Muslimspot.com

Selasa, 03 Mei 2011

Maqāshid al-Syarī’ah: Sumber dan Tujuan Hukum Islam

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.

Dalam paradigma ushul fiqih klasik selalu dinyatakan bahwa sumber hukum paling pokok (mashādir ashliyah asāsiyah) dalam Islam secara hirearkis hanya ada empat, yaitu Al-Qur’an, hadis, ijmā’ (konsensus) dan qiyās (analogi). Semantara mashlahāt mursalah, istihsān, syar’u man qoblana (syari’at umat atau nabi-nabi terdahulu), ‘urf (tradisi, kebiasaan), dan lain-lain merupakan deretan sumber pada level sekunder, atau disebut dengan mashādir tabi’iyah.[1]
Terlepas dari itu, tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi sejumlah paradoks di dalam Al-Qur’an, yang diklaim sebagai poros dari seluruh dalil yang lain. Paradoks bukan hanya antara satu lafaz dan lafaz yang lain, melainkan juga antara satu gagasan dengan gagasan yang lain dalam Al-Qur’an. Untuk itu, harus diakui bahwa penyelesaian terhadap paradoks lafziyah sudah banyak dilakukan oleh usul fiqih klasik. Bahwa, ketika terjadi ta’arrudh antara satu lafaz dengan lafaz yang lain maka yang mesti dilihat oleh mujtahid adalah model, karakter dari lafaz yang membentuk ayat-ayat itu. Melalui penanganan lafziyah inilah, menurut ushul fiqih klasik, maqāshid al-syarī’ah dapat ditemukan. Penyelesaian metodologis ala usul fiqih klasik ini, menurut Adnan Mahmud, Sahjad M. Aksan dan Adib Abdushomad, merupakan temuan yang canggih dan luar biasa detail.[2]




Khazanah ushul fiqih telah merumuskan bahwa maqāshid al-syarī’ah itu adalah keadilan (al-‘adl), kemashlahatan (al-maslahah), kesetaraan al-musyāwah, hikmah-kebijaksanaan (al-hikmah), dan cinta kasih (al-rahmah), dan kemudian belakangan ditambahkan dengan pluralisme (al-ta’addudiyah), hak azazi manusia (huqūq al-insān), dan kesetaraan gender. Sedangkan menurut Al Ghazali, maqāshid al-syarī’ah adalah apa yang dianggapnya sebagai lima jaminan dasar dalam Islam, yaitu hak hidup, hak beragama, hak untuk berfikir, hak atas harta benda, hak untuk mempertahankan nama baik, dan hak untuk memiliki gris keturunan. Menurutnya, pada komitmen untuk melindungi hak- hak kemanusiaan inilah, seluruh ketentuan hukum dalam isalam diacukan. Dengan kata lain, maqāshid al-syarī’ah inilah yang merupakan sumber penetapan hukum dalam Islam. [3]
Menurut Imam al-Syatibi terdapat tiga aspek kemashlahatan yaitu daruriyyāt, hajjiyāt dan tahisiniyāt.[4] Aspek pertama adalah kemashahatan yang sangat dibutuhkan oleh manusia terutama dalam kehidupan beragama, yang meliputi lima bagian seperti yang telah dikemukakan oleh Imam Al Ghazali di atas. Kedua, aspek hajjiyat sebagaimana telah dirumuskan oleh para ulama ushul fiqih adalah maslahat yang diperlukan oleh manusia dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Namun, menurut al-Syatibi kesulitan–kesulitan yang dimaksud dalam mahlahat hajjiyāt tidak sampai pada tingkat membahayakan kemashlahatan umum. Jika sampai pada tahap membahayakan kemashlahatan umum, maka menurut Amir Mu’allim,[5] untuk mengatasinya menjadi al-maslahāt al-darūriyat. Sedangkan aspek yang ketiga yaitu maslahat tahisiniyāt adalah maslahat yang dibutuhkan oleh manusia sebagai pelengkap dan penyempurna bagi kehidupan manusia, yaitu kemashlahatan pada perbaikan kebiasaan (adat) dan prilaku terpuji, sehingga dapat menghindarkan manusia dari hal- hal yang merusak terutama asal.
Dalam hubungannya dengan posisi maslahat sebagai acuan penetapan hukum dalam isam di atas, dalam tesisnya tentang kemashlahatan manusia, Najm al-Din at-Tufi mengungkapkan bahwa perlindungan terhadap kebaikan atau kemaslahatan manusia dalam masalah-masalah hukum, sosial, dan politik, harus mempertimbangkan prioritas teratas atau melampaui semua bentuk teks-teks religius (yang dipandang sebagai hukum atau semi hukum oleh mazhab-mazhab hukum tradisional, baik di dalam Al-Qur’an maupun tradisi-tradisi yang diduga kuat berasal dari Nabi) dan juga di atas semua sumber hukum tradisional lainnya yang dipandang sebagai hukum oleh mereka, termasuk konsensus-konsensus hukum (ijma’) dan analogi (qiyās).[6]
Terlepas dari pandangan “extrem” at-Tufi di atas, jauh sebelumnya, Imam as- Syatibi secara tegas mengatakan bahwa  seorang mujtahid tidak boleh menerapkan hukum yang telah digalinya dari Al-Quran atau Sunah sebagaimana adanya. Ia berkewajiban memberikan pertimbangan berdasarkan situasi dan kondisi yang mengitari objek hukum. Apabila hukum yang dihasilkan dari ijtihadnya itu tidak cocok diterapkan pada objek hukum karena penerapan hukum itu membawa kemudaratan, maka mujtahid itu harus mencarikan hukum lain yang lebih sesuai melalui pembacaan teks yang lebih mendalam. Dengan demikian, menurutnya kemudaratan bisa dihilangkan dan kemaslahatan dapat tercapai. [7]
Imam al-Syatibi menawarkan tiga corak dalam membaca teks yaitu qirā’ah salāfiyyah, qirā’ah ta’wiliyyah, dan  qirā’ah maqāshidiyyah. Sementara dalam wilayah al-wāqi’ ada beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam memahami fenomena-fenomena sosial, politik dan sebagainya misalnya sosiologi, antropologi, dan seterusnya.
Dengan demikian, idealnya adalah ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu yang ada pada wilayah al-waqi’. Jika tidak maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak aplicable. Oleh karenanya ijtihad harus selalu digelorakan dan pintu ijtihad tidak pernah ditutup.[8]
Teori inilah yang dikenal dengan sebutan nazariyyah i’tibār al-mā’al. Al-Syatibi juga secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut.[9]



[1]Adnan Mahmud dkk., (ed.), Pemikiran., hal. 139
[2] Ibid. hal. 140
[3]Adnan Mahmud dkk., (ed.), Pemikiran.,.142. Dalam buku yang sama Adnan Mahmud mengemukakan tiga kaidah ushul fiqih alternatif dalam memperkuat argumen bahwa maqashid al-syariah adalah sumber segala sumber hukum Islam, yaitu: al-‘ibrah bi al-maqāshid la bi al-lafdz (bahwa yang mesti jadi perhatian dalam mengistinbathkan suatu hukum dari Al-Qur’an dan sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya); naskh al-nushūsh bi al-maslahah (syari’at –hukum Islam- tidak memiliki tujuan lain selain mewujudkan kemahlahatan manusia); tanqīh l-nushūsh bi al-‘aql al-mujtama’ (akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengemandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama). Ibid, hal. 143, 146, dan 150
[4]Al Syatibi, Almuwāfaqāt fi Ushūl al-Ahkām, Juz 2, (Beirut: Dar al Fikr, 1341 H.), hal. 3
[5]Amir Mu’allim, “Maqashid Al-Syari’at, Fungsi dan Kedudukannya dalam Penetapan Hukum”, dalam Jurnal Al- Mawarid Edisi VI, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah- UII, 1997), hal. 2
[6]Abdalah M. Al-Husayn al- Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam, Pemikiran Hukum Najm Ad-Din At-Tufi.  Alih bahasa oleh Abdul Basir, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004),  hal. xix
[7]Robitul Firdaus,  “Menggagas., hal.16
[8]Mahsun Mahfudz, “Rekonstruksi Mazhab Manhaji Nahdlatul Ulama menuju Ijtihad Saintifik Modern”, Makalah disampaikan dalam Forum Diskusi Ilmiah Nasional dalam Annual Conference tanggal 26-30 Nopember 2006 di UIN Bandung, hal.1
[9]Robitul Firdaus, “Menggagas., hal. 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar