Dalam ungkapan dikatakan: “ Ad dunya madinatul ‘ilmi, wal lughotu babuha”. Atau jika di bahasa Indonesia-kan menjadi dunia adalah kota ilmu, dan bahasa adalah pintunya.
Seolah memperkuat ungkapan tersebut, Irham Ali Saifuddin dalam ’34 Kunci Sukses Menaklukkan Toefl’ mengatakan bahwa pesatnya pergaulan dan interaksi global telah menempatkan bahasa sebagai salah satu media yang mutlak kebutuhanya. Tanpa kemampuan berbahasa yang memadai, pasatilah akan muncul problem pelik dalam menjalin interaksi global tersebut.
Mengingat pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi, maka bahasa inggris yang sampai saat ini masih menjadi peringkat teratas sebagai bahasa internasional menjadi sangat mutlak penguasaannya. Sehingga kebutuhan akan media pembelajaran dan pemahaman yang baik terhadapnya menjadi suatu keniscayaan pula. Namun, yang sangat disayangkan di negara ini adalah hal tersebut belum atau baru sedikit yang menyadarinya. Mengapa?
Dewasa ini, penguasaan bahasa inggris di indonesia masih sangat minim jumlahnya bahkan menurut Anies M. Basalamah pengetahuan bahasa inggris rata-rata orang Indonesia ternyata jauh di bawah pengetahuan orang- orang yang tinggal di negara berkembang lainnya di Asia, seperti Malaysia, Singapura, India dan lain sebagainya. Entah apa sebabnya.
Namun yang pasti, L.G. Alexander dalam ‘New English Concept’ mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dia mengatakan bahwa permasalahan utamanya adalah minimnya habit (kebiasaan). Yaitu kebiasaan seseorang dalam menggunakan bahasa. Dalam konteks indonesia minimnya habit tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor bahasa inggris adalah karena bahasa inggris diasumsikan sebagai second language (bahasa kedua). Bahkan ironisnya, dapat pula dikatakan ketiga setelah bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Sehingga jelas ini merupakan kendala besar penguasaannya. Sementara dalam tingkatan konsep pembelajaran bahasa inggris, terutama di sekolah formal, sebagaimana diungkapkan oleh Umar Asasuddin Sokah dalam ‘Problematika Pengajaran Bahasa Arab dan Inggris’, bahwa masalah utama dan merupakan faktor utama kesuksesan penguasaan bahasa inggris terletak pada tenaga pengajar dan waktu yang memadai.
Pada tahun 1921, Dr. Harold Palmer mencoba mengubah metode lama pengajaran bahasa menjadi metode yang up date, dia mengatakan bahwa terdapat perbedaaan yang sangat mendasar antara memahami bagaimana fungsi bahasa dan mempelajari bagaimana bahasa itu digunakan. Sejak saat itu, mulailah ditemukan berbagai metode efektif bagaimana mempelajari sebuah bahasa dan bagaimana pula metode tepat mengajarkan bahasa itu. Termasuk di nusantara.
Sejauh ini, di Indonesia dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (DEPDIKNAS) telah melakukan pelbagai upaya konkrit untuk mendongkrak prestasi siswa, khususnya bahasa inggris. Dimulai dari perombakan kurikulum sampai yang baru-baru ini kita kenal yaitu menerapkan pelajaran bahasa untuk siswa SD (sekolah dasar).
Namun, bakunya metode pembelajaran bahasa di sekolah tidak serta- merta lepas sebagai salah satu faktor kemalasan siswa untuk mempelajari bahasa itu sendiri . Bahkan yang lebih buruk adalah kemalasan tersebut tertular sampai ke rumah. Terutama jika kita mengacu pada pendapat Rahmat Effendi dan Dr. Barry Pinkerton dari California dalam buku ‘Cara Menulis dan Menerjemahkan’ yang diterbitkan oleh Yayasan Bina Edukasi dan Konsultasi HAPSA et STUDIA Jakarta bahwa metode pembelajaran yang diterapkan di sekolah- sekolah formal saat ini adalah metode baku yaitu metode yang mengacu pada konsep bagaimana mencetak siswa menjadi seorang linguistik/ ahli bahasa. Sebut saja metode penguasaan grammer dan vocabulary. Padahal esensinya tidaklah demikian. Sehingga walaupun dengan metode ‘living english’ yang ditawarkan oleh W. Stannard Al- Len B.A. hasilnya sama saja atau tidak mempan alias mandul. Malah yang ada hanya membuat para siswa bingung.
Oleh sebab itu, banyak sekali oknum- oknum yang berinisiatif mendirikan LBA (Lembaga Bahasa Asing) guna menunjang prestasi anak bangsa. Dimulai dengan menawarkan bahasa yang proses pembelajarannya happy and fun serta pengelompokan kelas- kelas seperti Grammer Class, Conversation, Toefl Test atau yang semisalnya.
Memang banyak sekali pihak yang diuntungkan dengan partisipasi siswa di lembaga- lembaga bahasa tersebut. Murid itu sendiri, orang tua, guru dan of course sekolah terkait yang bergelimang pujian karena prestasi siswa. Namun demikian, permasalahan nya tidaklah sampai di situ saja. Karena sejauh ini lembaga- lembaga bahasa tersebut masih berorientasi pada pengutamaan kuantitas. Sehingga pertimbangan tempat yang strategis menjadi prioritas utama pendiriannya. Dalam hal ini, kawasan perkotaan menjadi target. Karena, apa yang tidak ada di kota? Orang- orang kaya? Mobilitas tinggi? Antusias orang tua? Semuanya tersedia dengan lengkap.
Al hasil, sekolah- sekolah yang terletak di pinggiran kota merasa ‘minder’ menghadapi fakta demikian namun dibayang- bayangi oleh dilema besar. Di satu sisi mereka dituntut terus meningkatkan prestasi anak didik. Namun di sisi lain mereka ‘kewalahan’ menghadirkan fasilitas- fasilitas pendukung. Yang inti permasalahannya adalah masalah financial atau uang.
Pada mulanya saya berprinsip bahwa kuliah sambil mengajar di sekolah seperti SLTP N 1 Purwosari ini merupakan kesempatan untuk memperdalam ilmu yang saya pelajari. Namun seketika pikiran itu hilang hampa ketika saya menemukan realita bahwa prestasi para siswa bidang studi bahasa inggris sangat rendah. Kemudian saya mencoba mencari tahu kenapa hal tersebut terjadi. Saya menemukan siswa- siswa yang memiliki semangat belajar yang luar biasa menggebu- gebu. namun, minimnya fasilitas sekolah secara keseluruhan mereka ‘jauh’ dari prestasi yang diraih oleh para siswa seperti di kota.
Timbulah keperihatinan dalam diri saya. Dan pada saat itu pula, saya mengganti prinsip awal saya mengajar menjadi “when you give a man a fish, he will have a single meal. When you teach a man how to fish, he will eat all his life”.
Berdasar pada problem- problem di atas, maka SLTP N 1 Purwosari Kabupaten Gunung Kidul yang saya motori berinisiatif mencari solusi atas permasalahan pendidikan nasional ini dengan mendirikan Lembaga Bahasa (LB) eL ‘English Lovers’. Selanjutnya disebut eL saja.
Pada dasarnya eL adalah lembaga yang merupakan bagian dari sekolah. Aspek yang paling menonjol adalah terletak pada kurikulum. eL menggunakan kurikulum sesuai amanat sekolah. Artinya materi pokok -di luar meteri pengembangan bakat dan keterampilan seperti: keterampilan berpidato dan debat dalam bahsa inggris- yang diajarkan merupakan materi yang telah atau akan diajarkan di kelas. Metodenya adalah eL berkerja sama dengan guru bidang studi terkait dalam hal meminta materi anjuran pembelajaran. Sehingga dapat dikatakan bahwa eL membantu siswa untuk belajar (mengulang pelajaran) layaknya di rumah masing- masing siswa tersebut.
Aspek pembeda eL dengan lembaga- lembaga bahasa di luar sekolah lainya terletak pada tujuan pendirian. eL sangat mengutamakan prestasi (nilai) siswa di sekolah. Sehingga sekolah pun kebagian ‘untungnya’. Disamping itu, selain untuk mencapai tujuan utamanya yaitu membantu meningkatkan prestasi siswa di sekolah, eL juga berupaya membantu siswa dalam hal finansial yaitu dengan meng-gratiskan biaya belajar siswa. Ini merupakan upaya mendongkrak minat dan semangat siswa dalam mempelajari bahasa inggris.
Akhirnya, ada satu harapan dari team eL bahwa jika pada akhirnya eL sukses, diharapkan akan ada ‘eL –eL’ yang lain di seluruh Indonesia, khususnya sekolah di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta, yang merasa senasib sebagai sekolah di pinggiran kota. Oleh sebab itu, team eL sangat mengharapkan doa dan dukungan dari seluruh elemen pendidikan, orang tua dan masyarakat pada umumnya atas kesuksesan eL kedepan.
*Penulis adalah mahasiswa FIAI Universitas Islam Indonesia dan guru bahasa inggris di SLTP N 1 Purwosari Kecamatan Purwosari Kabupaten Gunung Kidul D.I Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar