Muslimspot.com

Selasa, 03 Mei 2011

Seputar Polemik Produk Pemikiran Hukum Islam KH. Abdurrahman Wahid

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
A. Seputar Fatwa KH. Abdurrahman Wahid tentang Bumbu Penyedap Makanan Ajinomoto
Pada tahun 2001, masyarakat dibuat “heboh” akibat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mengharamkan Ajinomoto.[1] Sebab, berdasarkan penelitian MUI, bahan baku Ajinomoto ditengarai dicampur dengan lemak babi. Masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, langsung tersentak. Sebelum ini, sebenarnya Ajinomoto sudah mengantungi sertifikat ‘halal’ dari MUI. Namun itu hanya berlaku dua tahun, dan berakhir sejak Juni 2000. Setelah tanggal itu, pihak Ajinomoto tak melakukan pemeriksaan lagi ke MUI. Mereka malah mengubah bahan bakunya, yang ditengarai MUI mengandung ekstrak lemak babi.[2]
Dalam siaran pers yang dipublikasikan oleh Departemen Manajer PT. Ajinomoto Indonesia,  Tjokorda Bagus Sudarta, mengakui bahwa mereka menggunakan bactosoytone yang diekstraksi dari daging babi untuk menggantikan polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging sapi karena lebih ekonomis. Ekstraksi ini hanya medium dan tidak berhubungan dengan produk akhir. Sehingga tidak benar bahwa produk akhir MSG Ajinomoto mengandung unsur enzim babi yang dikenal sebagai “porcine”.[3]



Dalam siaran pers itu juga disebutkan, PT Ajinomoto Indonesia menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia. Tjokorda Bagus Sudarta mengatakan bahwa seluruh produk Ajinomoto harus ditarik dari peredaran dan stok baru hanya boleh dipasarkan setelah mendapat sertifikat halal yang baru dari MUI. Akibat kasus ini, PT Ajinomoto terpaksa harus memberi ganti-rugi pedagang dengan total nilai sebesar Rp 55 milyar.[4]
Dalam pandangannya mengenai polemik seputar fatwa MUI di atas, KH. Abdurrahman Wahid, yang pada saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, di Istana Negara pada 8 Januari 2001, mengungkapkan kekecewaanya terhadap adanya fatwa MUI tentang pengharaman Ajinomoto. Namun demikian, menurutnya, tidak ada pertentangan atau perbedaan antara dirinya (Pemerintah) dengan Majelis Ulama Indonesia  (MUI) dalam kasus bumbu masak Ajinomoto. Yang ada hanya perbedaan  penafsiran hukum (ijtihad). Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa pabila perusahaan Ajinomoto ditutup, lanjut Presiden, akan memberi dampak bagi perekonomian dengan hilangnya peluang penanaman modal  senilai 1,3 milyar dollar AS. Di samping itu akan muncul pengangguran  besar-besaran. [5]
Menurut salah seorang anggota Komisi Fatwa, menyebutkan bahwa dalil yang digunakan KH. Abdurrahman Wahid dan Kiai-Kiai NU adalah berlandaskan pada kaidah atau teori fikh, yang berbunyi:
الضرورة تبيح المحظورات
“Kondisi darurat membolehkan hal yang haram”.
Kaidah ini merupakan turunan dari kaidah utama fiqih Jalb al-masālih (menarik maslahat), yang berarti mengedapankan maslahat adalah lebih utama. Dalam kaitannya dengan Ajinomoto di atas, maka kaidah ini menurut Gus Dur dipahami bahwa dalam keadaan darurat makanan yang haram pun boleh dimakan asal untuk kemaslahatan. Misalnya, akibat pengharaman akan menyebabkan penutupan PT Ajinomoto dan menelantarkan 1400 buruh Ajinomoto dan juga akan mengganggu perbaikan ekonomi Indonesia.[6] 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalil KH. Abdurrahman Wahid terkait fatwa tentang Ajinomoto di atas, adalah pertimbangan kemaslahatan dari segi ekonomi nasional, terkait investasi Negara Jepang di tanah air. Menurutnya, pengharaman Ajinomoto memiliki potensi mudarat yang lebih besar (bersifat sistemik) pada masalah sosial lainnya, sehingga dibutuhkan kajian yang mendalam mengenai status hukumnya. Fatwa KH. Abdurrahman Wahid tersebut juga diperkuat dengan dalil bahwa pada Ajinomoto tidak lagi ditemukan di dalamnya unsur babi.[7]
b.   Seputar Fatwa KH. Abdurrahman Wahid tentang Status Hukum Rokok
Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa pada tanggal 31 Januari 2009 bahwa  merokok itu hukumnya haram ditempat umum, bagi anak-anak dan wanita  hamil. Dapat disimpulkan bahwa, merokok merupakan kegiatan yang  dilakukan manusia dengan mengorbankan uang, kesehatan, kehidupan sosial, pahala, persepsi positif, dan lain sebagainya. Itulah mengapa fatwa haram ditempat-tempat umum dikeluarkan oleh MUI. [8] Fatwa ini dikeluarkan dalam sidang tahunan MUI di Padang Sumatra Barat dan bertujuan mengurangi jumlah perokok di kalangan anak-anak dan perempuan.[9]
Dalam pendangannya terkait hal di atas, KH. Abdurrahman Wahid, menjelaskan bahwa fatwa haram merokok akan berdampak lebih buruk (bersifat sistemik) yaitu menciptakan banyak pengangguran dan permasalahan sosial lainnya.[10] Pada pernyataan lain, Gus Dur menjelaskan, tidak ada satupun ulama di dunia, termasuk ulama Syiah, yang memfatwakan rokok dengan hukum haram. Dalam pemaparannya, Gus Dur menegaskan bahwa hanya para ulama Wahabi yang memberikan hukum terhadap hal itu. Dampak buruk lainnya jika rokok diharamkan adalah dari sisi ekonomi. Fatwa tersebut jelas akan membunuh para buruh pabrik rokok, juga para buruh tani yang bekerja di lahan tembakau, pelaku jual beli tembakau, karyawan pabrik rokok, pemilik pabrik rokok, pelaku jual beli rokok, dan pembuat regulasi industri rokok. Bahkan berdasar alasan menghindari kemudaratan  itu, secara radikal Gus Dur menyatakan bahwa hukum pengonsumsian rokok adalah sunnah. [11]
            Menurut penyusun, memang fatwa sunnah yang dikeluarkan Gus Dur di atas, memuat kejanggalan. Namun demikian, menurut analisa penyusun, jika fatwa tersebut dipahami kembali maka hal tersebut tidak lepas dari keinginan Gus Dur supaya ulama –dalam hal ini MUI- tidak terlalu ceroboh dalam mengeluarkan fatwa yaitu mengabaikan kemaslahatan. Artinya, seandainya saja fatwa tersebut diiringi dengan adanya alternatif untuk memperjuangkan kemaslahatan ekonomi masyarakat, mungkin saja fatwa Gus Dur tidak demikian.
Menurut Penelitian Arief Budi Witarto (2003) dari Pusat Bioteknologi LIPI menunjukkan manfaat daun tembakau sebagai reaktor penghasil protein Growth Colony Stimulating Factor (GCSF), suatu hormon yang penting untuk menstimulasi produksi darah. Dikatakan juga bahwa protein GCSF bisa digunakan sebagai vaksin untuk mencegah penyakit kanker. Beberapa ilmuwan kini juga berhasil menggunakan tembakau yang telah dimodifikasi secara genetik untuk memproduksi obat penyakit diabetes. Daun tembakau pun dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk kekebalan tubuh. Prof. Pezzotti dari Universitas Verona juga menemukan manfaat daun tembakau sebagai penghasil protein obat Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan penyakit AIDS.[12]
Dengan demikian, semakin banyak temuan yang menunjukkan manfaat tembakau selain untuk rokok, maka para petani dan industri yang memanfaatkan tembakau sebagai bahan baku tidak akan gulung tikar dengan adanya fatwa haram merokok. Bahwa merokok dapat merusak kesehatan adalah pandangan yang secara common sense diakui kebenarannya oleh masyarakat. Tetapi, fatwa hukum merokok haram yang tidak diikuti dengan solusi pasti akan menimbulkan persoalan lain. Maka, dalam konteks inilah fatwa yang dikeluarkan MTT perlu mempertimbangkan banyak hal sehingga lebih berempati pada petani dan dunia industri.



[1]Ajinomoto adalah sebuah perusahaan Jepang yang memproduksi bumbu masak, minyak masak, makanan dan farmasi melalui Britannia Pharmaceuticals Limited, anak perusahaan yang bermarkas di UK. Ajinomoto aktif di 23 negara dan daerah di dunia, mempekerjakan sekitar 24.861 orang (pada 2004), dengan pendapatan tahunan AS$9,84 miliar. Ajinomoto sekarang ini memproduksi sekitar 33% Monosodium Glutamat dunia. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Ajinomoto, diakses pada 1 April 2011.
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Ajinomoto, diakses pada 1 April 2011.
[4]Ibid.
[7]Melalui Sesmen Ristek Abdul Malik di Jakarta, KH. Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa riset dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan bahwa kajian ilmiahnya menemukan bahwa Monosodium glutamat  (MSG) produk Ajinomoto tidak mengandung porcine (enzim babi).
[8]Atikah Umi Markhamah Zahra Ayyusufi, “Dampak Ekonomi Fatwa MUI tentang Haram
Merokok terhadap Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus di sepanjang Jl. Slamet Riyadi Surakarta)”, Skripsi Sarjana, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2009, hal. 9
[9] Mujahid Kasori, Fatwa MUI Tentang Merokok, (Surakarta: Moslem Group Grafika Majalah Nur Hidayah Edisi 21/Maret,2009), h. 20-21.
[10]Eunika dan Timoteus, menjelaskan bahwa: Data cukai rokok telah
menjadi salah satu penjamin APBN Indonesia. Menurutnya, anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) Indonesia sangat bergantung pasa sektor pajak, termasuk cukai. Selama ini, cukai rokok telah menjadi salah satu penjamin APBN bertahan. Tidak kurang dari Rp 29,1 triliun setiap tahun Jawa Timur (Jatim) menyumbangkan hasil cukai rokoknya ke APBN. Dari ratusan industri rokok di daerah Kudus, PT Djarum merupakan salah satu perusahaan rokok kretek yang mampu memberikan cukai terbesar bagi Negara senilai Rp 17,4 miliar perhari, dengan total produksi 126 juta batang perhari. Besarnya cukai rokok tersebut memang memberikan beberapa keuntungan bagi perekonomian Negara. Pertama, cukai rokok yang besar ini menjadi sumber dana APBN untuk membiayai kebutuhan masyarakat, baik dalam penyediaan barang publik seperti infrastruktur maupun pelayanan publik, misalnya dana operasional institusi pemerintah. Kedua, ketergantungan APBN pemerintah terhadap cukai rokok mendorong industri rokok untuk tetap bertahan, bahkan seolah-olah diupayakan untuk semakin membesar. Dengan demikian, secara tidak langsung industri rokok yang padat karya ini menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup besar bagi Indonesia yang terjerat dengan masalah
pengangguran. Lihat, http://sylviatjahya di.blogspot. com/2007/ 11/ketika- Indonesia- tanpa-cukai-
rokok.html, diakses pada 1 April 2011.
[11]Pernyataan ini sebagaimana disampaikan Gus Dur dalam acara “Kongkow bareng Gus Dur" di Utan Kayu Jakarta, Sabtu 23 Agustus 2008. Selengkapnya lihat, Abdul Aziz Sukarnawadi, “Merokok Itu Sunnah”, dalam http://www.aziznawadi.net/catatan/rokoksunah.html. diakses pada diakses pada: 26 Oktober 2010. Lihat pula,http://news.okezone.com/read/2008/08/23/1/139293/fatwa-merokok-ciptakan-banyak-pengangguran, diakses pada 1 April 2011
[12]Biyanto, “Dampak Sistemik Fatwa Haram Merokok”, dalam eprints.sunan-ampel.ac.id/.../Dampak_Sistemik_Fatwa_Haram_Merokok.pdf.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar