Muslimspot.com

Selasa, 03 Mei 2011

Bagian I : Latar Belakang dan Perumusan Masalah

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.

Suatu ungkapan kontroversial yang sering dikemukakan berkaitan dengan ijtihad adalah bahwa “ijtihad itu penting tetapi sulit atau ijtihad itu sulit tetapi perlu”. Kata “penting” dan “perlu” tersebut menggambarkan bahwa ijtihad itu sangat diperlukan oleh kaum muslim sebagai usaha dan sarana untuk menghadapi dan memberi solusi atas permasalahan-permasalahan baru yang senantiasa muncul dalam kehidupan mereka. Kemudian kata “sulit” dalam kaitannya dengan ijtihad adalah meliputi kesulitan-kesulitan aspek teknis-metodologis dan aspek etis sekaligus. Oleh karena itu tidak semua orang mampu melaksanakan ijtihad. [1]
Krisis pemikiran hukum Islam pada periode modern, yang sebagian berakar dalam sejarah keagamaan Islam, dan sebagiannya lagi dikarenakan tantangan modernitas, dapat disembuhkan dengan suatu metodologi yang sistematis dan komprehensif. Perumusan metodologi hukum Islam yang sistematis dan komprehensif, hendaklah berpangkal tolak dari perumusan metodologi tafsir Al-Qur’an terutama ayat-ayat hukum dengan pendekatan historis-kronologis, guna merekonstruksi ideal-moral, yang dituju kitab suci tersebut dengan bantuan hadis sebagai bagian organisnya. Pemahaman Al-Qur’an secara utuh dengan berpijak pada prinsip tafsir klasik, Al-Qur’an “yufassiru ba’dahu ba’da” serta pentingnya memperhatikan kondisi kekinian tidak lain merupakan upaya penerapan ideal-moral ajaran Al-Qur’an.[2]
Menurut Yusdani,[3] hukum Islam secara konseptual dipersepsi sebagai suatu hukum yang universal, dinamis, elastis, fleksibel, dan beradaptasi, berinteraksi serta mampu menampung berbagai bentuk perkembangan dimana dan kapan pun. Penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam tataran empirik historis telah melahirkan otak-otak besar dan karya-karya monumental dalam bidang hukum Islam sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakatnya dan tuntunan sosio-kultural yang mengitarinya.

Menurut Hasbi Ash Shiddieqy sebagaiman dikemukakan oleh Yudani, bahwa produk dari persentuhan antara prinsip-prinsip universal hukum Islam dangan tuntutan pranata sosial dan realitas berbagai wilayah Islam, kemudian muncullah fiqih Hijaz- fiqih yang terbentuk atas dasar adat-istiadat yang berlaku di Hijaz, fiqih Mesir- fiqih yang berdasar sosio-kultural Mesir. Atau fiqih Hindi- fiqih yang bersumber pada ‘urf yang berlaku di India. Fiqih Iraq- fiqih yang bersumber pada kebiasaan masyarakat Irak.[4] 
Di Indonesia, pemikiran Islam secara historis dimulai sejak Islam masuk yaitu menurut hasil seminar Masuknya Islam di Indonesia pada tahun 1963, disepakati terjadi pada abad 7 M, meskipun dinyatakan sebagai kontak individual. Pada saat itu, Islam masuk ke Indonesia sudah bersentuhan dengan budaya Yunani dan Persia. Sejak kerajaan Demak dan Mataram II, Islam berkembang menjadi agama kerajaan, sehingga dapat meluas ke seluruh Indonesia.[5] Oleh sebab itu, ketika datang ke tanah Jawa, Islam pun segera beradaptasi dengan budaya masyarakat Indonesia melalui proses akulturasi.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal-balik  antara hukum Islam dengan budaya lokal diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu ushul fiqih, yang berbunyi: اَلْعَادَةُ الشَّرِيْعَةُ مُحَكَّمَةٌ (adat adalah syari’at yang  dihukumkan), artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat yaitu budaya lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam. Karenanya, unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Inilah makna kehadiran Islam di suatu tempat atau negeri.[6]
Pergumulan pemikiran keIslaman yang terjadi di tanah air pada tahun 1970-an sampai 1980-an menunjukkan suatu perkembangan yang cukup pesat dari pada periode-periode sebelumnya. Pada masa tersebut, terlihat adanya gairah untuk berfikir kritis dan tawaran orisinil melalui penawaran pemikiran baru yang signifikan dan bermutu, yang tidak saja mendominasi kinerja intelektual di Indonesia, melainkan juga dapat disejajarakan dengan pemikir Islam lainnya di belahan dunia. Menariknya, hal yang patut dicatat, bahwa pemikiran keIslaman tersebut lahir dan berkembang di dalam lingkungan iklim politik dan sosial yang unik di masa Orde Baru.[7]
Para pengkaji ilmu keIslaman di Indonesia rata-rata meneliti perkembangan pemikiran Islam, pergolakan gerakan Islam, dan tema-tema pokok pemikiran para tokoh Islam yang muncul sekitar dekade 1970-an dan 1980-an, yang secara umum mereka sebut sebagai horizon modernisasi Islam di Indonesia dan kemunculan “Islam modernis”, atau lebih tegas disebut Greg Barton sebagai “Islam neo-modernis”. Diantara para intelektual tersebut adalah Nurkholish Madjid dengan label “Sekularisasi Islam”, Abdurrahman Wahid dengan “Pribumisasi Islam”, Jalaluddin Rahmad dengan “Islam Alternatif”, Amin Rais dengan “Tauhid Sosial”, Djohan Efendi dengan “Teologi Kerukunan”. Sementara  Muslim Abdurrahman dengan label “Islam Transformatif”-nya, Kontowijoyo dengan “Ilmu Sosial Transformatif”, dan lain sebagainya.[8]
Namun demikian, oleh para pengamat Barat (orientalis), kecenderungan studi keIslaman di Indonesia model di atas lebih disebut sebagai kinerja Indonesianists (pemerhati masalah-masalah keIndonesiaan) daripada Islamicists (pemerhati masalah-masalah keIslaman). Hal ini disebabkan karena perhatian mereka sendiri yang lebih tertuju pada persoalan-persoalan sosial, politik, atau ekonomi dari pada aspek ajaran Islam itu sendiri.
Menurut Marzuki Wahid, anggapan di atas tidak dapat disalahkan, akibat perhatian mereka (intelektual Indonesia, peny.) sendiri yang memaksa demikian untuk menyikapi realitas sosial, politik, dan ekonomi ketika Orde Baru secara sistematis dan terus-menerus malakukan intervensi secara berlebihan terhadap umat Islam dan bentuk–bentuk pengamalan keagamaannya. Oleh karena ini, menurut Wahid, aspek metodologis dan substansi ajaran Islam atau sumber-sumber pengambilannya yang selama ini disakralkan tidak terjamah oleh pembaruan mereka. Kalaupun masuk, lanjut Wahid, mereka berhenti pada pada kritik bangunan (sejarah) pemikiran Islam masa lampau tanpa memberikan tawaran baru yang berarti. Isu-isu yang menjadi label pemikiran mereka tidak dilengkapi dengan kerangka metodologi dan epistemologi yang cukup alias belum tuntas. Mareka, sejauh ini, hanya mengadvokasi betapa pentingnya kontekstualisasi, reaktualisasi, reinterpretasi, dan pribumisasi maupun tema sejenis (sebagai pendekatan ijtihad, peny.), tanpa memberikan bukti contoh (rekonstruksi) pemikiran Islam baru seperti apa yang tepat untuk zaman ini.[9] Namun demikian, pendekatan ijtihad oleh sarjana-sarjana Indonesia ini dianggap lebih mendalam, karena mereka mengawinkan keserjanaan Islam klasik dengan metode-metode analitik modern Barat.[10]
Label pemikiran yang terakhir disebutkan di atas, “pribumisasi Islam”, tanpa terkecuali masuk ke dalam  kategori menurut para intelektual Barat (orientalis), sebagai produk seorang Indonesianists, bukan Islamists, yaitu Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur).
Ide “pribumisasi Islam” yang digagas Gus Dur, setidaknya dilandasi oleh dua hal penting, yaitu: Pertama, universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam, yang termanifentasi dalam lima jaminan dasar dalam Islam: keselamatan jiwa, kebebasan berkeyakinan, keselamatan atas keluarga dan keturunan, harta benda, dan profesi;[11] Kedua, Islam adalah agama yang berlaku untuk seluruh alam termasuk seluruh manusia,[12] dan mampu tampil sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik.[13]  Hal ini, menurut Gus Dur, merupakan pendekatan untuk melakukan pemahaman terhadap nash (teks) terkait dengan kondisi tempat dimana suatu hukum Islam dijalankan. Dengan kata lain, “Pribumisasi Islam” ini menurutnya adalah upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama. 
Salah satu produk pemikiran “Pribumisasi Islam” Gus Dur adalah lahirnya fatwa. Diantara fatwa-fatwa Gus Dur yang “heboh” diperbincangkan diantaranya: fatwa tentang bolehnya KB[14] (yang sebelumnya diharamkan oleh DBM NU dan DMT Muhammadiyah)[15], bolehnya Bunga Bank[16] (yang haram dalam Islam), bolehnya pengonsumsian produk makanan Ajinomoto[17] (yang haram menurut MUI), dan fatwa tentang bolehnya pengonsumsian rokok[18] (yang oleh MUI diharamkan), atas pertimbangan kemashlahatan umum (al-mashlahāt al-‘āmmah).
Sebagaimana diketahui bahwa suatu produk ijtihad dalam hukum Islam (fiqih), terbentuk oleh serangkaian proses yang cukup panjang dan dilakukan hanya oleh orang (mujtahid) yang memiliki kapabilitas atau paling tidak dipandang demikian (baca: ijtihad). Namun demikian, hasil pengamatan kaum Orientalis yang didukung oleh Marzuki Wahid terdahulu, tidak pula serta-merta dianggap salah. Sebab memang pada awalnya pola pemikiran Gus Dur (baca: Biografi) searah dengan hal itu, sebelum pada akhirnya berkembang ke arah ijtihad hukum Islam seperti lahirnya fatwa di atas atau sebagaimana pengaruhnya terhadap sistem pengambilan keputusan hukum di Lembaga Bahtsul Masail di Lingkungan Nahdlatul Ulama.
Disinilah pentingnya memahami konsep pemikiran di bidang fiqih Gus Dur secara komprehensif, ditengah masyarakat muslim yang pluralistik ini. Apalagi, jika dikontekkan dengan realitas sosial di Indonesia ditengah pertarungan pemikiran “Islam fundamentalis” dan “Islam progressif,” yang cenderung membingungkan masyarakat,[19] termasuk di dalamnya para akademisi.
Berdasar pada latarbelakang di atas, maka yang menjadi fokus permasalahan penelitian dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      - Bagaimana konsep pemikiran hukum Islam KH. Abdurrahman Wahid, ditinjau dari sudut pandang faktor-faktor yang melatarbelakanginya dan metodologi yang digunakan.
2.      - Apakah pengaruh pemikiran hukum Islam KH. Abdurrahman Wahid terhadap gerakan pembaruan hukum Islam di Indonesia.



[1]Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi, Antara Teori dan Fungsi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hal. 5
[2]Ibid. hal. 133
[3]Yusdani, “Pengembangan Sumber Hukum Islam Dalam Perspektif Sosio-Kultural Bangsa”, Jurnal Al Mawarid Edisi Keempat, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah- UII,1995), hal. 25
[4]Yusdani, “Pengembangan., hal. 25
[5]M. Abdul Karim, Islam Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal. 56
[6]M. Misbah,  ”Islam Kultural (Telaah atas Pemikiran Abdurrahman Wahid)”, Jurnal Ibda’  Vol.3 No. 1, (Purwokerto: P3M STAIN, 2005), hal. 4
[7]Marzuki Wahid, “Post- Tradisionalisme Islam: Gairah Baru Pemikiran Islam di Indonesia, Survey Singkat atas Gerakan Pemikiran Kaum Muda Nahdliyin”, dalam Adnan Mahmud, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 64
[8]Ibid. hal. 67
[9]Marzuki Wahid, “Post- Tradisionalisme., hal. 69
[10]Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurkholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid 1968-1980, (Jakarta: Kerjasama Paramadina dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation, 1990), hal. 12
[11]Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme”, dalam Budy Munawwar Rachman, Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 546
[12]Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, “Zaman Baru Islam Indonesia”, dalam Robitul Firdaus,  “Menggagas Konsep Maslahat Ala Indonesia, Studi Terhadap Fatwa MUI Nomor 6/MUNAS VII/MUI/10/2005 tentang Kriteria Maslahat dan Pandangan Islam Liberal terhadap Konsep Maslahat”, Skripsi Sarjana, (Yogyakarta: Jurusan Syariah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2008), hal. 36
[13]Ahmad Taufik, dkk., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Medernisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 174
[14]Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 170
[15]Zuhroni, “Fatwa Ulama Indonesia Terhadap Isu-isu Kedokteran Kontemporer”, dalam http://www.ptiq.ac.id, diakses pada 26 Oktober 2010
[16]Abdurrahman Wahid, Islamku., hal. 125-127
[17]Kurie Sudhitomo, “Produk Ajinomoto Halal”, dalam http://www.tempo.co.id/harian/fokus/56/2/1,21,html, diakses pada 26 Oktober 2010

[18]Abdul Aziz Sukarnawadi, Lc. Dipl., “Merokok Itu Sunnah”, dalam http://www.aziznawadi.net/catatan/rokoksunah.html., diakses pada 26 Oktober 2010


[19]Robitul Firdaus, “Menggagas Konsep Maslahat Alam Indonesia, (Studi Terhadap Fatwa MUI Nomor 6/MUNAS VII/MUI/10/2005 tentang Kriteria Maslahat dan Pandangan Islam Liberal terhadap Konsep Maslahat)”, Skripsi Sarjana, (Yogyakarta: Jurusan Syariah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2008), hal. 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar