Muslimspot.com

Selasa, 03 Mei 2011

Pergeseran Paradigmatik Metodologi Hukum Islam

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Dari sekian banyak pola pemikiran Islam yang bercorak pembaharuan tentu juga berimplikasi pada aspek hukum Islam baik secara metodologis maupun wacana. Oleh karena itu, metode pembaharuan hukum Islam bukanlah sebuah metode yang terlepas dari pembaharuan pemikiran. Hal ini perlu pelacakan yang cermat karena tidak semua tokoh mempunyai perhatian yang khusus terhadap hukum Islam. Terlebih lagi jika di tarik ke dalam wilayah hukum keluarga muslim khususnya, sehingga dibutuhkan upaya penyesuaian bahkan modifikasi terhadap teori-teori pemikiran yang ditawarkan para tokoh yang berkaitan dengan hukum Islam. Mensitir kerangka teorinya Wael B. Hallaq dalam sejarah perkembanagan metode fiqh (ushūl fiqh), Amin Abdullah menguraikan paradigma metodik usul fiqih ke dalam pradigma fiqh literalistik, utilitarianistik dan liberalistik-penomenologik.
Dinamakan paradigma literalistik karena dominannya pembahasan tentang teks. “Al-Risālah” karya al-Syafi’i dianggap buku rintisan pertama tentang usul fiqih, penulisannya bercorak teologis deduktif yang kemudian diikuti oleh para ahli usul mazhab Mutakallimun (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah). Setelah lebih kurang lima abad (dari abad ke-2H-7H) baru mengalami perbaikan dengan munculnya al-Syatibi (w.1388 M) yang menambahkan teori maqāshid syarī’ah yang mengacu pada maksud Allah yang paling mendasar sebagai pembuat hukum. Enam abad kemudian sumbangan al-Syatibi direvitalisasikan oleh para pembaharu usul fiqih di dunia modern, seperti Muhammad Abduh (w. 1905), Rasyid Ridho (w.1935), Abdul Wahab Khallaf (w.1956), Allal al-Fasi (w.1973) dan Hasan Turabi. Karena tidak menawarkan teori baru kecuali merevitalisasi prinsip maslahah yang ditawarkan al-Syatibi melalui teori maqāsid-nya itu, Wael B. Hallaq mengkategorikan para pembaharu di bidang ushul dalam kelompok ini sebagai para pembaharu penganut utilitarianisme.
Sementara itu pertanyaan tentang bagaimanakah teks suci dapat dipahami dan kemudian dijalankan dalam konteks dunia modern yang sudah barang tentu tidak lagi sama dengan konteks zaman Nabi. Pernyataan semacam itu menurut sebagian pakar seperti Muhammad Iqbal, Mahmud Muhammad Taha, Abdullah Ahmed An-Naim, Muhammad Said Ashmawi, Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur. Sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan berpijak pada prinsip maslahat klasik diatas. Mereka beranggapan prinsip maslahah tidak lagi memadai untuk membuat hukum Islam tetap relevan di dunia modern. Weil B. Hallaq menamakan kelompok ini dengan aliran liberalisme keagamaan karena cenderung berdiri pada paradigma yang terlepas dari pada paradigma klasik.[1]



[1]Lebih lanjut dia berkomentar kelompok ini lebih menjanjikan dan lebih persuasif. Kelompok ini dalam rangka membangun metodologinya yang ingin menghubungkan antara teks suci dan realitas modern lebih berpijak pada upaya melewati makna eksplisit teks untuk menangkap  jiwa dan maksud luas dari teks. Lihat, Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul  Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul  Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002), hal. 118-123.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar