Muslimspot.com

Senin, 14 Maret 2011

Kritik Ulama terhadap Konsep Mashlahah At-Thufi


 Muhammad Roy, MA.

Pendahuluan
Konsep at-tufi tentang maslahah dalil terkuat dari pada dalil-dalil syara’ lainnya, sehingga ketika terjadi kontradiksi maslahah harus didahulukan dari pada nan ijma’, mendapat tanggapan ulama dari berbagai pihak. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang kontra kadang bukan sekedar kontra tetapi sudah melebihi kritik yang membangun. Pro dan kontra itu lehih mencuat lagi ketika tahun 1906 majalah al-Manar menerbitkan makalah at-Tufi mengenai masalih yang dinilai sangat radikal. Sebagai contoh ia berpendapat bahwa maslahah harus didahulukan dari pada penetapan ijma’ maupun nas, jika yang disebut ini merugikan kepentingan manusia. pendapat at-Tufi ini sebenarnya sama dengan pendapat Muhammad ‘Abduh: “Mendahulukan akal atas lahirnya nas, ketika terjadi pertentagan” berikut ini kami paparkan tanggapan tesebut baik yang pro maupun yang kontra. Dimulai dari yang kontra, baru kemudian yang pro terhadap at-Tufi.

1.      Ulama yang kontra terhadap konsep maslahah at-Tufi
Di antara ulama yang kontra, konsep maslahah at-Tufi dapat disebutkan:
a.       Zahid al-Kausari
Salah satu metode dalam mengupayakan syari’at sesuai dengan hawa nafsu adalah pernyatan at-Tufi bahwa prinsip dasar legislasi dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan mu’amalah antar manusia adalah prinsip maslahah tersebut harus diikuti. Alangkah besarnya keburukan pernyataan seperti itu. Ini tak lain hanyalah upaya untuk melanggar hukum Ilahi agar bisa-atas nama maslahah- si pendosa (al-Fajr) ini, mampu merubah syari’at dengan membuka pintu keburukan. Adalah Najmuddin at-Tufi al-Hambali, orang pertama yang membukakan pintu keburukan. Tak seorang muslim pun yang pernah mengeluarkan penyataan seperti itu. Ini adalah bid’ah yang terang-terangan. Barang siapa yang mendengarkan pembicaraan seperti ini, dia tak memperolehilmu apapun tentang ilmu agama.[1]
b.      Muhammad Sa’id Ramdan al-Buti
Dalam kitab Dawabit al-Maslahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah,  dalam pendahuluannya al-Buti menjelaskan bahwa kaum orientalis sebagai tentara salib yang menyerang Islam telah melakukan tindakan untuk menghancurkan Islam. mereka mendesak kaum muslimin untuk membuka ijtihad seluas-luasnya dan untuk mencapai tujuan itu mereka merujuk pada konsep maslahah sebagai prinsip utama syari’at. Al-Buti yakin bahwa motif mereka yang sebenarnya dibalik usulan tersebut adalah untuk menghancurkan Islam.  dia mengakui bahwa pintu ijtihad belum pernah ditutup dan pembuat hukum telah memberikan pertimbangan penuh pada prinsip maslahah, tetapi prinsip ini selamanya telah dibatasi dengan sejumlah persyartan. Setelah melakukan analisis yang terperinci tentang etimologi dan konsep maslahah, al-Buti menyimpulkan adanya persyaratan-persyaratan yang dikemukakan oleh para yuris tradisional dalam penerapan prinsip ini. Dia juga membandingakan prinsip inidengan konsep lemnfaatan (utility) dan kenyamanan (pleasure) dalam filsafa Stuart Mill dan J. Bentham. Pada gilirannya bahwa maslahah dalam pengertian tanpa syarat adalah identik dengan konsep-konsep utility dan pleasure yang dipandang murni hedonistic. Konsep maslahah yang bersyarat adalah jelas berbeda dengan konsep pleasure. Pertama, konsep maslahah tidak terbatas hanya pada dunia ini saja, tetapi juga menjangakau ke akhirat. Kedua, nilai agama mendominasi pertimbangan-pertimbangan lain. Dengan demikian, apabila persyaratan diabaikan dan maslahah yang ingin ditegakkan semata-mata sebagai pedoman dan kriteria, maka demi Allah, ijtihad semacam ini akan membanjiri kaum muslimin dari segala penjuru. (untuk membuktikan akibat-akibat yang mengerikan seperti itu dibukanya pintu ijtihad), cukuplah diamati keburukan yang membawa hukum-hukum syari’at keluar dari benteng nas, keterbukaan total, terbuka bagi hawa nafsu dan pendapat yang semena-mena yang menipu (kita) dibalik nama maslahah dan manfaat.[2]
c.       ‘Abdul Wahab Khalaf
‘Abdul Wahab Khalaf dalam kitabnya Masadir at-Tasyri’ fi Ma La Nas fih mengomentari, bahwa at-Tufi yang menggunakan maslahah mursalah secara mutlak baik ketika ada nas maupun tidak ada nas, maka sesungguhnya ia sebagai orang yang membuka pintu pnehancuran nas. Pada waktu yang sama ia menjadikan hukum-hukum yang berdasarkan nas dan ijma’ itu dapat dinasakh (dihapus) dengan hukum berdasarkan akal, lantaran maslahah secara mandiri ditetapkan berdasarkan akal, maka mafsadahpun juga dapat ditetapkan berdasarkan akal. Ini berati memungkinkan ketika terjadi ta’arud antara nas dan ijma’ dengan maslahah; dimungkinkan untuk menghapuskan hukum-hukum nas dan ijma’ dengan akal, adalah ancaman bagi hukum-hukum Ilahi dan hukum syara’ pada umumnya. Pada waktu yang sama menyelamatkan hukum-hukum ibadah dan al-muqaddarat dari pesan istislah di dalamnya. Dengan kata lain, bukan wewenang maslahah untuk menenukan hukum ibadah dan al-muqaddarah. Termasuk juga menyelamatkan hukum kulli yang disyari’atkan untuk memelihara daruriyah maupun hajiyah dari campur tangan maslahah karena hal demikian sudah menjadi kesepakatan yang paten tentang kemaslahatanya. Dan juga tidak mungkin hukum-hukum juziyyah yang ada nasnya yang sudah jelas ada maslahahnya, akan diukur lagi dengan maslahah yang ditetapkan berdasarkan akal.[3]
d.      Ali Hasabullah
Ali hasabullah menolak pemikiran at-Tufi dengan alasan tidak mungkin terjadi pertentangan antara maslahah hakiki dengan nas yang qat’i. Apabila dirasa ada pertentangan antara maslahah dengan nas, harus didahulukan maslahah yang hakiki atas nas dengan catatan apabila maslahah itu bersifat daruriyat. Dan dimenangkan nas atas maslahah apabila maslahah itu maslahah tahsiniyah. Adapun maslahah hajiyah, maka lebih didekatkan (dipertemukan) dengan maslahah daruriyah daripada didekatkan pada masalah tahsiniyah.[4]
e.       Muhammad Yusuf Musa
Yusuf Musa menilai bahwa pandangan at-Tufi terkait dengan maslahah adalah murni ijtihadnya, dan ia salah dalam hal ini, karena sungguhpun maslahah adalah dalil syara’ yang hakiki, tetapi tetap dalam ruang lingkup nas. Tidak seharusnya ruang gerak maslahah sampai dengan mendahulukan maslahah atas nas apabila terjadi ta’arud, karena hal demikian masuk  klasifikasi menghapus (nasikh an-nas) dengan maslahah, pada hal masa nasikh sudah lewat.[5]
f.       Husain Hamid Hasan
Dalam kitabnya Nazariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami setelah menulis asas-asas maslahah at-Tufi, dalam munaqosahnya menyatakan batil terhadap masalah batil tersendiri lepas dari nas dan maslahah didahulukan dari pada nas. Ia menolak pemikiran at-Tufi ini,  setelah menganalisi dalil-dalil at-Tufi ternyata lemah dan dapat dipatahkan baik melalui hadis, sunnah maupun asar sahabat dan ijma’. Karena itu pada akhir kesimpulannya, ia menyatakan asas-asas maslahah at-Tufi dalam dakwaannya atas dasar kami mendahulukan maslahah dari pada nas, kami tolak semuanya. Karena itu kami membahasnya secara panjang lebar di dalam rangka agar tidak seorangpun tertipu akan pemikiran at-Tufi yang melenceng, dan mengikuti apa yang dikatakan at-Tufi.[6]
g.      Salam Mazkur
Salam mazkur menanggapi pendapat at-Tufi, mengatakan bahwa kita harus mengakui kedudukan maslahah dalam agama. Kendatipun demikian, kita tidak dapat membenarkan pendirian at-Tufi mendahulukan maslahah atas dalil-dalil yang lain. Pertentangan antara maslahah dengan nas dan ijma’ sebenarnya tak dapat diterima oleh akal, karena syara’ yang menjadikan maslahah sebagai pegangan dalam menetapkan hukum, tak mungkin hukum-hukumnya  mengandung kemadaratan. Kalaupun terjadi pada suatu ketika pertentangan antara nas dengan maslahah, maka nas harus didahulukan dari pada maslahah, karena nas masuk ke dalam bagian pokok pegangann di mana kita harus kembali kepadanya sewaktu timbul keragu-raguan, dan ingin mentarjihkan suatu dalil. Karena itu tidaklah mungkin dikatakan maslahah dapat mengkhususkan nas atau menjelaskan maslahah karena sesungguhnya yang dapat menjadi mukhassis itu adalah hadis, seperti hadis laa daraara wa laa diraar itu.[7]
h.      Wahbah az-Zuhaili
Dalam kitabnya al-Wasit fi ‘Ilmi al-Usul al-Fiqh al-Islami, Wahbah senada dengan Salam Mazkur dalam menolak asas-asas at-Tufi dalam membangun konsep maslahahnya. Di samping Wahbah menolak maslahah sebagai dalil yang mandiri lepas dari nas,  dan maslahah dalil yang lebih kuat dari pada nas dan ijma’, ia juga menilai bahwa at-Tufi dalam logika berpikirnya. At-Tufi mengatakan bahwa maslahah hanya berlaku dalam bidang mu’amalah dan adat, bukan pada bidang ibadah. Tetapi at-Tufi juga memberikan ruang pada maslahah dalam ruang ibadah sebagaimana yang dicontohkan dalam kasus Ibnu Mas’ud di atas. Ini berarti bertentang dengan konsepnya sendiri, dan juga bertentangan dengan mazhab yang diikuti oleh at-Tufi. Karena itu argumen at-Tufi yang mewajibkan mendahulukan maslahah dari pada nas adalah kacau dan melenceng.[8]
i.        Mustafa Ahmad az-Zarqa’
Najmuddin at-Tufi dari kalangan Hanabilah telah berlebih-lebihan dalam memandang maslahaha. Ia mendahulukan maslahah dari nas qat’i apabila keduanya bertentangan. Ini adalah benar-benar ra’yu yang ditolak oleh semua mazhab fiqh yang mu’tabar, bukan hanya mazhab Ahmad saja, karena pandangan ini akan membawa pada menyia-nyiakan nas syari’at hanya karena ijtihad berdasarkan akal semata. Seandainya manusia diperbolehkan menerima pandangan ini secara mutlak dalam pensyari’atannya, dan memberi toleransi pada orang-orang peradilan atau para hakim dalam ijtihad mereka, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan yang hebat dalam mengamalkan syari’at dan undang-undang. Barang siapa yang melihat kemaslahatan nas syari’at, maka ia mengamalkan nas tersebut, dan barang siapa melihat maslahah yang bertentangan dengan nas syari’at, maka mereka membuang nas, ini adalah puncaknya kekacauan at-Tufi telah mengemukakan pandangannya ini dan hujjah-hujjahnya ketika menjelaskan hadis Arba’in karya an-Nawawi di bawah hadis: laa daraara wa laa diraar.[9]

2.   Ulama yang pro terhadap Konsep Maslahah at-Tufi
a.       Salim Ibn Muhammad al-Qarni
Salim Ibn Muhammad al-Qarni dalam tahqiqnya kitab at-Tufi, al-Intisaaraat al-Islaamiyyah mengatakan bahwa pandangan at-Tufi terkait maslahah yang berbeda dengan konsep jumhur fuqahaa dan ulamaa usuul fiqh, dan kemandirian pendapatnya adalah bersifat khusus dalam hal itu,[10] dan terbatas dalam hukum mu’amalah dan adat.
b.      Ibrahim Hosen
Ibrahim Hosen dalam komentarnya terhadap at-Tufi menyatakan, bahwa at-Tufi haruslah dipahami dalam konteks usul fiqh karena  sesungguhnya ia bermain pada tataran ini. Ia mengandaikan terjadinya benturan antara nas atau ijma’ dengan maslahah. Persoalannya, benarkah telah terjadi benturan tersebut? Persoalan berikutnya, benarkah benturan yang ia maksudkan itu salah satunya berkaitan dengan pembagian waris? Sekali lagi, at-Tufi tampaknya sedang berandai-andai dan kelihatannya sepanjang yang saya ketahui, ia belum mengungkapkan kasus realistis yang menunjukkan kebenaran pengandaian tersebut. Jika demikian, belum tentu masalah waris termasuk kasus yang dimaksudkan at-Tufi dalam pengandaiannya. Hal ini dapat dipahami, karena seperti saya ungkapkan di atas bahwa at-Tufi bermain  dalam tataran usul fiqh, belum memasuki tataran fiqh atau lebih spesifik lagi al-Masail al-fiqhiyah. Di samping itu satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa andaikata apa yang diandaikan at-Tufi itu terjadi, maka menurutnya pengutamaan maslahah atas nas itu harus dipahami dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan mengabaikan dan meninggalkan nas.
Harus pula dipahami kecenderungan teologi Mu’tazilah yang dianut at-Tufi dan yang sepaham dengannya dalam hal kekuatan akal. Maksud saya, pendapat at-Tufi tentang kekuatan dan kemandirian akal dalam memilih dan menentukan mana yang maslahah dan mana yang buruk serta pendapatnya bahwa maslahah adalah dalil syara’ mandiri yang terlepas dari nas, secara mudah kita bisa melihat adanya kecenderungan tersebut, tetapi dengan meminjam trend baru kajian usul fiqh yang dikorelasikan dengan ilmu kalam, kita merasakan keanehan. Bagaimana mungkin at-Tufi yang dianggap sebagai pengikut Ahmad Ibn Hambal, dalam teologinya sejalan dengan Mu’tazilah. Mungkin saya keliru, tepi saya kira kita semua menangakap atmosfir keanehan  tesebut.[11]
Kesimpulan saya, at-Tufi baru berbicara secara teoritis belum sampai pada dataran fiqh. Di samping itu, kita tidak bisa menutup mata atas derasnya serangan para ulama terhadap premis dan argumen at-Tufi. Yang perlu dilakukan oleh mereka yang sepaham dengan at-Tufi adalah membela atau paling tidak membahas premis dasar dan argumen tersebut.[12]
c.       Abu Yusuf al-Hanafi
Pada zaman khalifah Harun Rasyid, Abu Yusuf menjabat sebagai Qadi al-Qudat atau semacam Mahkamah Agung. Senada dengan at-Tufi, ia berpendapat bahwa suatu nas yang  dulu dasarnya adat, kemudian adat itu telah berubah, maka gugur pula ketentuan hukum yang terdapat dalam nas. Misalnya Nabi pernah menyatakan bahwa untuk jual beli gandum dipergunakan ukuran takaran mengikuti adat setempat waktu itu, tapi kemudian kebiasaan itu berubah. Di banyak wilayah dunia Islam untuk jual beli dipergunakan ukuran timbangan. Apakah kebiasaan menggunakan menggunakan timbangan itu tidak dibenarkan karena menyalahi petunjuk Nabi. At-Tufi berani berbeda dengan ulama lain. Ia berpendapat apabila terjadi pertentangan antara nas dengan adat kebiasaan, maka ia mengharuskan meninggalkan nas itu dan mengikuti hukum adat. Dengan kata lain adat kebiasaan itulah yang harus diutamakan.[13]
d.      Mustafa al-Galayain
Mustafa al-Galayain mengomentari pandangan at-Tufi dengan menyatakan, bahwa maslahah yang diakui oleh at-Tufi bukanlah al-maslahah-mursalah seperti ajaran Imam Malik, bahkan lebih jelas dari pada itu, yaitu dengan bersandar pada nas dan ijma’ dalam soal-soal ibadah dan bersandar pada prinsip kemaslahatan dalam soal-soal mu’amalah dan bagian-bagian hukum lainnya. Demikian ini karena kemaslahatan itu adalah urusan orang mukallaf dalam memenuhi haknya, yang kemudian dikenal dikalangan mereka hukum adat. Apabila kita lihat syari’at berdiam diri dari pada pemanfaatannya, maka kita melokalisir dalam memeroleh hak-hak itu dalam pemeliharaannya.
Dengan penjelasan singkat ini, dapat dikatakan bahwa konsep Najmuddin at-Tufi al-Hanbali mengenai al-maslahah, bermaksud memberi pencerahan bahwa matan hadis la daraara wa laa diraar, itu memunyai derajat yang boleh dikatakan menjadi asasnya setiap ketentuan nas, kecuali apabila kemaslahatan itu mengharuskan yang sebaliknya.[14]
e.       Ibn Qayyim al-Jauziyah dan Ibnu Taimiyah
Dua ulama besar yang juga dari kalangan hambali ini, sejalan dengan at-tufi di dalam mendahulukan maslahah atas nas dan ijma’. Ibn qoyyim mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa dapat dibenarkan karena perbedaan zaman, lokasi/lingkungan, situasi, niat dan adat istiadat. Sebagai contoh apa yang diperbuat ibnu taimiyah ketika mendiamkan orang-orang yang minum khamar seperti terungkap di atas.[15]
f.       Subhi Mahmassani
Dalam kitabnya Falsafah Tasyri’ ketika berbicara soal perubahan hukum, ia menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kaidah perubahan hukum ini tidaklah diartikan sebagai perubahan atau merubah nas-nas yang tidak diperkenankan Allah. Nas-nas Allah adalah suci yang tidak boleh dipengaruhi dengan sesuatupun, maksud kita dengan perubahan di sini, ialah perubahan penafsiran dan ijtihad terhadap nas itu, atas dasar perubahan alasan dan adat kebiasaan.
Jadi segala dalil-dalil qat’i atau pendapat-pendapat yang berpangkal kepada sumber syari’at yang sudah mu’tabar (respectable) dan yang berpangkal pada jurisprodensi Islam serta pendapat ahli ilmu dalam berbagai mazhab, semuanya itu adalah dasar umu. Hanya saja hukum mu’amalah semuanya berpangkal pada alasan-alasan yang bisa diterima, kepada prinsip kemaslahatan dan kepentingan umum dan kepada adat kebiasaan. Semua itu berkisar bersama-sama dengan wujud atau tidaknya illat atau alasan-alasannya, dan berubah-ubah sesuai dengan kemaslahatan, kepentingan atau keadaan darurat yang disebabkan karena perbedaan situasi, waktu dan kebiasaan.
Semuanya ini yang sudah terjadi pada hukum Islam, menandakan bahwa syari’at di dalam semua tahapan sejarahnya tidak menentang dalam pertumbuhan dan perkembangan hukum. Hukum Islam tidak menghilangkan jasa seperti Umar bin Khattab, Umar bin ‘Adul Aziz, Abu Yusuf dan lain sebagainya (termasuk at-Tufi), sebagai pahlawan-pahlawan yang berpandangan jauh kedepan menuju syari’at yang hakiki dan yang telah mengimplementasikan syari’at menurut makna dan tujuannya, di mana pada suatu waktu rakyatnya tidak dianggap beku dan tidak dikekang, sehingga syari’at itu tidak sekedar formalitas menurut bunyi dan materinya belaka.[16]
g.      Munawir Sjadzali
Munawir Sjazali dalam gagasannya tentang reaktualisasi ajaran Islam sejak tahun 1985 dalam berbagai kesempatan sosialisasi, berulang kali mengutip pendapat at-Tufi dengan konsep maslahahnya dan AbuYusuf dengan konsep adatnya, sebagai salah satu alasan pembenar bagi gagasannya. Dan ternyata mulai tahun 90-an mulai mendapatkan sambutan hangat dari berbagai ulama di indonesia, utamanya reaktualisasi hukum Islam dalam bidang perbankan dan hukum waris.[17] Munawir dalam bukunya; Ijtihad Kemanusiaan banyak mengungkapkan ulama-ulama besar yang sejalan dengan at-Tufi, di antaranya Abu Yusuf, Izzuddin Ibn ‘Abd as-Salam, Ibn Al-Qayyim, Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Rida dan Jamaluddin al-Afgani. Dari kalangan Mufassir seperti Tantowi Jauhar, Ahmad Mustafa al-Maragi, dan Sayid Kutub.[18]
Pada akhir kesimpulan, ia menandaskan kalau kita dengan rasa penuh tanggung jawab kepada Islam-berusaha memahami ajaran Islam yang luhur itu dengan memanfaatkan akal budi, maka kita bukan yang pertama yang berbuat demikian. Dan hanya dengan meneladani keberanian Umar bin Khatab itu umat Islam tidak akan kedodoran dalam menyongsong abad 21 mendatang dengan perkembangan hidup yang amat pesat nanti.[19]
h.      Abdullah Ahmed an-Na’im
Sungguhpun tidak menyebut nama at-Tufi secara langsung, Abdullah Ahmed berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan dapat mengesampingkan suatu aturan yang sebagai kasus terpisah yang bisa diabaikan begitu saja oleh formulasi usul al-fiqh. Saya menegaskan bahwa hukum dijabarkan melalui ijtihad, meskipun dengan menolak teks al-Qur’an dan Sunnah yang jelas dan terinci (qat’i). Menurut saya, berbagai contoh tindakan sahabat Umar itu tidak bisa dianggap menyimpang. Muslimin (baca: para mujtahid) kontemporerpun memiliki kemampuan untuk melakukan formulasi Usul fiqh dan berhak melakukan ijtihad sekalipun menyangkut masalah yang sudah diatur oleh teks al-Qur’an dan Sunnah secara jelas dan terinci (qat’i), sepanjang hasil ijtihad itu sesuai dengan esensi tujuan risalah Islam.[20]



[1] Zahid al-Kausari, Maqalah al-Kausari, seperti dikutip oleh Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi Al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1964) hlm.164-166.
[2] Said Ramdan, Dawabit, hlm. 12-14.
[3] ‘Abdul Wahab Khalaf, Masadir, hlm. 101.
[4] Ali Hasabullah, Usul at-Tasyri’, hlm. 158-161.
[5] Yusuf Musa, al-Amwal wa Nazariyah al-‘Aqdi fi al-Fiqh al-Islami, (t.t.p: t.p, 1953), hlm. 132-135. Lihat juga Mustafa Zaid, al-Maslahah, hlm. 171.
[6] Husain Hamid, Nazariyah, hlm. 547-558.
[7] Az-Zarqa’, Madkhal al-Fiqh Al’am, (Damaskus: Maktaba’ah Tarabin, 1968), hlm. 92-111.
[8] Wahbah az-Zuhaili, Al-Wasit fi ‘Ilmi al-Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 1, (Damsiq: Dar al-Kitab, 1977-1978), hlm. 367-378.
[9] Mustafa Ahmad az-Zarqa’, Al-Madkhal, jilid I. hlm. 117-118. Lihat juga Al-Qarafi, Tanqih al-Fusul, hlm 200.
[10] Al-Qarni, dalam Tahqiiq kitab at-Tufi, al-Intisaaraat al-Islaamiyyah fi Kasyfi Syubhi Nasraniyah, (Kairo: Daar al-Fiqr al-‘Arabi), jilid I, hlm 16.
[11] Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam, dalam Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: IPHI Kerjasama dengan Paramadina, 1995) hlm. 257-258.
[12] Ibid., hlm. 261-262.
[13] Lihat Mahmassani, Falsafah at-Tasyri’. hlm. 170.
[14] Mustafa al-Galayain, Al-Islam Ruh al-Madaniyah, cet. ke-4, (Beirut: t.p, 1935), hlm. 30.
[15] Lihat Mahmassani, Falsafah, hlm. 17.
[16] Ibid., hlm. 175-176.
[17] Munawir, Reaktualisasi, hlm. 77-78.
[18] Munawir Sjazali, Ijtihad Kemanusiaan. (Jakarta: Paramadina,1997), hlm. 45-48.
[19] Ibid, hlm. 76.
[20] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rani, Cet ke-3, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar