Muslimspot.com

Selasa, 03 Mei 2011

Melacak Metodologi Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid terhadap Epistemologi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Tidak seperti para pembaru hukum Islam lainnya, metodologi ijtihad  hukum Islam Gus Dur nyaris tidak dapat ditemukan dalam buku yang secara spesifik membahasnya. Bahkan hal ini juga terjadi pada para intelektual Islam lainnya yang tergolong kaum modernis awal yaitu antara 1970-an sampai 1980-an.[1] Menurut Marzuki Wahid, anggapan seperti ini tidak dapat disalahkan, sebab perhatian mereka (intelektual Indonesia, peny.) sendiri yang memaksa demikian untuk menyikapi realitas sosial, politik, dan ekonomi ketika Orde Baru secara sistematis dan terus- menerus malakukan intervensi secara berlebihan terhadap umat Islam dan bentuk -bentuk pengamalan keagamaannya. Oleh karena itu, menurut Wahid, aspek metodologis dan substansi ajaran Islam atau sumber-sumber pengambilannya yang selama ini disakralkan tidak terjamah oleh pembaruan mereka. Kalaupun masuk, lanjut Wahid, mereka berhenti pada pada kritik bangunan (sejarah) pemikiran Islam masa lampau tanpa memberikan tawaran baru yang berarti. Isu-isu yang menjadi label pemikiran mereka tidak dilengkapi dengan kerangka metodologi dan epistemologi yang kucup: alias belum tuntas. Mareka, sejauh ini, hanya mengadvokasi betapa pentingnya kontekstualisasi, reaktualisasi, reinterpretasi, dan pribumisasi maupun tema sejenis (sebagai pendekatan ijtihad, peny.), tanpa memberikan bukti contoh (rekonstruksi) pemikiran Islam baru seperti apa yang tepat untuk zaman ini.[2] Namun demikian, pendekatan ijtihad oleh sarjana-sarjana Indonesia ini dianggap lebih mendalam, karena mereka mengawinkan keserjanaan Islam klasik dengan metode-metode analitik modern Barat.[3]
Namun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak dapat dilacak secara keseluruhan. Sebab, dalam kaitannya dengan bangunan metodologi ijtihad hukum Islam Gus Dur, menurut penyusun, banyak sekali tertuang dalam berbagai artikel ataupun tulisan-tulisan dalam bentuk lain. Dalam melaksanakan pembaruan hukum Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman, akurat dan faktual, pada hasil pelacakan terhadap ijtihad Gus Dur, dia menggunakan dua metode ijtihad, yaitu sebagai berikut:

1. Metode Istislahi
Dari segi metodologi pembaruan hukum Islam, Menurut John L. Esposito, seringkali pembaharuan dilakukan melalui metode Istislāh dan Adat atau ‘Urf. Keduanya dipandang paling sesuai, karena memberikan kesempatan yang luas untuk berijtihad dan dengan jelas menekankan pada tujuan hukum Islam itu sendiri, yaitu keadilan dan kemaslahatan.[4]
Istislāh dapat disebut juga dengan al-maslahah al-mursalah yang berarti kemaslahatan yang terlepas. Said Ramadhan al-Buthi berpandangan bahwa al-maslahah al-mursalah adalah setiap manfaat yang termasuk dalam maqāsid al-syari’, baik ada nash yang mengakui maupun menolaknya.[5] Dan Abu Zahrah mendefinisikan al-maslahah al-mursalah dengan kemaslahatan yang sejalan dengan maksud syari’, tetapi tidak ada nash secara khusus yang memerintahkan dan melarangnya.[6] Sementara al-Ghazali menyatakan bahwa al-maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak mudarat dalam rangka memelihara tujuan syara’ (al-kulliyāt al-khams).[7]
Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa istislāh merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan apa yang terdapat dalam nash, meskipun secara khusus nash tidak memerintahkan atau melarangnya. Atau dapat juga diartikan sebagai penetapan hukum suatu masalah yang semata-mata berdasarkan pertimbangan maslahat dan menolak mafsadat bagi kehidupan umat manusia. Dengan demikian, maka Ijtihad Istislāhi dapat didefinisikan dengan mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan hukum berbagai masalah baru yang didasarkan pada kemaslahatan yang tidak disebutkan secara tegas dalam nash.
Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi, ijtihad istislāhi merupakan istilah lain dari ijtihad kontemporer yang merupakan hasil gabungan dari ijtihad intiqā’i, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih sesuai dan lebih kuat; dan ijtihad insyā’i, yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, di mana permasalahan tersebut baik baru maupun lama belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Sehingga makna gabungan ijtihad intiqā’i dan ijtihad insyā’i adalah menyeleksi pendapat para ulama terdahulu yang dianggap sesuai dan lebih kuat, dengan memasukkan unsur-unsur ijtihad baru.[8]
Ada empat faktor yang menjadi tujuan dan pendorong bagi para fuqaha menggunakan metode istislāh dalam menetapkan hukum baru sesuai dengan perintah syara’ sehingga akan terwujud hasil yang terbaik dalam rangka memperbarui hukum-hukum sosial, sebagaimana disebutkan oleh al-Zarqa’,[9] Keempat faktor tersebut adalah :
a.       Jalb al-masālih (menarik maslahat), yaitu perkara-perkara yang diperlukan masyarakat dalam membangun kehidupan manusia di atas pondasi yang kokoh.
b.      Dar al-mafāsid (menolak mafsadat), yaitu perkara-perkara yang memadaratkan manusia baik secara individu maupun kelompok, baik berupa materi maupun moral.
c.       Sadd al-zarā’i (menutup jalan), yaitu menutup jalan yang dapat membawa kepada menyia-nyiakan perintah syara’ dan memanipulasinya, atau dapat membawa kepada larangan syara’ meskipun tanpa disengaja.
d.      Tagayyur al-azmān (perubahan zaman), yaitu kondisi manusia, akhlak-akhlak, dan tuntutan-tuntutan umum yang berbeda dari masa sebelumnya.
Pada dasarnya mayoritas ahli usul fiqih menerima metode maslahāt mursalāt atau istislāh. Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut:[10]
a.       Maslahat tersebut bersifat reasonable (masuk akal) dan relevan (munāsib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.
b.      Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan kesulitan (rad’u al-harāj), dengan cara menghilangkan masyaqqāt dan madharrāt.
c.       Maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyari’atkan hukum (maqāshid al-syarī’ah) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.
Sementara itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan sebagai penemuan hukum.[11]
1.      Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyāt. Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut.
2.      Kemaslahatan itu bersifat qath’i, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut benar-benar telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhān) semata-mata.
3.      Kemaslahatan itu bersifat kullī, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqāshid al-syarī’ah.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislāh itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibār. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijmā’ atau qiyās yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislāhi seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmā’, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara’ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al-Quran.[12]
Dalam hubungannya dengan legislasi Al-Qur’an, yang dalam metodologi Arab biasanya digunakan istilah tasyrī’ yaitu pernyataan Al-Qur’an yang bermuatan hukum. Dalam pandangan Gus Dur, meskipun Al-Qur’an mengandung beberapa pernyataan aturan hukum yang penting, tetapi menurutnya hal itu hanya seruan moral saja, bukan sebuah kitab dokumen hukum. Oleh karena itu, legislasi Al-Qur’an dapat diamati secara jelas menuju seruan moral tersebut, yaitu menuju terciptanya keadilan sosial bagi masyarakat.[13] Gus Dur berusaha menciptakan dan membuktikan pesannya itu dengan sejumlah legislasi dalam Al-Qur’an dalam bidang perkawinan, riba, zakat, hukum perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al-Qur’an dan Hadis,[14] dan beberapa bidang lainnya yang semua bertujuan untuk mengangkat derajat manusia menuju terwujudnya kondisi yang lebih baik dan menciptakan persamaan esensial derajat manusia sebagaimana merekat pada doktrin Aswaja (Ahlussunnah wal jamā’ah).[15]
Menurut pandangan KH. Abdurrahman Wahid, orientasi paham ke-Islaman sebenarnya dalah kepentingan orang kecil dalam hampir seluruh persoalan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan memahami secara mendalam kedudukan maslahah al-’āmmah yang berarti kesejahteraan umum dalam Islam. Wahid melanjutkan, hal tersebut seharusnya yang menjadi objek segala macam tindakan (hukum, peny.) yang diambil oleh seorang ulama atau pemirintah.
Dalam masalah fiqih, terkait hal di atas, Gus Dur memandang bahwa dalam fiqih selalu dikemukakan keharusan seorang pemimpin mementingkan kesejahteraan rakyat, sebagai tugas yang harus dilaksanakan.[16] Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam kaidah:
تصرّف الإمام على الرّعيّة منوط باالمصلحة
Tindakan Imam terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam Islam tujuan berkuasa bukanlah kekuasaan itu sendiri melainkan kemaslahatan (maslahah al’ammah).[17] Dengan demikian, menurutnya, tingginya kesejahteraan suatu bangsa menjadi sesuatu yang sangat esensial dalam Islam.[18]
Adapun yan tidak terkait langsung dengan kepentingan orang banyak dapat dilihat dalam adagium lain yaitu:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindarkan kesusahan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan”.
Menurut Gus Dur, hal tersebut mengandung pengetian bahwa menghindari hal-hal yang merusak umat lebih diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. Dengan demikian, menurut Gus Dur, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti dari pada mendatangkan kebaikan.[19] Sebab, lanjut Gus Dur, adagium inilah yang digunakan Gus Dur dalam menerima pencalonan dirinya oleh Dr. Amin Rais sebagai Presiden beberapa tahun yang silam. Sebab, keduanya meyakini bahwa bangsa ini pada saat itu belum dapat menerima seorang wanita (Megawati) sebagai Presiden, sehingga dikhawatirkan akan terjadi perang saudara.[20]
Metodologi pemikiran Gus Dur sebagaimana telah disebutkan di atas adalah identik dengan konsep pemikiran para ahli ushul fiqh yang terdapat dalam beberapa kitab metodologi hukum Islam, yakni konsep tujuan penetapan hukum (al-maqāshid al-syari’āt). Konsep ini tidak jauh berbeda dengan konsep pemikiran Gus Dur tentang keadilan (al-‘adālah al-ijtimā’iah).[21] Seluruh konsep-konsep metodologi Gus Dur dirumuskan dalam dua upaya metodis yang masing-masing yang masing- masing terdiri dari serangkaian kerja intelektual.
Upaya pertama pada dasarnya merupakan perjalanan dari tiga pendekatan pemahaman pada pada penafsiran Al-Qur’an, yakni pendekatan historis, pendekatan kontekstual, dan pendekatan sosiologi. Upaya pertama ini lebih dukhususkan terhadap ayat-ayat hukum dengan metode berfikir induktif, yakni berfikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju kepada moral sosial, yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya.
Di sini (pendekatan pertama) terdapat dua “perangkat lunak” untuk dapat menyimpulkan prinsip moral sosial, yaitu: pertama, perangkat ‘illat hukum (ratio logis) dinyatakan oleh Al-Qur’an secara eksplisit, yang dapat diketahui dengan cara menggeneralisasikan beberapa ungkapan spesifik. Kedua, perangkat sosio historis, berfungsi untuk menguatkan ‘illat hukum implisit untuk menetapkan arah tujuannya. Sedangkan upaya kedua merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum, nilai- nilai dan tujuan Al-Qur’an yang telah disistematikan melalui upaya tadi terhadap situasi dan atau kasus aktual yang terjadi sekarang.
2.   Pendekatan Sosio-Kultural
Interpretasi terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan al-Hadis), bagi wacana agama merupakan salah astu mekanisme -jika bukan yang terpenting- untuk melontarkan konsep-konsep dan pandangan-pandangannya. Sedangkan interpretasi yang sesungguhnya adalah yang menghasilkan makna teks, menuntut pengungkapan makna melalui analisis atas berbagai level konteks. Namun wacana agama biasanya cenderung mengabaikan keseluruhannya, demi memprotek pelacakan makna yang telah ditentukan sebelumnya.[22]
Dalam pandangan Gus Dur, ajaran Islam senantiasa berubah melalui perubahan zaman, dengan menggunakan cara tertentu. Di antara cara tertentu itu, adalah penafsiran ulang (re-interpretasi) oleh kaum  muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya diterima sebagai kebenaran tetap oleh mereka. “Kebenaran relatif” itu lalu berubah  dengan adanya penafsiran ulang itu.[23] 
Dalam pandangan Gus Dur, bahwa masih banyak penafsiran lain tentang hal tersebut di atas. Dia melanjutkan, di sinilah sangat terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmatu al-ummah). Menurutnya, kalau umat Islam berpegangan pada adagium ini, maka yang dilarang hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita. Sekarang, bila sebuah hukum agama sudah ada dalam sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits (qath’iyah al-tsubût), sementara keadaan membutuhkan penafsiran baru. Kemudian apakah yang harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita menggunakan sebuah kaidah hukum Islam (qa’idah al-fiqh), bahwa keadaan tertentu dapat memaksakan sebuah larangan untuk dilaksanakan (al-dharûratu tubîhu al-mahdhûrât).[24]
Namun demikian, menurut Gus Dur, interpetasi yang dilakukan pada ‘ulama kontemporer cenderung memiliki banyak kelemahan. Untuk memenuhi kelemahan yang terdapat metode interpretasi sebagaimana dijelaskan tersebut, Gus Dur menggagas suatu pendekatan yang disebut pendekatan sosio-kultural.[25]
Pendekatan ini menurut Gus Dur adalah sebagai alat pembantu dalam menunjukkan konteks sosial terkait penerapan suatu hukum, yaitu dengan menganalisis aspek-aspek lokal yang dapat ditampilkan dengan wajah yang ramah terhadap budaya lokal dan persoalan-persoalan keIndonesiaan, khususnya problema pluralitas agama dan kepercayaan, yaitu dengan cara menerapkan metode ushul fiqh dan al-qawā’id al-fiqhiyah dalam memahami teks dan konteks.[26] Dengan kata lain, Gus Dur menggunakan pendekatan sosio-kultural ini sebagai alat pembantu dalam menunjukkan konteks sosial terkait penerapan suatu hukum. Hal ini bertujuan untuk memberikan perspektif baru terhadap teks. Maksudnya, teks dipahami dari konteks dan sosio-kultural di mana ia menjadikan manusia sebagai subjek penafsiran keagamaan. Hal ini ditujukan untuk memperpendek jarak antara teks dan realitas.
Sangat terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) mengenai Keluarga Berencana (KB), yang bersifat rincian dan mengalami perubahan-perubahan. Adapun polemic yang muncul adalah terkait penafsiran  ulang atas ucapan Rasulullah Saw yang artinya: “Maka Aku (akan) membanggakan kalian (di hadapan) umat-umat (lain) pada hari kiamat (fainnî mubâhin bikum al-umam yauma al-qiyâmah)”.[27]
Dalam penafsiran lama, kaum  muslim mengartikan kebanggaan beliau itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga merekapun memperbanyak jumlah anak. Tafsiran  ulang yang baru,  yang didukung oleh kenyataan meluasnya program Keluarga Berencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri  ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: kebanggaan  akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri. Dengan  demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan tempat dan waktu (Shālihun li kulli zamânin wa makânin).[28] 
Gus Dur lebih lanjut menjelaskan bahwa persoalan KB sebelumnya sama sekali ditolak, padahal waktu itu ia adalah satu-satunya cara untuk membatasi peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah program ini sebagai campur tangan manusia dalam hak reproduksi manusia yang berada di tangan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Namun, kemudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan kelahiran (tanzīm an-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu. Dengan demikian, dipakailah cara-cara, alat-alat dan obat yang dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB, kondom dan sebagainya.[29] Penggunaan metode dan alat-alat tersebut sekarang ini, dilakukan karena ada penafsiran kembali ayat suci dalam upaya mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pembatasan kelahiran (birth control) ke perencanaan keluarga (family planning).
Contoh sederhana di atas, jelas menunjukkan bahwa menurut Gus Dur proses penafsiran ulang tersebut merupakan upaya yang sangat penting. Tanpa kehadirannya (re-interpretasi, peny.), Islam akan menjadi agama yang mengalami “kemacetan”. Hal itu menyalahi ketentuan agama itu sendiri yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tempat dan masa (al-Islâm yasluhu li kulli makânin wa zamânin).”



[1]Adnan Mahmud dkk, Pemikiran., hal. 69
[2]Marzuki Wahid, Marzuki Wahid, “Post- Tradisionalisme., hal. 69
[3]Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurkholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid 1968-1980, (Jakarta: Kerjasama Paramadina dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation, 1990), hal. 12
[4]Cipto Sembodo, “Problematika Pembaruan Hukum Islam”, dalam http://orientalismehukumIslam.blogspot.com/2010/09/problematika-pembaharuan-hukum-Islam.html. diakses pada 18 Februari 2011
[5]Said Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fi al-Syariah al-Islamiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1977), Cet. ke-3, hal. 330.
[6]Abu Zahrah, hal. 279
[7]Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustaashfa fi ‘Ilm al-Ushul, Jilid. I., (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), hal. 286
[8]Yusuf al-Qhardhawy, Ijtihad., hal. 150  dan 169
[9]Musthafa Ahmad al-Zarqa, Hukum dan Perubahan Sosial : Studi Komperatif Delapan Mazhab Fiqh, alih bahasa Ade Dede Rohayana, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), hal. 42
[10]Dalam karangan al-Syatibi, al-I’tisham, yang suting oleh Fathurrahman Djamil,  hal. 142
[11]Al-Ghazali, al-Mustasyfā min ‘Ilmi al-Ushūl, Jilid II, Sayyid al-Husein, Kairo, tt, hlm. 364 367
[12]Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi’ah., hal. 222
[13]Abdurrahman Wahid, “Konsep- Konsep Keadilan”, epilog dalam Nurchlish Madjid dkk, Islam Universal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 330-338
[14]M. Syafi’ Anwar, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita ... hal. xxiv
[15]Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme., hal. 32-33
[16] Abdurrahman Wahid, Islamku., hal. 21
[17] Ibid, hal. 176
[18] Ibid. hal.177
[19] Ibid. hal. 22
[20] Ibid.
[21]Abdurrahman Wahid, “Konsep.,
[22]Adnan Mahmud, dkk, Pemikiran., hal. ix
[23]Abdurrahman Wahid, Islamku., hal. 125
[24]Abdurrahman Wahid, Islamku., hal. 127
[25] M. Misbah, “Islam.,  hal. 4
[26]Ibid.
[27]Abdurrahman Wahid, Islamku., hal. 126
[28]Ibid. hal. 126
[29]Ibid. hal. 170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar