Muslimspot.com

Selasa, 03 Mei 2011

Konsep Ijtihad Hukum Islam di Indonesia

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
1. Hukum Islam dan Nilai- Nilai KeIndonesiaan
Beragam fakta historis menunjukkan betapa Islam memi­liki peran penting membentuk struktur budaya, sosial dan politik di Nusantara. Melalui corak kesufian yang dikem­bangkan para Wali Songo misalnya, Islam berhasil membentuk corak keberagamaan masyarakat sekaligus dianggap salah satu faktor yang menentukan kesuksesan penyebaran Islam di Nusantara. Gerakan kultural keagamaan yang mereka lakukan itu juga memberi kontribusi penting bagi perkembangan pesantren dan madrasah, pusat pengajaran dan pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, yang jumlahnya saat ini mencapai lebih dari 50 ribu buah.[1] Di era kerajaan Demak, penguasa telah menjadikan syariat Islam dijadikan dasar pengelolaan kerajaan. Islam hadir sebagai agama resmi bagi kerajaan yang berdiri sejak tahun 1478 ini. Salah satu jejak peninggalan akulturasi kebudayaannya adalah Masjid Agung Demak yang didirikan Walisongo.
Di masa-masa itu, Islam memengaruhi sekaligus terpengaruh struktur sosial-politik yang ada. Sebagai sesuatu yang datang dari luar, Islam mampu menerima berbagai unsur lokalitas yang sudah ada sebelumnya. Tidak hanya Islam, Hindu dan Budha seperti yang berkembang di era Majapahit juga mengalami proses yang kurang lebih sama: menerima unsur lokalitas.[2]
Meski begitu harus pula diakui, corak Islam yang hadir di Indonesia tidak homogen. Dalam beberapa kasus, Islam berhadapan dengan tradisi lokal yang dianut masyarakat. Di Sumatera Barat misalnya, upaya menjadikan Islam sebagai hukum negara mendapat penolakan serius dari masyarakat yang lebih memihak pada hukum adat. Karena tidak ada kekuasaan dominan kala itu, akhirnya konflik tidak tehindarkan. Perang Paderi pun meledak selama kurang lebih 16 tahun (1821-1837).[3]



Pola yang lain, seperti dikutip Abdurrahman Wahid dari pembagian Taufiq Abdullah tentang model pengembangan Islam di Nusantara, adalah model kerajaan Goa. Pola itu menunjukkan proses penyerapan unsur dan ajaran Islam oleh beberapa kerajaan yang telah memiliki legitimasi keagamaan pra-Islam. Biasanya ini terjadi melalui proses perkawinan dan aliansi-aliansi ekonomi dengan keluarga kerajaan yang keduanya bisa berjalan seiring.[4]
Kemudian dari pada itu, sebelum zaman penjajahan Belanda di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat yang tumbuh berkembang di samping kebiasaan dan adat istiadat penduduk. Sedangkan pada perkembangan selanjutnya, hukum Islam diakui sebagai salah satu sub sistem yang membentuk dan mempengaruhi sistem hukum Nasional disamping sistem Hukum Adat (adat recht) dan sistem hukum Barat.[5] Oleh karena itu hukum Islam memiliki peran yang cukup signifikan bagi pengembangan dan pembangunan Hukum Nasional.
Dalam hubungannya dengan hal tersebut di atas, Muhsin menyebutkan bahwa dari tiga sub sistem hukum Nasional yaitu sistem hukum Adat, sistem hukum Barat dan sistem hukum Islam, maka menurutnya, sistem hukum Islam-lah yang memiliki kesempatan yang sangat besar dalam mewarnai dan mempengaruhi pembentukan hukum Nasional. Hal ini disebabkan sistem hukum Islam merupakan sistem hukum yang holistik dan lengkap mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.[6]
Disamping itu, secara historis dan sosiologis, bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari hukum Islam  karena umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam. Sementara itu hukum Barat sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sedangkan sistem Hukum Adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan Hukum Nasional.[7]
Namun demikian, hukum Islam di Indonesia pada awal mulanya tidak mendapatkan sambutan yang hangat dari bangsa Indonesia. Menurut Hasbi Ash Shiddieqy dalam Yusdani, faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah karena ada bagian-bagian fiqih (sumber hukum Islam) yang ditetapkan berdasarkan pranata sosial Timur Tengah yang tidak sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang telah melembaga dalam hukum adat. Bagian-bagian fiqih yang seperti ini, lanjut Hasbi, tentunya terasa asing bagi mereka, akan tetapi dipaksakan juga berlaku atas dasar taqlid.[8] Untuk itu, agar fiqih mendapat sambutan hangat, dan memasyarakat dalam kalangan bangsa Indonesia, maka dalam mengkaji sumber dan mengembangkan fiqih para ulama Indonesia harus mencari pendapat yang lebih sesuai dengan watak dan tabiat bangsa Indonesia dan cocok dengan alam pikiran masa kini. [9]
Pada sisi yang berbeda, E. Zainal Abidin,[10] mengungkapkan bahwa betapa ajaran Islam telah menyatu di dalam kehidupan masyarakat dapat dicontohkan masyarakat Minangkabau. Adat Minangkabau bak tali berpilin tiga yaitu antara adat, syara’, dan undang. Untuk membuktikan hal ini, dapat dilihat dari pepatah yang terkemuka: “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengata, adat memakai, syara’ bertelanjang, adat bersamping , adat menurun, syara’ mendaki.”
Kemudian dari pada itu, Zainal menegaskan bahwa pada masa itu di tanah Minang (Padang, peny.), syara’ tidak lain adalah syari’at Islam, dan Islam mengisi adat-istiadat dengan keagamaan, dengan iman dan Islam sehingga Hamka berkesimpulan: “Minang itu ialah Islam” . Adapun yang dimaksud dengan Undang adalah Undangan Duapuluh. Rapat nagari memutus hukum atas orang yang bersalah melanggar adat istiadat dengan undang-undang yang meliputi: “rebut- rampas,curi- maling, siar-bakar, dago-dagi, upas-racun, samun-sakal, hela-hunjun dan tipu-tepok”. Hal inilah yang menurutnya merupakan bukti betapa eratnya sistem nilai-nilai keIslaman berhubungan erat dengan sistem adat-istiadat bangsa Indonesia.
Terlepas dari hal di atas, dalam pandangan Yusdani, jika kerangka dan perspektif tersebut (hukum  Islam, peny.) diproyeksikan untuk masyarakat Indonesia, adalah tidak salah, kalau tidak malah merupakan keharusan kaum muslim Indonesia untuk mengembangkan fiqih yang pranata sosial khas Indonesia dan dapat menampung seluruh kemaslahatan serta dapat menjadi pelopor utama bagi pembangunan hukum nasional di Indonesia.[11]
2.      Konsep Ijtihad Pembaruan Hukum Islam di Indonesia
Menurut Yusdani,[12] hukum Islam secara konseptual dipersepsi sebagai suatu hukum yang berkarakter universal, dinamis, elastis, fleksibel, dan beradaptasi, berinteraksi serta mampu menampung berbagai bentuk perkembangan dimana dan kapanpun. Penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam tataran empirik historis telah melahirkan otak-otak besar dan karya-karya monumental dalam bidang hukum Islam sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakatnya dan tuntunan sosio-kultural yang mengitarinya.
Sifat dinamis sebagai salah satu karakteristik hukum Islam mengindikasikan kemampuan hukum Islam dalam mengakomodir, merespon dan menjawab setiap persoalan baru yang tidak terdapat hukumnya dalam sumber utama hukum Islam sebagai konsekwensi logis dari perubahan dan kemajuan sosial yang tak mungkin dielakkan. Hukum Islam elastis dan mampu mengakomodir perubahan-perubahan kondisi sosial terutama dalam bidang mu’amalah. [13]Hukum Islam telah menyiapkan pranata Ijtihad dengan berbagai macam  metodenya sebagai sebuah instrumen penemuan hukum/rechtsvinding dalam hukum Islam. Oleh karena itu dengan adanya pranata Ijtihad ini, hukum Islam diyakini tidak akan mengalami apa yang dikenal dengan  istilah kekosongan hukum (rechtvacuum).[14]
Menurut Hasbi Ash Shiddieqy dalam Yusdani, produk dari persentuhan antara prinsip-prinsip universal hukum Islam dangan tuntutan pranata sosial dan realitas berbagai wilayah Islam, kemudian muncullah fiqh Hijaz- fiqih yang terbentuk atas dasar adat- istiadat yang berlaku di Hijaz, fiqih Mesir- fiqih yang berdasar sosio-kultural Mesir. Atau fiqih Hindi- fiqih yang bersumber pada ‘urf yang berlaku di India. Fiqih Iraq- fiqih yang bersumber pada kebiasaan masyarakat Irak.[15]
Dalam konteks Indonesia, permasalahan pengembangan hukum Islam tidak berbeda dengan permasalah yang timbul di dunia Islam lainnya, khususnya permasalahan fiqih di negara-negara yang disebutkan di atas. Persoalan-persoalan hukum dalam berbagai aspeknya yang dulunya tidak pernah terbayangkan muncul, pada era globalisasi muncul dan berkembang dengan cepat. Persoalan-persoalan dalam bidang mu’amalah Islam yang belakangan muncul misalnya zakat profesi, asuransi, praktek perbankan elektronik, pasar modal, bursa efek, reksadana, e-commerce dan lain-lain. Dalam  merespon masalah ini, masyarakat Indonesia mengadopsi fiqih luar yang dikenal oleh beberapa ahli sebagai fiqih import.[16]
Menarik untuk mengutip pernyataan C. S. T. Kansil terkait ciri-ciri utama hukum Islam di Indonesia:
Ciri-ciri utama hukum Islam di Indonesia adalah: pertama: hukum Islam berkembang dalam sebuah proses yang dalam dirinya sendiri memiliki presentasi kesejarahan, tetapi pada hakikatnya ia berkembang di luar perkembangan sejarah. Kedua, keterikatan hukum Islam kepada landasan penafsiran harfiyah bahasa Arab atas kehendak Tuhan, baik yang berbentuk Al-Qur’an dan hadis, serta pengertian bahasa menjadi ketentuan mutlak untuk memberikan nama kepada suatu perbuatan. Ciri utama yang ketiga, bahwa hukum Islam adalah ketiadaan otoritas tunggal yang mampu meratakan keputusan- keputusan hukumnya di masyarakat. Walaupun telah ada pranata fatwa dengan segenap kelengkapannya, keputusan hukumnya bercorak pribadi sebagai pendapat perseorangan para jurist (fāqih) atau bentuk tunggal ari fuqohā’.[17]
            Setelah diketahui ciri-ciri utama hukum Islam dia atas, maka dapatlah dilihat dengan jelas dimana letak hambatan-hambatan yang menyebabkan hukum Islam tidak dapat mengambil peranan positif dalam proses transformasi sosial dalam Islam khususnya di Indonesia. 
Dalam hubungannya dengan hal di atas, Noul J. Coulson dalam buku A History of Islamic Law, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Manan,[18] menyatakan bahwa terdapat empat corak terjadinya pembaruan hukum Islam negara- negara muslim, termasuk di Indonesia, yakni:
  1. Dikodifikasikannya hukum Islam menjadi hukum positif dalam negara tersebut yang dikenal dengan  doktrin siyāsi;
  2. Tidak terikatnya umat Islam  pada  hanya satu  madzhab saja, yang dikenal dengan takhayyūr dan menyeleksi pendapat yang paling baik dan dominan dalam masyarakat;
  3. Perkembangan hukum dalam mengantisifasi perkembangan peristiwa hukum yang baru timbul (doktrin tatbīq);
  4. Perubahan hukum yang baru timbul (doktrin ijtihad atau neo-ijtihad).
Konsep pembaruan hukum Islam yang dikemukakan oleh Noul J. Coulson di atas, nampak sejalan dengan konsep pembaruan hukum Islam yang dilaksanakan oleh kalangan modernis di Indonesia. Kaum modernis berusaha dengan sungguh- sungguh untuk melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah keIslaman yang dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman yaitu dalam bentuk perundang-undangan, fatwa atau dalam bentuk penelitian.
Menurut Nourouzzaman, orang pertama yang mengeluarkan gagasan agar fiqih yang diterapkan di Indonesia harus berkepribadian Indonesia, adalah Hasbi Ash-Shiddieqy.[19] Dalam pandangan Hasbi, dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia perlu dilaksanakan metode talfīq dan secara selektif memilih pendapat ulama yang lebih sesuai dengan kondisi negara Indonesia. Disamping itu, dia melanjutkan, perlu pula digalakkan metode komparasi, yaitu metode membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain dari seluruh aliran hukum yang ada atau pernah ada, dan memilih yang lebih baik dan lebih dekat dengan kebenaran serta didukung oleh dalil yang kuat.  Gagasan Hasbi Ash-Shidieqy di atas mendapat sambutan positif dari berbagai pihak para pembaru hukum Islam di Indonesia, baik secara perorangan maupun secara organisasi. [20]
MUI (Majlis Ulama Indonesia), merupakan lembaga keagamaan nasional yang mengeluarkan fatwa-fatwa hukum Islam. Pedoman fatwa MUI ditetapkan dalam surat keputusan MUI nomor U-596/MUI/X/1997. Dalam surat ini  terdapat tiga bagian proses dalam  menentukan fatwa, yaitu dasar umum penetapan fatwa, prosedur fatwa, teknik serta kewenangan organiasi dalam menetapkan fatwa. Dasar umum penetapan fatwa didasarkan pada adillāt al-ahkām (dalil-dalil hukum) yang paling kuat dan membwa kemaslahatan bagi umat Islam. Selain itu dasar fatwa adalah Al-Qur’an, Hadis, ijmā’, qiyās, dan dalil-dalil hukum lainnya.[21] Sedangkan prosedur penetapan fatwa dilakukan dengan tahapan dan langkah-langkah yang telah ditetapkan. Sedangkan kewenangan MUI adalah memberi fatwa tentang masalah yang bersifat umum yang menyangkut umat Islam secara nasional dan masalah agama Islam di daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain.[22]
Di samping MUI, kedudukan organisasi-organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga memiliki kontribusi dalam proses pembaruan hukum Islam di Indonesia. Adapun pola ijtihad yang dilakukan masing-masing oraganisasi tersebut dapat dikelompokkan pada dua kelompok: Pertama, kelompok yang merasa tidak perlu terikat secara menyeluruh kepada mazhab fiqih tertentu, seperti Muhammadiyah dan Persis; Kedua, kelompok yang merasa terikat dengan  mazhab, baik satu mazhab tertentu yaitu Safi’iyah seperti Al Wasliyah dan Perti, atau yang terikat dengan salah satu mazhab yang empat seperti Nahdlatul Ulama.[23]
Para ulama yang tergabung di kalangan organisasi Muhammadiyah, meskipun pada mulanya terlihat beramal menurut pola mazhab Syafi’i, mengkaji kembali permasalahan fiqih dan membahasnya berdasarkan seluruh paham fiqih yang ada. mereka menilai dalil-dalil yang digunakan dalam menghasilkan paham yang berbeda itu, kemudian mengambil satu paham yang mereka anggap dalilnya lebih kuat. Pembahasan ilmiyah untuk mengkaji ulang dalil-dalil yang ada itu dilakukan dalam suatu forum yang disebut Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MT-PPI) Muhammadiyah. Menurut Abdul Manan,[24] Hasil dari forum Muhammadiyah itu kadang kala berada di luar paham Syafi’iyah yang banyak diikuti umat Islam Indonesia dan kadang kala diluar lingkup mazhab yang empat.
Di kalangan Nahdlatul Ulama, fatwa-fatwa agama dilaksanakan dengan metode ijtihad bahtsul masā’il Nahdlatul Ulama sebagaimana ditetapkan dalam musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung pada tahun 1992. Secara garis besar metode pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh NU dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian ketentuan umum yang berisi tentang al-kutūb al-mu’tabarah (kitab standar) dan bagian tentang sistem pengambilan keputusan hukum serta petuntujk pelaksanaan.[25]
Sebagaimana terdapat dalam Anggaran Dasar-nya, kalangan NU menyatakan untuk mengikuti salah satu mazhab yang empat yaitu mazhab Syafi’iyah; sedangkan yang menjadi rujukannya adalah qaul imam mazhab atau ashāb-nya yang telah tertuang dalam al-kutūb al-mu’tabarah. Pembahasan ilmiyah untuk mengkaji ulang dalil-dalil yang ada itu dilakukan dalam suatu forum yang disebut Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) Nahdlatul Ulama. Pembahasan dalam majlis saat menghadapi masalah berkisar pada mencari jawaban dalam qaul/wajah yang berkembang di kalangan mazhab Syaf’i. Dalam memilih pendapat yang rājih itu ditentukan suatu urut kekuatan sebagai berikut:[26]
1.      Pendapat yang disepakati oleh Syaikhani yaitu an-Nawawi dan al-Rofi’i.
2.      Pendapat yang dipegang oleh an-Nawawi saja.
3.      Pendapat yang dipegang oleh al-Rofi’i saja.
4.      Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.
5.      Pendapat ulama yang terpandai.
Ketika tidak ditemukan jawaban hukum dalam salah satu qaul/wajah yang ada dalam al-kutūb al-mu’tabarah itu, ulama kelompok ini menghubungkannya pada salah satu qaul/wajah yang telah ada dan tidak langsung pasa nash syara’.



[1]M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 135
[2]Abdurrahman Wahid, “Mengurai Hubungan Agama dan Negara”, dalam Kacung Marijan dan Ma’mun Murod Al-Brebesy (ed), (Jakarta: Grasindo, 1999), hal. 103-104.
[3]Ibid. hal 107
[4]Ibid. hal 108
[5]Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 66-67
[6] Muchsin, “Kontribusi Hukum Islam terhadap Perkembangan Hukum Nasional”, Mimbar Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari 2009, PPHIMM, hal. 42
[7]Ibid.
[8]Yusdani, “Pengembangan Sumber Hukum Islam Dalam Perspektif Sosio-Kultural Bangsa”, Jurnal Al Mawarid Edisi Keempat, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah- UII,1995), hal.26
[9]Ibid.
[10]H.E. Zainal Abidin, “Mengangkat Hukum Kebiasaan dalam Islam Sebagai Salah Satu Sumber Hukum dalam Pembinaan Hukum Nasional”, Jurnal Al- Mawarid Edisi Keempat, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah- UII,1995), hal. 4
[11]Yusdani, “Pengembangan., hal.26
[12]Ibid. hal. 25
[13]Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 95-103
[14]Ibid. hal. 104
[15]Yusdani, “Pengembangan., hal. 25
[16]T.M. Hasbi Ash Assiddiqiey, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman: Yogyakarta: IAIN, 1961), hal. 40-41
[17] C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”, Cet. VIII, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 9
[18]Abdul Manan, Reformasi.,  hal. 233
[19]Nourouzzaman ash-Shiddieqy, Fiqih Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 241
[20]Ibid.
[21]Abdul Manan, Reformasi., hal. 195
[22]Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hal. 170-181)
[23]Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia- cet 1, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 80
[24]Ibid. hal. 196
[25]Abdul Manan, Reformasi., hal. 196
[26]Ibid. hal. 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar