Muslimspot.com

Selasa, 03 Mei 2011

Bagian II: Ijtihad sebagai Upaya Praktis Pengembangan Hukum Islam dan Urgensinya dalam Menghadapi Tantangan Modernitas

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
A.    Pengertian dan Landasan Hukum Ijtihad
1.      Pengertian Secara Etimologis dan Terminologis
Ijtihad secara etimologi berasal dari kata: جهد (bentuk fi’il), yang artinya mencurahkan segala kemampuan. Sedangkan kata: الجهد (bentuk masdar), berarti kemampuan menanggung beban kesulitan atau kesusahan. Pengertian seperti ini sama dengan definisi kata:  الّطاقة, yaitu kesanggupan atau kemampuan. Di dalam al-Qur’ān al-Karīm, kata جهد dapat ditemukan pada lima tempat, yaitu Qs. al-Māidah: 53, Al-An’ām: 109, al-Nahl: 38, al-Nūr: 53, dan Fāthir: 42. Sedangkan kata: الجهد disebutkan sebanyak satu kali, yakni dalam Qs. Al-Taubah: 79. Semuanya menunjukan kepada arti pencurahan dan pengerahan kemampuan dan bekerja keras.[1]
Pengertian ijtihad secara terminologi banyak ditemukan dalam karya beberapa ulama, yaitu pengerahan segenap kesungguhan dan kemampuan yang dimiliki seseorang ahli fiqih untuk menghasilkan keyakinan atau ilmu tentang suatu hukum.[2]
a.        ‘Abdul Wahhāb Khalaf memberikan definisi ijtihad sebagai berikut: [3]
الإجتهاد معناه بذل الجهد للوصول إلى الحكم الشّرعي من دليل تفصيلي من الأدلّة الشّرعية.
“Pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syara’ dari dalil yang terinci dengan bersumber dari dalil-dalil syara’.
b.      Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan ijtihad tidak jauh berbeda yaitu: [4]
الإجتهاد هو بذل الفقيه وسعه في الإستنباط الأحكام العلميّة من أدلّتها التفصليّة
Daya upaya ahli hukum Islam (faqīh) semaksimal mungkin dalam mengistinbatkan hukum praktis dari dalil- dalil yang terperinci.”

c.       Yusuf al-Qardhawy mendefinisikan ijtihad dengan lebih spesifik, yaitu sebagai berikut:[5]
بذل الوسع في نيل الحكم الشرعيّ العملي بطريق الإستنباط.
“Mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbāt (mengambil kesimpulan hukum).”




Dari beberapa pengertian ijtihad di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kata: جهد, hanya digunakan dalam menyatakan persoalan-persoalan yang bersifat berat, sulit, dan membutuhkan kemampuan yang mumpuni. Begitu pula dengan kata إجتهاد yang fi’il mādī dan mudhāri’-nya: إجتهد يجتهد , hanya digunakan dalam hal-hal yang dilaksanakan lebih dari biasa dan sulit untuk dilakukan untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, salah jika kemudian ijtihad tersebut diterapkan pada sesuatu yang mudah atau ringan.[6] 
Sedangkan perbedaan pendapat mengenai makna ijtihad yang diserupakan dengan qiyās, ra’yu (logika) yang termasuk di dalamnya istihsān atau mashālih mursalah, menjadi pembahasan yang terus bergulir. Al-Syafi’i, misalnya menyatakan bahwa ijtihad identik dengan qiyās.[7] Namun kesimpulan ini kemudian dibantah oleh Al-Ghazali dengan argumentasi bahwa ijtihad lebih umum ketimbang qiyās, karena ijtihad kadang memperhatikan penelitian usahanya dalam masalah-masalah umum, kedalaman lafaz-lafaz, dan jalan-jalan mencari dalil lain selain qiyās. Bahkan dikatakan bahwa ijtihad mencakup ra’yu (logika), qiyās, dan akal. Sebagaimana ra’yu diartikan oleh mereka yang berpendapat demikian diklaim sebagaimana para sahabat memahaminya, yaitu sebagai amal yang yang dipandang oleh mujtahid sebagai suatu kemaslahatan dan lebih dekat kepada semangat syari’at Islam tanpa penelitian kepada apakah hal itu ada dasar tertentu untuk kejadian tersebut atau tidak.
Di samping itu, istilah yang juga berkaitan dengan ijtihad adalah “fatwa”. Fatwa artinya peringatan atau pemberitahuan tentang suatu hukum yang dihasilkan dari hukum-hukum syari’at. Fatwa hanya dapat dihasilkan oleh mereka yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menggali berbagai hukum dengan menggunakan pemikiran ataupun qiyās.[8]



1.      Dasar Hukum Ijtihad
Amir Mu’llim dan Yusdani,[1]  mengemukakan bahwa ijtihad sebagai salah satu sumber hukum dari sumber-sumber hukum syari’ah merupakan sebuah pernyataan yang didasarkan pada dalil-dalil yang menunjukan kevalidannya, baik dalil yang bersifat isyarat ataupun jelas eksplisit. Adapun dalil-dalil yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
1). Qur’an Surat an-Nisa ayat 59:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Menurut Amir Mu’allim dan Yusdani, terdapat beberapa hal yang dapat dipetik dari ayat tersebut. Mereka menyimpulkan bahwa ayat di atas merupakan dasar perintah untuk melakukan analogi (qiyās) dan untuk merujuk dan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah jika terjadi silang pendapat dalam hasil pemikiran. Disamping itu, mereka menambahkan bahwa ayat di tersebut juga merupakan landasan dari tiga macam ilmu, yaitu syarī’ah, fiqh, dan siyāsah syar’īyah.[2]
2). Qur’an Surat Al-Jatsiyah ayat 13:
t¤yur /ä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# $YèÏHsd çm÷ZÏiB 4 ¨bÎ) Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcr㍩3xÿtGtƒ
Artinya: “Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Istilah berpikir dan berakal adalah sebuah aktifitas yang menggunakan logika dengan penekanan yang ditunjukan ayat ini, yakni berpikir tanpa mendahului Al-Qur’an dan al-Sunnah. Kemudian firman Allah Ta’ala yang artinya:  “Maka ambillah pelajaran oleh kalian wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.”
 Menurut al-Amidi, ayat ini pun menjadi landasan hukum adanya ijtihad, dimana ayat ini menyatakan perintah untuk mengambil pelajaran atas hal yang bersifat umum bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan.
b. Sunnah Nabi
Berdasarkan hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan dari Amr ibn al-‘Āsh, sebagai berikut: [3]
حدثني يحيى بن يحيى التميمي. أخبرنا عبد العزيز بن محمد عن يزيد ابن عبد الله بن أسامة بن الهاد عن محمد بن إبراهيم عن بسر بن سعيد عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص, عن عمرو بن العاص: أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران و : إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر.

Artinya: “... Dari Amru bin ‘Ash, dia mendengar Rasulullah SAW, berkata: Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia salah, ia mendapatkan satu pahala.”
Kemudian hadis yang menjelaskan mengenai pengutusan Muadz ibn Jabal ke Yaman untuk menjadi hakim oleh Rasulullah SAW., Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Anas bin Malik sebagai berikut:[4]

عن انس ان رسول الله لما اراد ان يبعث معاذا الى اليمن قال: كيف تقضى اذا عرض لك قضاء, قال أقضى بكتاب الله, قال فان لم تجد فى كتاب الله, قال فبسنة رسول الله, قال فان لم تجد فى سنة رسول الله و قال أجتهد رأيى ولا الو, فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره, وقال الحمدلله الذي وفق رسول الله لما يرضى الله ورسوله.(رواه احمد وابو داود والترمذى)

Artinya: “...Dari Anas bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai Rasūlullāh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Turmudzi)
Kemudian ada taqrīr (sikap diam tanda setuju) Rasulullah SAW. kepada ‘Amr ibn ‘Ash ketika ia salat dalam salah satu sariyyah beserta sahabatnya. Dikatakan bahwa ‘Amr junub, tetapi ia tidak mandi, bahkan cuma tayammum saja karena malam itu sangat dingin. Maka hal itu diadukan kepada Rasulullah SAW., dan ‘Amr berargumen bahwa ia tidak mandi, tapi hanya tayammum karena ia teringat firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang atas kalian.”
Cara berijtihad ini diikuti pula oleh para sahabat dan generasi selanjutnya setelah wafatnya Rasulullah SAW., sebagai ciri khas yang selaras dalam menyimpulkan suatu hukum syar’i yang ditetapkan di dalam Islam. Mereka senantiasa menggunakan ijtihad, jika tidak ditemukan suatu kejelasan hukum suatu masalah di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini sudah menjadi ijma’ para sahabat yang diikuti oleh segenap Ulama Islam dalam berbagai madzhab.
c. Dalil Aqli (Akal)
Umat Islam dengan berbagai madzhabnya telah sepakat (ijmā’) atas adanya syari’at ijtihad dan mengaplikasikannya. Dan hasilnya terjadinya perkembangan dalam bidang fiqih. Begitupun akal mewajibkan adanya ijtihad, karena kebanyakan dalil-dalil hukum syara’ dalam bentuk aplikatif praktis (amal) bersifat zhannī yang memungkinkan dipahami dengan beberapa pemahaman. Oleh karena itu diperlukan ijtihad untuk menentukan pendapat yang terkuat. Begitu juga permasalahan yang tidak ada kejelasan nash tersurat, memerlukan ijtihad untuk menjelaskan hukum syari’at dalam masalah tersebut. Oleh karena ijtihad itu disyari’atkan, maka kedudukan ijtihad ini pula sangat penting untuk diperhatikan.
Syeikh Yusuf al-Qaradhawi menghukumi ijtihad dengan fardlu kifāyah. Ia beralasan bahwa ijtihad itu untuk kepentingan agama dan dunia, sebagaimana ilmu hisab, kedokteran, dan lainnya, yang hukumnya fardlu kifāyah. Beliau juga mengutip al-Syaukani dan al-Syahrastani dalam al-Milāl wa al-Nihāl yang menyatakan bahwa hukum ijtihad adalah fardlu kifāyah.[5]



[1]Ibid, hal. 63
[2]Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad., hal. 67
[3]Al-Hāfizh Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy’ats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, Jilid 1, (Beirut: Dār al-Fikr, tt), hal. 212
[4]Sunan Abu Daud, Kitab Al Aqdiyah, Jilid III, Hadis Nomor 3592, (Beirut: Dar Al Fikr, tt), hal. 303
[5]Yusuf al Qardhawy,  Al-Ijtihād., hal. 257




[1]Syarifuddin, Amir, Ushūl Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Group,2008),  hal. 223
[2]Abdul Halim Uways, Fiqih Statis Dinamis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal. 177
[3]Abdul Wahhāb Khalaf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, (Kairo: Dār al-Qalam, 1978), hal. 216
[4]Muhammad Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh, (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.th.), hal. 379
[5]Yusuf al Qardhawy,  Al-Ijtihād Fī Al-Tasyrī’ Al-Islamīyah Ma’a Nadzarāt Tahlilīyah Fī al- Ijtihād Al-Mu’āshirah, alih bahasa oleh Achmad Syathori, Ijtihad dalam Islam, Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal.102
[6] Ibrahim Hosen, Ijtihad dalam Sorotan, Cet. 2, (Bandung: Mizan, 1992), hal.23
[7]Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi, Antara Teori dan Fungsi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hal. 21
[8]Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad., hal. 178

Tidak ada komentar:

Posting Komentar