Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Bagian Awal
Interaksi intrapersonal tidak akan pernah bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia untuk memnuh hajat hidupnya. Hal tersebut terwujud dalam interaksi- interaksi ekonomi (muamalah) seperti jual beli, kontrak kerja (join venture) dan transaksi lainnya yang mengindikasikan adanya hubungan tsharrufaat.
Dalam ber-tasharrufaat tentu saja tidak dapat pula terlepas dari adanya ‘perjanjian’ yang terjadi sebagai konsekuensi atas hubungan intrapersonal atau muamalah tersebut. Namun, tidak semua orang paham dan mengerti akan istilah perjanjian tersebut. Karena seiring dengan berkembangnya kosa kata yang meluas dan menyempit, kata- kata tersebut ada yang telah diperbaharui atau diganti untuk maksud yang lain. Sehngga ketidakpahaman tersebut berdampak pada kesalah pahaman. Terutama bagi para pelaku ekonomi dan ahli hukum ekonomi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Wijono Prodjokodikoro, SH., bahwa pengetahuan soal istilah terutama yang berkaitan dengan hukum adalah sangat penting bagi para ahli hukum dalam mempelajari berbagai sudut dari hukum itu. Oleh sebab itu, sering sekali terjadi perdebatan di dalamnya. Dengan demikian memahami istilah terutama dalam hukum yang mengatur hubungan intrapersonal dalam hal muamalah, adalah sangat penting pula.[1]
Hal tersebut lah yang melatarbelakangi penulis menyuguhkan makalah ini ke hadapan pembaca. Terutama kepada yang terhormat Bapak Drs. H. Asmuni MA. Selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perikatan.
Perikatan sebagai salah satu Bentuk Tasrarufaat
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuat hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.[2]
Artinya bahwa perikatan bukan lagi merupakan rangkaian kata- kata yang mengandung janji- janji atau kesangggupan yang diucapkan tapi sudah merupakan perjanjian yang senghaja dibuat secara tertulis sebagai suatu alat bukti bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, demi kemudahan kita dalam mmahami makna perikatan yang sesungguhnya ada baiknya terlebih dahulu kita memahami makna perjanjian. Yang oleh Prof. Syamsul Anwar disebut sebagai sumber pokok lahirnya sebuah perikatan. Disamping undang- undang sebagai sumber kedua.[3]
Perjanjian sebagai Sumber Perikatan
Menurut hendi suhendi perjanjian adalah suatu hubungan hukum di lapangan harta kekayaan dimana seseorang berjanji (dianggap berjanji) kepada seseorang yang lain atau kedua pihak saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.[4]
Van Dunne sebagaimana dikutip dari Salim mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.[5] Oleh sebab itu, dalam fiqh muamalah dikatakan bahwa ketika proses perjanjian telah terjadi maka dari perjanjian tersebut menimbulkan suatu hubungan yang disebut perikatan.
Untuk memahami secara detail mengenai perbedaan antara perjanjian dan perikatan Dr. Yusuf Musa menjelaskan bahwa perjanjian itu hanya sebatas pernyatan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan perikatan adlaah pelaksanaan dari pernyataan tersebut sehingga menimbulkan hubuugan antara kedua orang itu, yaitu tuntut dan menuntut.[6]
Sementara dalam pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adlaah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal. [7]
Dengan demikian, setelah adanya perjanjian yang menimbulkan perikatan maka timbulah yang dinamakan kontrak atau oleh Hasanuddin Rahmad disebut perjanjian tertulis sebagai media atau bukti kedua belah pihak.
Charless l. Knap dan Nathan m. crystal menjelaskan bahwa contract is: an agreement between two or more people not merely a shered belief, but common understanding as to something that is to be done in the future. By one or both of them. Kontrak adlah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih tidak hanya memberikan kepercayaan tapi secara bersama- sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya.
Maka jika sudah melalui proses penulisan atau penuangan perjanjian dalam tulisan yang mengaitkan undang- undang untuk mengaturnya. Undang- undang tersebut berhak mengatur baik hak atau kewajiban antara kedua belah pihak. Karena undang- undang dalam hal berperan sebagai sumber perikatan yang disebabkan karena perbuatan manusia dalam hal ini kedua belah pihak yang memaksa.
Perjajian, Perikatan Dan Kontrak (Islamic perspective: etimology dan terminology).
Dalam hukum islam kontemporer digunakan istilah “iltizam” untuk menyebut perikatan (verbintenis) dan istilah “akad” untuk perjanjian (overeenkomst) dan bahkan untuk menyebut kontrak.[8] Dalam buku tersebut penulis juga menambahkan bahwa istilah akad adalah istilah tua. Sedangkan iltizam adalah istilah baru untuk menyebut perikatan secara umum.
Untuk memperkuat pernyataanya bahwa akad sama dengan perjanjian, sedangkan iltizam sama dengan perikatan. Syamsul anwar memberikan pengertian akad sebagai pertemuan ijab dan Kabul sebagai kehendak dua belah pihak atau lebih untuk melahirkan akibat hukum pada objeknya.
Bahkan tidak hanya itu, dia juga menambahkan pengertian akad menurut pasal 262 Al hairan yang berbunyi “akad adalah pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak, dengan Kabul dari pihak yang lain yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya.[9]
Akibat hukum itulah yang disebut sebagai iltizam yang oleh Abdurraoef dalam Dewi Gemala dan kawan- kawan dapat timbul melalui tiga tahapan, yaitu: al ‘ahdu, al ittifaq dan al aqdu.[10] Pada akhirnya, kesemua proses ijab dan Kabul dari awal sampai akhir dalam sebuah perikatan (bahkan dalam segala hubungan muamalat) itulah yang dinamakan tasharruf. Dalam kamus al munjiid di artikan bahwa tasharruf adalah al ihtaal wa taqoobul fiihi.[11]
Kapan Akad Itu Dikatakan Sah, Batal, Rusak dan Berakhir
Akad atau perjanjian dianggap sah jika memenuhi empat syarat, yaitu: adanya kesepakatan, kecakapan pembuat perjanjian, sebab yang halal, dan adanya objek yang diperjanjian . jika semua atau salah satu syarat tersebut tidak terpebuhi maka akad dinyatakan batal.
Sedangkan akad dinyatakan rusak jika tidak terpenuhinya unsur suka sama suka antara kedua belah pihak .[12] missal karena adanya unsure paksaan, kekeliruan, penipuan dan niat yang tidak baik atau adanya tipu muslihat.
Namun demikian, akada yang telah rusak belum tentu berakhir. Oleh sebab itu, Basjir menambahkan bahwa berakhirnya akad disebabkan karena eman hal, yaitu: fasakh, khiyar, penyesalan yang mendorong pada pembatalan atau iqolah, kewajiban dalam akad tidak terpenuhi, habis waktunya dan kamatian pihak yang berjanji.
Kesimpulan
Untuk memperjelas uraian diatas, berikut saya lampirkan table kesimpulan tentang pengertian Perjanjian, Perikatan dan Kontrak. Akad, Iltizam dan Tasharrufaat.
No | Nama | Pengertian | Persamaan | Perbedaan | Sumber |
1. | Perikatan | Hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuat hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu | Menyebabkan timbulnya hak untuk tuntut menuntuk antara kedua belah pihak. | Akibat dari perjanjian yang terikat oleh undang- undang. Berbentuk implementasi dari perjanjian | Undang- Undang dan perjanjian. |
2. | Perjanjian | Suatu hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum | Menyebabkan timbulnya hak untuk tuntut menuntuk antara kedua belah pihak. | Sebagai sebab timbulnya perikatan. Berbentuk pernyataan- pernyataan . | Kesepakatan dan atau persetujuan. |
3. | Kontrak | Perjanjian tertulis sebagai media atau bukti kedua belah pihak | | | Perikatan yang mengaitkan Undang- Undang. |
No | Nama | Pengertian | Persamaan | Perbedaan | Sumber |
1. | Akad | Suatu hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hokum. | Menyebabkan timbulnya hak untuk tuntut menuntuk antara kedua belah pihak. | Sebagai sebab timbulnya Iltizam. Berbentuk pernyataan- pernyataan. | Ijab dan Kabul |
2. | Iltizam | Hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuat hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu | Menyebabkan timbulnya hak untuk tuntut menuntuk antara kedua belah pihak. | Akibat dari akad. | Al ‘ahdu, al ittifaq dan al aqdu |
3. | Tasharrufaat | Semua bentuk hubungan interpersonal yang mengandung unsure ijab dan Kabul. | | | Ittifaaq |
Daftar Rujukan
Basjir, Ahmad Azhar, 1988, Asas- Asas Hukum Muamalah, Yogyakarta: Perputakaan FH-UII
Al kaatib, Al Munjiid Fil Lughoh Wal A’lam, Beirut: Maktabatul Syarqiyyah. 1986.
Gemala, Dewi, Dkk., 2005, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
Assiddiqy, Hasbie, 1992, Pengantar Fikih Muamalah, Yogyakarta: Bulan Bintang,
Penyusun, 1993, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoev
Stario, J., 1993, Hukum Perikatan- Perikatan Pada Umumnya-, Bandung: Alumni
Syahrani, Ridwan, 1992, Seluk- Beluk dan Asas- Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni
Suhendi, Hendi, 2005, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Press
Salim, HS., 2003, Hukum Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika
Syamsuddin Melila, A. Qirom, 1985, Pokok- Pokok Hukum Perjajian Serta Perkembanganya, Yogyakarta: Liberty
Musa, Yusuf, 1956, Al Fiqh Al Islami, Beirut: Dar Al Kutub Al Hadistah
Prodjodikoro, Wirjono, 2000, Asas- Asas Hukum Perjanjian, Yogyakarta: Mandar Maju
Rahmad, Hasanuddin, 2003, Contrac Drafting –Seri Keterampilan Merancang Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
*Disusun oleh Jondra Pianda. Mahasiswa Syari’ah FIAI- UII. Angkatan 2005. No. Mahasiswwa 05421004; Untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Hukum Perikatan. Dosen: Drs. Asmuni, MA. E-mail: jondrapianda@yahoo.com
1 Prodjodikoro, Wirjono, 2000, Asas- Asas Hukum Perjanjian, Yogyakarta: Mandar Maju. h. 1
[2] Rahmad, Hasanuddin, 2003, Contrac Drafting –Seri Keterampilan Merancang Bisnis, Bandung: PT. citra Aditya Bakti, h. 6
[3] Stario, J., 1993, Hukum Perikatan- Perikatan Pada Umumnya-, Bandung: Alumni, h. 42. Sedangkan Ahmad Mustafa Az Zarqo sebagaimana dikutip dari Hasanuddin Rahmad mengatakan bahwa sumber- sumber perikatan dalam islam terdiri dari lima hal yang disebut sebagai mashadir al iltizam, yaitu; akad, kehendak sepihak, perbuatan merugikan, perbuatan bermanfaat, dan syara’. Ibid…Rahmad, Hasanuddin. Contrac drafting…
[4] Syahrani, Ridwan, 1992, Seluk- Beluk dan Asas- Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni,. h.256. Sedangkan menurut bahasa perjanjian berasal dari bahasa arab yang berarti arribtu (ikatan), aqdatun (akad) dan al ‘ahdu (janji). Lihat…Hendi Suhendi dalam Suhendi, Hendi, 2005, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Press, h. 44.
[5] Salim, HS., 2003, Hukum Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, h. 25- 27. Sebenarnya banyak sekali definisi- definisi perjanjian yang tertuang dalam berbagai buku fikih muamalah seperti definisi yang disampaikan oleh Prof. Sri Sadewi Masychoen Sofwan, Prof Dr. Wirdjono Prodjodikoro dan KRMT Tirtodiningran. Namun, kesemua definisi tersebut berakhir pada kalimat bahwa perjajian adalah sebagai perbuatan hukum sebagai pengikat diri terhadap seseorang atau lebih. Lihat. Syamsuddin Melila, A. Qirom, 1985, Pokok- Pokok Hukum Perjajian Serta Perkembanganya, Yogyakarta: Liberty, h. 7-8
[6] Musa, Yusuf, 1956, Al Fiqh Al Islami, Beirut: Dar Al Kutub Al Hadistah., h. 320.
[7] Salim HS, SH., dalam bukunya mengkritik isi pasal tersebut Karena dinilai tidak spesifik dalam mengartikan kata perbuatan/ peristiwa. Menurutnya seharusnya kata perbuatan tersebut ditambah menjadi perbuatan hukum. Lihat Ibid…Salim, HS., 2003, h. 27.
[8]Lihat...Syamsul Anwar, H. 47. Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa akad dapat bermakna simpulan, perikatan, perjanjian, pemufakatan (ittifaq). Namun, menurut saya tidaklah heran jika demikian karena layaknya sebuah ensiklopedi maka pengertian yang diberikan kebanyakan dalam format yang standard. Lihat..Penyusun, 1993, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoev..kata ”Akad”
[9]Lihat.. Syamsul Anwar, h. 68
[10] Gemala, Dewi, Dkk., 2005, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, h. 3. Lihat pula Assiddiqy, Hasbie, 1992, Pengantar Fikih Muamalah, Yogyakarta: Bulan Bintang, h.39
[11] Lihat. Al kaatib, Al Munjiid Fil Lughoh Wal A’lam, Beirut: Maktabatul Syarqiyyah. 1986.
[12] Basjir, Ahmad Azhar, 1988, Asas- Asas Hukum Muamalah, Yogyakarta: Perputakaan FH-UII. P. 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar