). Bentuk P4D dan P4P dan mekanisme
tambahan ke PTUN sebaiknya harus ditiadakan. Ada berbagai model peradilan
buruh di berbagai negara yang bisa diambil sebagai contoh.
- Harus ada desakan agar anggaran untuk sektor pendidikan dalam APBN
ditingkatkan, sehingga tercipta sistem pendidikan murah dan pengajar yang
dihargai secara layak. Implikasi 40 juta penganggur saat ini akan menjadi beban
Indonesia setidaknya 25 tahun ke depan, sebab hampir semua anak penganggur
ini ditambah dengan anak-anak buruh yang hanya mendapat upah kecil (UMR DKI
Jakarta Rp 637.000.- ), akan terpaksa tidak bisa sekolah atau hanya bisa sekolah
tamat SD saja. Membawa 40 juta orang tidak terdidik pada tahun 2030 hanya akan
menjadi beban besar bagi negeri ini kelak.
- Merubah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga buruh korban PHK
danburuh pensiunan akan mendapat tunjangan layak dari Jamsostek. Pemerintah
dilarang mengambil keuntungan apapun dari Jamsostek, bahkan sebaliknya.
- Pemerintah yang bertanggungjawab, harus memberikan kontribusi setiap tahun,
sehingga buruh bisa hidup layak. Sistem Jaminan sosial ketenagakerjaan yang
baik akan mengurangi kriminalitas sosial.
- Dalam jangka panjang, untuk menampung tenaga kerja dan perolehan nilai
tambah, pemerintah harus merubah strategi pengembangan industri dari yang
berbasis manufaktur ke sektor andalan (leading sectors) industri kita yaitu dengan

mengembangkan sektor-sektor yang memiliki keunggulan absolute (absolute
comparative advantage).
- Diberikan jaminan penegakan hukum dan kepastian berusaha terhadap investor,
sehingga investor tidak bingung terhadap banyaknya prosedur “tidak resmi” dalam
proses pengurusan usaha, dan biaya-biaya yang tidak tercatat. Faktor inilah
membuat pengusaha enggan berusaha di Indonesi sehingga menyulitkan dalam
menyalurkan tenaga kerja yang melimpah.
- Memfungsikan lembaga bipartit dan tripartit dalam mitra yang sejajar untuk
mengatasi hubungan industrial yang kurang baik, seperti pencegahan pemogokan
melalui perundingan. Lock out, dan mengatasi pengangguran. ILO telah
mengeluarkan istilah “social dialog” untuk mendorong orang lebih suka
berdialog/berunding ketimbang konfrontasi.
Jakarta 10 Juli 2003
Rekson Silaban
Ketua Dewan Pengurus Pusat Konfederasi SBSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar