Muslimspot.com

Rabu, 04 Mei 2011

Memotret Keberpihakan Majlis ‘Ulama Indonesia Terhadap Pemerintah Dalam Fatwa Tentang Golongan Putih (Studi Deskriptif- Kualitatif Terhadap Latar Belakang Berdirinya Majlis Ulama Indonesia (Mui) dan Kedudukannya Pada Pemerintah Orde Baru dan Pemerintah Orde Reformasi serta Fatwa Tentang Golongan Putih Dalam Pemilu 2009)

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.

A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Fatwa terakhir MUI pada awal tahun 2009 ini merupakan fatwa yang dinilai oleh berbagai kalangan sebagai fatwa yang kontroversial karena terkesan berlebiha.[1] Menurut  Miswan Thahadi, penulis buku "Seputar Fatwa Haram Golput", Kontroversi terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang golongan putih (golput) ini lebih disebabkan oleh permasalahan kontekstual dan bukan karena esensi fatwa itu sendiri.[2] Dia juga berpendapat bahwa masih terdapatnya pertentangan antara fatwa tersebut juga mengindikasikan bahwa fatwa tersebut belum dipahami sepenuhnya oleh seluruh umat Islam.Ia memaparkan, fatwa itu hanya berpengaruh terhadap orang-orang yang hatinya terikat pada syariah. Oleh sebab itu, lanjutnya, efektivitas dari penerapan fatwa juga bisa dikorelasikan dengan sejauh mana ikatan umat terhadap penerapan syariah.
Terlepas dari kontraversi yang ada terdapat pendpat yang menurut penulis cukup bijak, bahwa Pengharaman golongan putih pada pemilu oleh MUI tentunya disertai dengan beberapa syarat dan ketentuan yang dipersyaratkan pada kondisi dan kaadaan pada kejadiannya saat itu yaitu ketika salah satu dari calon yang tersedia layak untuk dipilih yaitu calon yang tersedia sudah memenuhi unsur-unsur yang sesuai dengan syariat hukum Islam ( Fatwa ini hanya berlaku bagi umat Islam Indonesia ).[3]
Pengertian layak untuk dipilih dapat dilihat pada terpenuhinya syarat-syarat minimal yang harus dimiliki oleh calon pemimpin yang akan dipilih tersebut seperti : Bertaqwa kepada Allah SWT. Seorang yang layak untuk dipilih tersebut adalah seorang yang beragama Islam yang bertaqwa kepada Allah SWT. Seorang muslim dilarang mengangkat pemimpin dan memberikan kepercayaan kepada orang-orang kafir karena mereka sudah ditakdirkan untuk menjadi kaum yang bertugas menghancurkan aqidah umat Islam secara keseluruhan. Berilmu. Pemimpin yang layak untuk dipilih itu adalah pemimpin yang cerdas dan menguasi bidang yang akan dipimpinnya yang dengan ilmu yang dikuasainya itu diharapkan akan mampu membawa kesejahteraan kepada masyarakat yang dipimpinnya dan tentunya bukan pemimpin yang telah gagal atau pemimpin merupakan bagian dari kegagalan masa lampau karena bisa saja kegagalan yang terjadi dimasa lampau adalah akibat dari keberadaan dia pada masa itu. Jujur. Jangan memilih pemimpin yang munafik dan suka membohongi rakyat seperti iklan-iklan yang menyesatkan, janji-janji yang secara realistis tidak akan mungkin dipenuhi dan lain sebagainya seperti (sekelumit ulasan)
Jika ditelusuri lebih jauh, perhelatan yang terjadi seputar fatwa MUI yang dinilai kontroversial ini, akan ditemukan titik puncaknya pada latar belakang berdirinya MUI pada tahun 1975 yaitu tepatnya pada razim pemerintahan orde baru. Dimana sejak zaman Kolonial Belanda sampai Pemerintah Orde Baru, para ulama telah mengintegrasikan diri ke dalam berbagai organisasi keislaman sebagai suatu respons terhadap kondisi sosial politik bangsa Indonesia. Ada suatu pola sejarah yang mengedepan dari peran ulama tersebut yakni, setiap pemerintah yang berkuasa selalu berupaya untuk memasukkan ulama ke dalam sistem birokrasi. Upaya ini biasanya dilakukan dalam rangka meredam kekuatan umat Islam yang senantiasa bersinggungan dengan negara. Umat Islam dipandang sebagai faktor politik yang membahayakan.
Ketegangan umat Islam dan negara pada dekade tahun 1970-an dan 1980-an adalah perwujudan dari respons balik pemerintah terhadap sikap keras umat Islam yang menginginkan aspirasi sistem politik Islam dalam negara Indonesia. Pemerintah memandang umat Islam sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Kelahiran MUI pada tahun 1975 menjadi tumpuan dua kubu yang bersinggungan, antara pemerintah dan umat Islam. Sebagai organisasi ulama, tentunya MUI adalah merupakan tumpuan umat yang diharapkan mampu membawa pesan maupun keluh kesah umat terhadap pemerintah. Bagi pemerintah, MUI diharapkan mampu menerjemahkan sejumlah kebijakan yang ditujukan kepada umat Islam.
Hal inilah yang nampaknya melatarbelakangi kontroversi seputar fatwa, termasuk fatwa MUI tentang golongan putih pada awal tahun ini. Oleh sebab itu, hal inilah yang menarik minat penulis untuk meneliti tentang bagaimana keberpihakan (maksudnya penyelewengan fungsi) MUI terhadap kepentingan pemerintah, dimulai dari pemerintahan orede baru hingga pemerintahan pasca reformasi, yaitu pemerinatahan pada era 2004- 2009.
Dengan demikian, maka dalam penelitian ini, untuk mengetahui potensi keberpihakan tersebut pertanyaan- pertanyaan yang akan muncul selanjutnya adalah sampai sejauhmana akomodasi kepentingan umat Islam yang dapat disampaikan MUI kepada pemerintah, dan seberapa besar upaya pemerintah melalui MUI dalam mewujudkan harmonisasi hubungan Islam dan negara, perlu dianalisis beberapa permasalahan sebagai berikut, pertama, anatomi organisasi MUI, kedua, kinerja MUI, dan ketiga, perspektif politik Orde Baru dan pemerintahan pasca reformasi terhadap umat Islam beserta faktor yang melatarbelakangi ketidakharmonisan hubungan umat Islam dengan kedua pemerintahan tersebut.


B.       DEFINISI OPERASIONAL
a.       Keberpihakan: yang dimaksud dengan ‘keberpihakan’ dalam penelitian ini adalah penyelewengan peran MUI yang seharusnya berperan sebagai lembaga keagamaan dan seharusnya fokus pada permasalahan tersebut. Namun dalam realita yang ada justru MUI cenderung lebih banyak mengeluarkan fatwa- fatwa yang berkaitan dengan hal- hal politik. Dan ini menurut penulis bukanlah fungsi sejati MUI. Sehingga lahirlah berbagai pernyataan- pernyataan kritis terhadap sebagian fatwa MUI.
b.      MUI (Majlis Ulama Indonesia): yang dimaksud dengan MUI pada penelitian ini adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan IslamIndonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.[4] di
c.       Pemerintah Orde Baru: yang dimaksud dengan pemerintah Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998.
d.      Pemerintah Pasca Reformasi: yang dimaksud dengan pemerintah Orde Reformasi adalah sebutan bagi masa pemerintahan setelah Soeharto yaitu pemerintah dari tahun 1998- sekarang (penulisan penelitian ini).  Tepatnya, yang dimaksud dengan orde Reformasi dalam penelitian ini labih kepada pemerintah antara tahun 2004- 2009.

C.      RUMUSAN MASALAH
            Berdasar pada latar belakang diatas, maka pokok permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini adalah:
a.       Bagaimana kedudukan MUI dalam sitem pemerintahan orde baru dan pemerintahan pasca reformasi.
b.      Berdasar pada deskripsi tentang kedudukan MUI tersebut, adakah keberpihakan MUI sebagai lembaga keagamaan nasional dalam fatwa- fatwanya terhadap pemerintah orde baru dan pemerintahan pasca reformasi .
c.       Jika ada, bagaimana sifat dan bentuk keberpihakan tersebut dalam kaitannya dengan fatwa terakhir MUI tentang golongan putih dalam pemilu.

D.  TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pada rumusan maslah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah:
a.       Untuk mendeskripsiakan tentang kedudukan MUI dalam sitem pemerintahan orde baru dan pemerintahan pasca reformasi.
b.      Untuk menjelaskan tentang keberpihakan atau penyelewengan fungsi MUI sebagai lembaga keagamaan nasional dalam fatwa- fatwanya terhadap pemerintah orde baru dan pemerintahan pasca reformasi .
c.       Untuk mendeskripsikan tentang keberpihakan MUI terhadap pemerintah dalam fatwa tentang golongan putih dalam pemilu.

E.  MANFAAT PENELITIAN
  1. Manfaat Teoritis (keilmuan)
                  Penelitian ini akan memberikan kontribusi positif kepada para akademisi khususnya penulis dalam upaya memahami lebih jauh tentang polemic seputar MUI, umat islam dan pemerintah. Di samping itu, penelitian ini juga merupakan upaya untuk memperjelas posisi dan peran MUI sebagai lembaga keagamaan nasional di Indonesia. Di sisi lain, meskipun tidak signifikan, namun setidaknya dengan pnelitian ini diharapkan akan membawa perkembangan terhadap dunia ilmu pengetahuan, karena penelitian ini akan semakin menambah referensi pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisa setiap fatwa.

  1. Manfaat Praktis (bagi masyarakat)
                  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru terhadap masyarakat luas, khususnya kaum muslim, terkait dengan MUI sebagai lembaga yang didalamnya terhimpun para ulama yang beraneka karakter. Sehingga masyarakat dapat memiliki frame pemiiran baru dalam memandang MUI sebagai lembaga agama dan politik. Penelitian ini terutama akan bermafaat bagi kaum muslim yang mendambakan kejelasan fungsi, peran dan tujuan didirikannya MUI. Penelitian ini juga dapat pula menjadi rujukan dalam penulisan selanjutnya.

F.       TINJAUAN PUSTAKA
MUI adalah refresentasi wakil umat Islam untuk dapat menyalurkan aspirasinya terhadap pemerintah. Untuk itu, MUI senantiasa mengupayakan sejumlah usaha yang dapat diterima oleh masyarakat Islam dan organisasi-organisasi Islam, serta berusaha menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah, juga menjaga aqidah umat Islam. Oleh karena itu sejumlah program yang di hasilkan dalam setiap Rakernas MUI senantiasa mengakomodir tiga pokok masalah, yaitu:
1. Masalah Agama dan Ketahanan Nasional.
2. Agama dan pembangunan.
3. Dakwah dan Kerukunan Antarumat beragama.
Ketiga pokok masalah tersebut terimplimentasikan ke dalam setiap program kerja MUI. Program kerja ini akan mencerminkan sampai sejauhmana MUI berperan dalam kehidupan kebangsaan. Sesuai dengan cita awal terbentuknya MUI, baik harapan pemerintah maupun ulama sendiri, keberadaan MUI adalah untuk dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang aman, damai, terpenuhi keseimbangan jasmani dan rohani, serta diridhoi Allah SWT. dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu MUI senantiasa berupaya ikut ambil bagian dalam setiap kebijakan pembangunan.
Ahmad Sukardja[5] menjelaskan bahwa Secara orientasi kerja, program kerja MUI mengandung empat tujuan, yaitu: 1) Memantapkan, meningkatkan, dan mendayagunakan Majelis Ulama sebagai organisasi ulama. 2). Menamamkan kesadaran hidup beragama dalam tatanan masyarakat dalam wadah negara yang berfalsafahkan Pancasila. 3). Memantapkan dan meningkatkan kesadaran bernegara untuk menggalang persatuan bangsa. Dan yang terakhir adalah Ikut menyukseskan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Fokus orientasi program kerja MUI tersebut menunjukkan pendirian pokok organisasi agar dapat diterima oleh masyarakat sebagai refresentasi fungsi ulama dalam kehidupan kenegaraan. Untuk maksud yang sama MUI juga selalu memelihara hubungan yang baik dengan pemerintah. Di samping itu MUI berupaya agar menjadi penghubung kepentingan umat Islam dengan senantiasa merespons setiap kebijakan pembangunan yang dilahirkan oleh pemerintah Orde Baru.
Untuk menciptakan hubungan yang kondusif dengan berbagai kalangan, pada tahun-tahun permulaan berdirinya pengurus MUI senantiasa datang berkunjung ke berbagai organisasi Islam. Organisasi Islam yang dikunjungi adalah Muhammadiyah, NU, SI, Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti), Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), Al Irsyad, Al Washliyah, Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI), Pembina Iman Tauhid Islam (PITI), dan sjumlah organisasi wanita Islam serta organisasi mahasiswa/pelajar Islam. Beberapa waktu kemudian MUI mengundang organisasi-organisasi Islam ke sekretariat MUI untuk membicarakan berbagai persoalan kebangsaan yang menyangkut eksistensi umat Islam di Indonesia.
Dalam tinjauan sejarah, pemerintahan Soeharto yang dikenal dengan pemerintah Orde Baru pada awalnya bekerjasama dengan umat Islam sebagai kekuatan anti komunis. Dekatnya hubungan antara umat Islam dengan Orde Baru dapat ditunjukkan dengan dibebaskannya semua tahanan politik eks Masyumi seperti M. Natsir, Syarifudin Prawiranegara, dan Burhanudin Harahap. Mereka adalah tahanan politik Orde Lama selama lima tahun
Kedekatan hubungan umat Islam dengan pemerintah Orde Baru melahirkan sebuah harapan masa depan cerah bagi kehidupan politik umat Islam. Semangat umum yang mendasari para pemimpin politik umat Islam pada waktu itu adalah mewujudkan demokrasi. Peran penting umat telah membangkitkan rasa percaya diri untuk tampil kepermukaan. Tumbangnya PKI dalam pentas politik nasional merupakan salah satu hasil perjuangan umat Islam
Kekuatan politik umat Islam di tingkat nasional memperlihatkan usaha-usaha untuk menempatkan kembali posisi politiknya. Sepanjang tahun 1968 dan 1969 partai Islam mensponsori peringatan Hari Piagam Jakarta tiap tanggal 22 Juni. Isu ini mampu merapatkan barisan kekuatan umat Islam baik tradisional (NU) maupun modernis (mantan Masyumi) yang sebelumnya mengalami keretakan
Usaha-usaha keras memperjuangkan Piagam Jakarta terus dilakukan oleh para pemimpin politik Islam. Mereka memperjuangkan Piagam Jakarta ke dalam agenda Sidang Umum MPRS 1968 melalui Komisi II. Akan tetapi usaha ini mendapat tantangan dari PNI, Kelompok Kristen, dan wakil ABRI. Hingga akhirnya pimpinan MPRS memutuskan untuk menunda pembicaraan mengenai GBHN
Usaha yang dilakukan umat Islam pada SU MPRS 1968 menambah kuat kekhawatiran pemerintah akan timbulnya kembali kekuatan-kekuatan yang meragukan keberadaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah hidup dan dasar Negara Indonesia. Bila pemerintah mengabulkan keinginan umat Islam, bukan tidak mungkin akan muncul kembali kekuatan ideologi lain yang menginginkan perlakuan yang sama. Untuk mengantisipasi masalah ini pemerintah Orde Baru melakukan strategi pembentukan konfederasi Golongan Karya sebagai mimbar politik daripada memihak kepada partai politik yang ada.
Keinginan keras umat Islam untuk memperjuangkan Piagam Jakarta -sebagai sebuah simbol dasar keislaman- dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah bagian dari strategi dalam mengartikulasikan kepentingan umat Islam melalui instrumen partai politik. Banyak ormas Islam yang meninggalkan Sekber Golkar sebagai mesin pemilu Orde Baru. Sekitar 13 ormas Islam melepaskan diri dari Sekber Golkar, akibatnya Golkar diisi oleh kelompok nasionalis sekuler dan KristenMereka meninggalkan Sekber Golkar dengan keyakinan penuh bahwa dalam memperjuangkan aspirasi Islam akan lebih tepat melalui wadah partai Islam daripada Golkar yang sangat plural.
Pandangan demikian pada saat itu mencerminkan karakteristik umat Islam. Ada dua karakteristik umat Islam dalam kehidupan kebangsaan. Pertama, sosialisasi dan institusionalisasi. Pada aspek ini pandangan umat Islam terbagi dua, yaitu Islam kultural dan Islam struktural yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem Islami. Kedua,Gerakan Islam bersifat Islam Kultural dan Islam politik. Secara kultural perjuangan Islam dilakukan melalui gerakan non politik, sementara Islam politik perjuangannya diwujudkan melalui parpol Islam yang diidentifikasikan melalui nama, asas, tujuan, ataupun simbol keislaman lainnya.
Para pemimpin politik Islam memiliki anggapan kuat, bahwa konstelasi politik waktu itu merupakan momentum yang tepat untuk mengartikulasikan kepentingan umat Islam. Dengan strategi tersebut diharapkan umat Islam mampu bersaing dalam pemilu yang kompetitif.
Kebutuhan untuk membangun parpol Islam yang baru merupakan keinginan sejumlah tokoh umat Islam khususnya dari kalangan modernis. Mereka menginginkan dengan dibentuknya partai Islam yang baru dapat mengakomodasikan aspirasi politik Islam di luar tiga partai politik Islam yang telah ada yakni, NU, PSII, dan Perti. Mantan wakil Presiden RI, Muhammad Hata dan para pendukung muslimnya berinisiatif untuk mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Untuk menggolkan maksudnya ini, berbagai upaya dilakukan termasuk meminta dukungan terhadap Soeharto. Dukungan ini dimaksudkan agar kemungkinan kecil para pejabat lokal menentang keberadaan PDII .
Dalam surat balasannya atas ‘proposal’ Hatta untuk mendirikan PDII, Soeharto memberikan komentar:
PDII tidak akan dapat menyatukan dan mengakomodasikan semua kekuatan Islam di luar partai-partai Islam yang ada, mengingat sejumlah reaksi terhadap gagasan berdirinya partai itu tidak positif. Semua ini menunjukkan gejala yang bisa menandai kesulitan bagi stabilitas politik....
Pernyataan Soeharto yang demikian itu membuat kecewa umat Islam. Setelah gagal melalui PDII upaya lain yang dilakukan adalah dengan keinginan menghidupkan kembali Partai Islam Indonesia (PII) yang didirikan oleh para pemimpin Muhammadiyah pada tahun 1938. PII yang dihidupkan kembali ini, tidak mencitrakan Masyumi, melainkan memberi jalan kepada kelompok Muslim modernis lainnya yang menuntut perbaikan Partai Masyumi. Konsekuensi dari sikap ini, keinginan menghidupkan kembali PII gagal. Tokoh Ulama M. Natsir berhasil membujuk para tokoh Muhammadiyah untuk mendukung ide rehabilitasi Masyumi daripada pendirian kembali PII
Sebagai upaya ke arah rehabilitasi Masyumi, para tokoh Muslim membentuk Badan Koordinasi Amal Muslim (BKAM). Mereka melobi pemerintah dan mengeluarkan pernyataan tentang perlunya rehabilitasi Masyumi. Tetapi ternyata pemerintah masih memandang Masyumi dengan ‘dosa-dosanya’ pada masa lalu
Pemerintah dalam surat Jawabannya tanggal 6 Januari 1967 yang ditujukan kepada Prawoto Mangkusasmito, mengatakan:
Pada kesempatan ini, saya juga ingin berterus terang menjelaskan kepada saudara, bahwa baik ABRI keseluruhan angkatan maupun keluarga prajurit-prajurit sungguh-sungguh telah memberikan banyak pengorbanan untuk menumpas pemberontakan itu... saya berharap saudara bisa memahami pemerintah pada umumnya dan ABRI pada khususnya, terhadap bekas partai politik Masyumi . Alasan juridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah mebawa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi Partai Masyumi
Tentu saja dengan penolakan tersebut mengindikasikan pemerintah tetap pada pendirian bahwasannya para pemimpin Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI tahun 1958. Adanya rehabilitasi Masyumi pemerintah meyakininya akan menghidupkan kembali gerakan Masyumi baru yang merupakan ancaman politik. Sikap pemerintah yang demikian ini membuat para pemimpin dan anggota eks Masyumi terpaksa menerimanya sebagai realitas politik.
Hasrat umat Islam untuk bisa berpartisipasi dalam kehidupan politik kenegaraan melalui upaya-upaya pendirian dan rehabilitasi partai Islam tetap ditolak oleh pemerintah. Pemerintah Orde Baru memilih mengedepankan kelompok kekaryaan karena dianggap lebih menyokong kepentingan pembangunan nasional daripada golongan partai politik yang dianggapanya mementingkan kepentingan ideologi. Padahal terdapat reaksi publik agar pemerintah Orde Baru bisa merehabilitasi parpol yang dibekukan. Reaksi opini teraktualisasi dalam bentuk diadakannya berbagai seminar seperti yang dilakukan oleh UI, KASI, dan LIPI yang pada intinya mendukung rehabilitasi. Bahkan dalam seminar AD II di Bandung dibicarakan hal yang sama. Dua petinggi AD Letjen Soedirman dan A.H Nasution melalui Badan Koordinasi Amal Muslim (BKAM) mendukung upaya ini. Padangan lain berasal dari Persatuan Ahli Hukum Indonesia (Persahi) yang menegaskan bahwa pembekuan Masyumi adalah ilegal dan inkonstitusionil. Rehabilitasi Parpol tersebut justru akan memeprkokoh sistem demokrasi Orde Baru.
Ada dua alasan pokok larangan pemerintah Orde Baru terhadap berbagai upaya dan usaha konsolidasi partai politik Islam. Pertama, terdapat perasaan anti partai yang meluas dikalangan inti koalisi Orde Baru, terutama perwira Angkatan Darat dan kaum intelektual Orde Baru. Kedua, adanya orang-orang disekeliling Soeharto yang didominasi tokoh-tokoh yang tidak simpati terhadap Islam.
Para pemimpin Muslim baru menyadari sikap politik Orde Baru itu sejak tahun 1968. Mereka sadar bahwa mereka tidak dapat diterima sebagai mitra dalam kekuasaan negara dan Islam yang kuat secara politik tidak mempunyai tempat di dalam sistem politik Orde Baru.
Solusi yang diberikan pemerintah terhadap keinginan umat Islam dengan memberikan izin untuk terbentuknya partai baru, yaitu pendirian Partai Muslim Indonesia (Parmusi). Pendirian Parmusi dilakukan oleh kelompok tujuh yang diketuai oleh Prawoto Mangkusaswito (Pemimpin eks Masyumi) dan anggotanya terdiri dari KH. Faqih Usman, Anwar Haryono, Agus Sudono, Ny. Samsurizal, Marzuki Yatim, Hasan Basri dan E.Z Mutaqin. Mereka berharap Parmusi sebagai reinkarnasi dari Masyumi
Niatan untuk menjadikan Parmusi sebagai reinkarnasi dari Masyumi menjadi kendala bagi mekanisme keorganisasiannya. Para perwira militer yang ikut mengendalikan kekuasaan pada masa awal pemerintahan Orde Baru yang umumnya mempunyai ikatan yang kuat dengan tradisi Jawa yang berlatar belakang kejawen menghendaki legalisasi bagi Parmusi ditunda sampai ada kepastian bukan Masyumi baru
Pada tanggal 5 Februari 1968 pemerintah menyatakan bahwa Parmusi diizinkan berdiri dengan syarat tidak ada seorangpun mantan pemimpin Masyumi yang memegang peranan penting dalam Parmusi. Pada Kongresnya di Malang tanggal 4-7 November 1968 tokoh penting Masyumi, Moh. Roem terpilih sebagai Ketua Umum. Terpilihnya Roem ditolak oleh pemerintah. Setelah beberapa kali melobi, akhirnya keluar SK Presiden No. 70 Tahun 1968 yang menetapkan Djarnawai dan Kusumo sebagai Ketua dan Sekretaris. Akan tetapi meski telah di SK-kan oleh presiden sebagai pengurus Parmusi definitif, muncul kubu lain yang dimotori oleh H.J Naro dan Imran Kadir mempermasalahkan kepemimpinan Djarnawi. Djarnawi dianggap memusuhi ABRI. Manuver ini melahirkan konflik internal hingga keluar SK Presiden No. 77 yang menunjuk H.M.S Mintaredja seorang tokoh Muhammadiyah untuk memimpin Parmusi.
Konflik internal Parmusi agaknya tidak terlepas dari kepentingan pemerintah. Sebuah manajemen konflik yang cukup bagus dijalankan oleh pemerintah agar partai Islam tidak siap dalam menghadapi pemilu 1971. Adanya konflik di dalam tubuh parpol Islam yang diidentikan sebagai kelanjutan Masyumi melahirkan citra bagi parpol Islam sebagai kekuatan politik yang tidak siap dengan program pembangunan.
Pada pemilu 1971, memang parpol Islam yang ikut tidak hanya satu partai, akan tetapi ada empat partai, yaitu: Partai NU, PSII, dan Perti, semula ketiga partai ini bergabung dalam Masyumi, dan peserta lainnya adalah Parmusi. Jumlah partai seluruhnya yang ikut dalam pemilu tahun 1971 adalah sepuluh partai.
Pelaksanaan pemilu tersebut merupakan strategi pemerintah Orde Baru untuk dapat merubah sistem kepartaian guna mewujudkan stabilitas politik. Ada dua fungsi pelaksanaan pemilu yaitu simbul demokratisasi dan legitimasi rezim Orde Baru. Karenanya dilakukan berbagai upaya agar tongkat komando yang telah berada ditangan ABRI/AD tidak lepas begitu saja lantaran pemilu yang belum matang. Pemerintah Orde Baru saat itu menyadari bahwa legitimasi pemerintah yang dipegang militer bagaimananpun juga harus mendapatkan dukungan sipil. Umat Islam sebagai mayoritas masyarakat sipil adalah harus dapat dikuasai . Oleh karenanya dengan membentuk partai baru; Parmusi , pemerintah menciptakan asumsi bahwa aspirasi umat Islam tetap diperhatikan. Tampaknya upaya menciptakan Parmusi sebagai kekuatan umat Islam tidak berhasil sehingga penguasa Orde Baru menjatuhkan pilihan untuk membenahi kembali Sekber Golkar.
Mencermati fenomena awal kepolitikaan Orde Baru tersebut suatu hal yang perlu dicatat, bahwa kebijakan dan otoritas yang dijalankannya sangatlah kuat dalam mengayomi berbagai kekuatan politik yang akan dan telah ada. Pembentukan Parmusi menunjukkan bahwa partai baru ini tidak lepas dari kepentingan pemerintah. Independensi partai ini tidak ada, Parmusi tidak dapat mengatur dan menentukan persoalan-persoalan sendiri tanpa intervensi dan kontrol dari pemerintah. Pembentukan Partai baru harus dengan keputusan presiden menyebabkan adanya kontrol moral antara pemerintah dengan partai yang dibentuknya. Akibatnya partai menjadi pelayan kepentingan-kepentingan pemerintah bukan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan dalam kehidupan keagamaan umat Islam, ada dua strategi yang dijalankan Orde Baru terhadap kekuatan Islam, yaitu memajukan kekuatan agama secara personal dan menentang politisasi agama. Ketaatan agama seorang muslim sangat digalakan, sebagian besar sebagai senjata anti komunis -ateisme, Departemen Agama diperkuat dan diberi kepemimpinan non partisan baru, sistem Sekolah Guru Agama Islam Negeri yang sudah ada diperluas dan diberikan pembiayaan tambahan. Presiden Soeharto kemudian berinisiatif mendirikan yayasan dengan program subsidi pembangunan masjid secara besar-besaran.
Konsepsi pemerintah tersebut telah menyebabkan pergeseran fungsi ulama. Dikotomi pandangan tentang ulama dan umaro menjadi sesuatu yang efektif bagi hilangnya peran strategis para ulama dalam memecahkan masalah kemasyarakatan dalam dimensi politis secara dini. Kelahiran MUI sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan konsekuensi dari sebuah keharusan peran yang bisa dimainkan oleh kelompok ulama dalam realitas kepolitikan Orde Baru. Oleh karena itu menurut Ali Yafi adalah tugas berat bagi para ulama saat itu dan sampai kapanpun untuk mampu memberikan sumbangsih peran kemasyarakatan. Ia mengatakan:
Peran yang diharapkan dari MUI adalah peran-peran ideal yang semestinya melekat dalam diri ulama. Peran sebagai pengayom umat, penasehat umat, teladan umat, pemimpin umat dan tempat bertanya semua masalah …pelopor dalam berperang melawan kedzaliman dan kemungkaran. Harus berani, tangguh, tabah, dan pantang menyerah ….
Pentingnya peran lembaga MUI tersebut mengaharuskan pemerintah mengakui kesalahan persepsi terhadap umat Islam sepanjang dekade tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an. Berlarut-larutnya ketegangan umat Islam dan negara diakui secara transparan oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam sambutannya pada Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 8 Maret 1982. Alamsyah mengatakan:
Berlarut-larutnya ketegangan umat Islam dan negara sebagai konsekuensi kurang difahaminya latar belakang negara Pancasila. Aspek politik telah mengalahkan aspek ajaran luhur budi pekerti, rohaniah, mental spiritual. Umat Islam masih mempersepsikan pemerintah sebagaimana halnya pemerintah kolonial. Begitu juga sebaliknya. ... konfrontasi, rasa saling curiga, dan isolasi adalah sebagai akibat belum difahaminya latar belakang terbentuknya negara Pancasila secara utuh. Sehingga masyarakat di kampung tahunya hanya soal agama saja … Cap anti Pancasila terhadap PPP yang melakukan walk out pada Sidang Umum MPR tahun 1978, setelah kita teliti sebetulnya tidak ada kaitan anti Pancasila, dan tidak ada kaitannya dengan ingin memberontak, … soalnya hanya sederhana, tidak mengerti Demokrasi Pancasila. Hal ini disebabkan karena pemimpin kita maupun para cendekiawan 90% adalah pendidikan Barat yang menganut sistem demokrasi asas lima puluh ditambah satu .
Proses peminggiran Islam politik yang dibahasakan oleh Alamsyah sebagai suatu kesalahan persepsi, pada dasarnya juga merupakan komitmen keumatan yang harus dimiliki oleh MUI. Komitmen MUI dalam berbagai masalah ternyata tidak lepas dari kebijakan keagamaan secara makro yang diterapkan oleh Departemen Agama. Gagasan awal berdirinya MUI baru terealisasi pada saat Menteri Agama dipegang oleh Mukti Ali. Program yang menonjol saat Mukti menjabat adalah pertama, masalah kerukunan umat beragama dengan menggagas perlunya tradisi dialog antaragama. Kedua, menjadikan agama sebagai landasan pembangunan nasional, dan ketiga pemberdayaan kepemimpinan umat. Oleh karena itu pada awal kelahiran MUI pemerintah mengorientasikan MUI pada garis kebijakan keagamaan rezim Orde Baru.
Setelah Mukti Ali, jabatan Menteri Agama dipercayakan Soeharto kepada Alamsyah Ratu Perwiranegara. Pada zaman Alamsyah, orientasi programnya mengacu kepada memantapkan ideologi dan falsafah Pancasila dalam kehidupan beragama, memantapkan stabilitas ketahanan nasional, dan meningkatkan partisipasi umat beragama dalam menyukseskan pembangunan nasional. 
Pengganti Alamsyah adalah Munawir Sadzali. Saat ia menjabat sebagai Menag tugas terberat yang diembannya adalah mencairkan ketegangan ideologis antara umat Islam dan pemerintah. Munawir dalam menanggapi ketidakpuasan umat Islam terhadap negara mengedepankan prinsip pengembangan kehidupan keagamaan dan menjaga harmonisasi hubungan antar umat beragama.
Suatu hal menarik dari pendekatan pemerintah untuk membuat loyalitas umat Islam dan mengikis ketegangan antara umat Islam dan negara ditandai dengan beberapa kebijakan rezim Orde Baru yang justru menyinggung rasa keberagamaan para ulama. Kerapkali dikemukakan bahwa kebijakan rezim Orde Baru justru semakin menguatkan persepsi, bahwa pemerintah tetap phobi terhadap umat Islam. Beberapa kebijakan yang dilahirkan secara transparan menunjukkan ketidak hati-hatiannya. Seperti aliran kepercayaan, P4, asas tunggal, masalah dakwah, kependudukan, pendidikan nasional , jilbab, perjudian, Pendidikan Moral Pancasila, dan pemilihan mata pelajaran agama.
Untuk mencari titik temu antara keinginan pemerintah dan umat Islam, maka secara formal pemerintah mengharapkan peran lembaga ulama MUI untuk dapat menterjemahkan keinginan pemerintah tersebut. Pada sisi lain para ulama MUI yang memegang komitmen independensi keulamaan memandang terhadap berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru sebagai dimensi lain dari perjuangan ulama pada masa itu. Tidak heran kalau upaya yang dilakukan MUI juga terkadang identik dengan keinginan pemerintah dalam melegetimasi kebijakannya.

G.      LANDASAN TEORITIK
Dalam reAlitas kehidupan Negara sebagai salah dari organisasi kemasyarakatan tertinggi mengandung kedudukan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dalam rangka mewujudkan dan menciptakan kerja sama antar anggota masyarakat untuk memnuhi kebituhan masing- masing sebagai syarat mutlak untuk mencapai kebahagiaan dan ketertiban. Namun disamping itu, peran sebuah kekuasaan dalam kehidupan berbangsa tidak dapat dikesampingkan begitu saja, karena untuk mengatur kerjasama yang baik dalam masyarakat diperlukan seorang penguasa yang memegang tampu kekuasaan dengan tugas mengatur lalu lintas kehidupan masyarakat.

Al Farabi mengatakan:
Negara pada pokoknya tidak ubahnya sebagai susunan tubu menusia yang sangat sempurna. Masing- masing anggotanya yang masing- masing berbeda tugas dan kesanggupan, dan diatas sumuanya terdapat suatu anggota yang merupakan kepala seluruh anggotanya yaitu hati. Demikian halnya dengan Negara, dimana masing- masing rakyatnya mempunyai tugas dan seorang pemimpin Negara dan yang lainnya membantunya dalam berbagai kedudukan sesuai dengan fungsinya.[6]
            Soehino menyimpulkan ajaran Aristoteles tentang Negara, dengan mengatakan manusia menurut aristoteles hanyalah dapat berbahagia apabila ia berada didalam Negara dan hidup bernegara, karena manusia itu membutuhkan bantuan manusia lain untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian perimbangan antara manusiadan Negara, negaralah yang primer dan wajib didahulukan.[7]
Dengan memperhatikan pernyataan- pernyataan dari para ahli politik di atas jelaslah bahwa peran Negara dalam kehidupan sangat penting. Negara dalam kehidupan memang tidak dapat disangkal keberadaannya, ia menetapkan peraturan- peraturan untuk keperluan masyarakat.[8]

Ibn Taimiyah mengatakan:
Memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama, bahkan untuk melaksanakan iwqamuddin tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengana adanya pemimpin sedangkan seluruh anak adam tidak mungkin akan mendapatkan kemashlahatan yang optimal, apabila tidak terdapat perkumpulan (organisasi) yang dapat mengikat dan memecahkan problem mereka serta memenuhi kebutuhan mereka. Dan peerkumpulan tersebut sudah pasti membutuhkan seorang penguasa yang akan mengendalikan, mengarahkan, dan mengatur anggotanya dengan tujuan agar anggotanya menjadi tertib dan teratur.[9]
Ibn taimiyyah berpendirian, seorang kepala Negara yang zalim lebih baik bagi rakyat daripada mereka harus hidup tanpa kepala Negara (penguasa).[10]
Pada dasarnya pengangkatan dan pelimpahan kekuasaan pada seorang penguasa (kepala negara) dalam masyarakat tidak lain hanyalah untuk ketertiban dan ketentraman masyarakat. Hal ini sebgaaimana diungkapkan oleh Imam Munawwir, bahwa pelimpahan dan pengangkatan seorang amir (pemimpin) atau ketua masyarakat baik yang berskala besar atau kecil, bertujuan agar urusan masyarakat dapat terealisasi berjalan dengan mulus dan teratur. Dan semua ini tidak mugkin terlaksana dan tercapai melaikan adnaya peran penguasa di dalam masyarakat, sehingga segala perbedaan pendapat, permusuhan dan perpecahan dapat tuntas. [11]
            Para pemikir besar politik di atas menyetakan otoritas seorang penguasa sangat dibutuhkan untuk kepentingan masyarakat dan Negara, tetapi yang menjadi problem adalah ketika kekuasaan yang diberikan kepada penguasa tersebut tidak dapat dipergunakan untuk tujuan kepentingan masyarakat dan Negara. Arif budiman mengatakan, sekiranya kekuasaan yan gdiberikan kepada penguasa terlalu besar (tanpa batas) maka akan berakibat kekuasaan penguasa akan menjadi otoriter dan menyebabkan a adanya kekuatan dari rakyat yang akan memproternya. [12]
Al ghazali berpendapat bahwa gejala yang sangat membahayakan masyarakat dan Negara dalah penguasa Negara yang kerasukan nafsu ingin kuasa sepenuhnya. Terutama jika penguasa sudah mulai memandang dirinya sebagai penguasa yang maha kuasa, maka bahkan saja ia menjadi ancaman bagi keamanan masyarakat dan Negara, bahkan akan mengancam perdamaian dunia, karena sifat agresifnya yang mungkin timbul.[13]

Abdullah Ahmed An Naim mengatakan:
Kehidupan menudia membutuhkan bentu- bentuk otoritas atau pemerintahan yang memiliki kekuasaan untuk memilihara hukum dan ketertiban, serta mengatur aktifitas politik , ekonomi dan social. Namun bagaimanapun, disebabkan oleh perjalannan waktu, harus disadari bahwa dalam rangka menghindari, bahaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dan untuk menjamin kekuasaan pemerintahan yang sah melalui metode- metode yang salah ditentukan, maka struktur dan fungsi pemerintahan harus diatur dengan aturan yang terdefinisikan dengan jelas diterapkan dalam konteks Negara yang disebut dengan konstilasi Negara. [14]

1.    Majlis Ulama Indonesia dan Fatwa
Fatwa MUI merupakan bagian akhir dari pendirian ulama terhadap suatu masalah tertentu dan memberikan nasihat kepada pemerintah tentang peraturan hukum agama untuk dipertimbangkan dalam menyusun suatu kebijakan. Fatwa MUI dikeluarkan atas inisiatif sendiri ataupun saran dan masukan dari masyarakat, organisasi keilslaman lainnya, bahkan dari pemerintah. Oleh karena itu karena Fatwa MUI memiliki kekuatan hukum dan moral bagi umat Islam, kekuatan dari eksintensi MUI dinilai dari sikap/pendapat MUI dalam bentuk fatwa
Sejumlah fatwa dan pernyataan sikap serta implimentasi sejumlah program kerja MUI memperlihatkan sejauhmana hubungan antara ulama dan pemerintah. Sikap dan kebijakan MUI terkadang tarik ulur dengan kepentingan pemerintah. Disatu pihak ada kenyataan bahwa pemerintah senantiasa menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap MUI dan memberikan bantuan keuangan, tetapi dipihak lain MUI selalu berada di bawah tekanan untuk membenarkan politik pemerintah dilihat dari sudut agama.
Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa MUI dilakukan oleh Komisi Fatwa. Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. Persidangan-persidangan Komisi Fatwa diadakan menurut keperluan atau bila MUI diminta pendapatnya oleh umum atau pemerintah mengenai persoalan tertentu. Untuk mengeluarkan suatu fatwa, MUI mengadakan persidangan selama satu kali atau bahkan beberapa kali. Dalam persidangan untuk menghasilkan sebuah fatwa disamping hadir para ketua dan anggota dari Komisi Fatwa juga hadir para ulama bebas dan ilmuan sekular, yang ada hubungannya dengan masalah yang dibicarakan
Adanya kecenderungan MUI dalam mengeluarkan fatwanya bersifat pasif, timbul suatu penilaian bahwa, fatwa yang dikeluarkan MUI adalah sebagai alat untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah, misalnya fatwa tentang Keluarga Berencana (KB). Sehingga terhadap fatwa semacam ini menimbulkan pertentangan pandangan dalam tubuh MUI yang di dalamnya terdapat elemen-elemen ulama, dan kritikan publik terhadap MUI.

Mengenai kontroversi sebuah fatwa, Ibrahim Husen mengatakan:[15]
Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI itu merupakan hasil pemikiran secara seksama antara ulama yang ada di MUI khususnya Komisi Fatwa. Kalau selanjutnya ada fatwa yang kontroversi, itu lebih karena interpretasi terhadap landasan dalil-dalil yang dijadikan argumen sebuah fatwa. Ulama yang komit terhadap tanggungjawab keumatan, tentu akan lebih mementingkan kebenaran dan kemaslahatan dari fatwa yang dikeluarkan. Tidak bisa dipungkiri sepanjang berdirinya MUI, ada fatwa yang dianggap lebih condong kepada pemerintah. Kenyataan inilah yang sulit difahami keinginan dari pemerintah dan kekhawatiran umat Islam akan dampak yang ditimbulkan
Fatwa merupakan simpulan akhir dari pendapat MUI, untuk menghindari kontroversi sebuah fatwa, sebenarnya telah ditetapkan prosedur penetapan fatwa. Menurut prosedurnya fatwa mengenai masalah yang berkenaan dengan kepentingan umat secara nasional ditetapkan oleh MUI Pusat dan mengenai masalah daerah ditetapkan oleh MUI Daerah yang bersangkutan. Ketetapan suatu fatwa ditentukan oleh Dewan Pimpinan MUI setelah dibahas di Komisi Fatwa. Selanjutnya oleh Dewan Pimpinan, fatwa tersebut disampaikan kepada pemerintah atau kepada masyarakat luas. Meskipun demikian, karena fatwa yang di keluarkan MUI sifatnya dilakukan oleh lembaga formal tempat berhimpunnya para ulama dari berbagai elemen ormas Islam, kontroversi sebuah fatwa tetap terjadi. Kontroversi Fatwa MUI memperlihatkan sejumlah kepentingan politis pemerintah terhadap umat Islam, juga menggambarkan sampai sejauhmana kekuatan prinsip ulama terhadap keinginan pemerintah dalam melegitimasi suatu kebijakan menyangkut umat Islam.
Prinsip ulama terhadap suatu masalah adakalanya dilakukan tidak menggunakan fatwa, tetapi bersifat keputusan. Hal ini tampaknya dilakukan oleh MUI mengingat kadar sebuah fatwa lebih kuat dan menyangkut masalah ibadah. Biasanya sikap ulama MUI dalam bentuk keputusan ditujukan kepada hal-hal yang erat kaitannya dengan masalah kebangsaan. Rupanya hal ini dilakukan untuk menjaga keharmonisan hubungan MUI dan pemerintah.
Fatwa yang di keluarkan oleh MUI dapat di golongkan ke dalam lima bidang masalah yakni, mengenai masalah ibadah, seni-budaya, politik, dan sosial kemasyarakatan, dan faham keagamaan.
Seperti tampak dalam tabel, fatwa-fatwa yang di keluarkan MUI relatif sedikit dibanding kompleksitas permasalahan kemasyarakatan baik dalam urusan ibadah maupun sosial. Fatwa MUI pada dekade 1970-an dibanding dekade 80-an, fatwa pada dekade 1980-an tampak tidak begitu produktif. Mengapa demikian? Tampaknya MUI ingin menghindari pengeluaran fatwa terlampau banyak. MUI terlampau sering mendapat kritikan dan gagal dalam mengadakan pilihan yang tepat terhadap persoalan-persoalan yang difatwakan, seperti fatwa tentang tinju. Sebab lainnya adalah sifat hubungan antara MUI Pusat dengan MUI Daerah dalam mengeluarkan sebuah fatwa. Kewenangan MUI Daerah untuk dapat mengeluarkan fatwa berdasarkan karakterstik daerah setempat, terkadang berpengaruh secara nasional seperti halnya fatwa kodok.
Hal yang menarik dari fatwa MUI adalah derajat keterpengaruhan dari pemerintah. Seperti telah disinggung di muka, bahwa fatwa MUI juga berperan sebagai legitimasi formal bagi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Terhadap kebijakan tertentu khususnya yang melibatkan umat Islam secara khusus, pemerintah meminta bantuan MUI untuk mengeluarkan fatwanya.
Berdasarkan penelitian Atho Mudhar, sepanjang tahun 1975 – 1988, terdapat 8 fatwa yang mendapat pengaruh besar dari pemerintah, yakni:
Tempat miqat (berganti pakaian pada saat ibadah haji dengan menggunakan kain ihram/kain putih yang tidak dijahit dan dililitkan ke tubuh) di Jedah dan Bandara Udara.Penjatuhan talaq tiga sekaligus, Penyembelihan hewan qurban dengan mesin, Pembudidayaan dan memakan daging kodok., Keluarga Berencana, Penggunaan IUD., Gerakan Syiah di Iran, dan Hukum makan daging kelinci.
Sedangkan fatwa yang relatif sangat kecil mendapat pengaruh dari pemerintah adalah fatwa tentang; (1) haramnya penguguran kandungan, (2) Larangan vasektomi dan tubektomi, (3) larangan bagi kaum muslimin hadir dalam perayaan Natal.
Reaksi masyarakat terhadap fatwa-fatwa tersebut mempunyai kadar responsi yang berbeda. Hal yang paling menyolok mendapat reaksi dari masyarakat antara lain fatwa yang berhubungan erat dengan masalah kependudukan. Masyarakat menganggap bahwa MUI telah terjebak kepada keinginan pemerintah untuk mengeluarkan fatwa yang mendukung lancarnya program keluarga berencana. Terhadap fatwa ini banyak da’i yang melakukan protes keras terhadap MUI dalam khutbah-khutbahnya, seperti yang di lakukan oleh H. Salim Qadar, tokoh Banten yang juga Ketua III KMI. Fatwa lainnya yang mendapat respons besar dari masyarakat adalah mengenai fatwa pembudidayaan dan memakan daging kodok. Fatwa ini menjadi kontroversi karena masalah fatwa masalah kodok ini yang semula di keluarkan oleh MUI Sumatera Barat ternyata menjadi perbincangan umat secara nasional. Kekagetan umat Islam terhadap fatwa ini karena menganggap ketidaklaziman terhadap budi daya kodok. Masyarakat menuding fatwa ini hanya untuk mendukung program pemerintah khususnya Departemen Pertanian tentang budi daya kodok
Dampak secara lebih luas sebagai ekses dari fatwa yang dikeluarkan oleh MUI menimbulkan fluktuatif hubungan antara Islam dan negara sekaligus menggambarkan sejauh mana peran ulama dalam memandang realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti digambarkan tadi, terdapat pula fatwa MUI yang bersifat politis yaitu fatwa tentang Sidang Umum MPR tahun 1978. Ini berarti MUI telah ikut dalam urusan kenegaraan. Alasan yang mendasar bagi MUI untuk mengeluarkan fatwa tentang SU MPR adalah situasi dan kondisi yang menghangat pasca Pemilu 1997 yang untuk kedua kalinya partai politik Islam mengalami kekalahan dan munculnya bermacam-macam pernyataan dari MUI Daerah tentang dampak pemilu dan harapan akan hasil Sidang Umum yang lebih akomodatif.
Kekhawatiran dari umat Islam akan Sidang Umum MPR 1978 ketika munculnya kabar akan di masukkannya Aliran Kepercayaan dalam GBHN, rencana sumpah dan janji para penganut kepercayaan dengan menggunakan tata cara tersendiri, dan dirumuskannya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Permasalahan ini menjadi kekhawatiran bagi kalangan Islam akan terjadinya sekularisassi agama. Tentu saja bagi MUI permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang sangat esensial. Oleh karenanya MUI memandang perlu untuk mengeluarkan fatwa SU MPR 1978.
Adanya fatwa ini bagi pemerintah adalah sesuatu yang sangat menguntungkan. Karena ulama telah menghimbau kepada umatnya untuk dapat menyukseskan Sidang Umum MPR 1978. Apakah dengan dikeluarkannya fatwa ini sebagai respon kritis MUI ataukah sebuah legitimasi ulama untuk lancarnya program pemerintah ?. Tampaknya yang menjadi latarbelakang yang esesnsial dikeluarkannya fatwa ini adalah dampak dari kemenangan Golkar pada pemilu 1977 yang telah mengantarkan golongan non santri duduk di dalam lembaga legislatif maupun eksekutif. Golongan Islam sangat hawatir akan terjadinya sekulerisasi bahkan Kristenisasi dengan adanya bukti akan di masukannnya aliran kepercayaan ke dalam GBHN dan juga masalah P4. Bagi MUI, terciptanya suasana stabil akan dapat mampu lebih mengakomodatifkan kepentingan umat di dalam SU MPR.
Persoalan lain yang kontroversi menyangkut Fatwa bidang sosial yaitu Porkas; suatu kupon undian yang diharapkan mampu memberikan sumbangan /tambahan bagi pendanaan kegiatan olah raga khususnya sepakbola. Perkembangan selanjutnya Porkas berganti nama menjadi Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Pola penjualan kupon ini ternyata mengandung unsur untung-untungan, yang dalam kacamata agama dikategorikan bentuk judi dan hukumnya haram. Oleh karena itu kebijakan SDSB ini mendapat pertentangan keras dari umat Islam. Beberapa ormas Islam telah melakukan sikapnya dengan mengatakan SDSB itu haram. Sikap serupa ditunjukkan pula oleh MUI daerah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Yogyakarta. Terhadap masalah ini, MUI pusat yang notabene refresentasi wakil ulama Islam tingkat nasional bertindak diam.
Ibrahim Husen salah seorang Ketua MUI komisi Fatwa malahan menilai bahwa Porkas bukan perjudian karena para pembeli kartu undian tidak berada pada satu tempat. Pernyataan ini menimbulkan kontroversial dan caci maki terhadap MUI. Pada saat itu ternyata hubungan MUI dengan pemerintah lebih tampak kooptasi pemerintah terhadap MUI, sehingga MUI berada pada posisi terjepit dan lebih banyak mengambil sikap diam. Hasan Basri Ketua Umum MUI waktu itu mengakui bahwa MUI berada pada posisi sulit apabila nyata-nyata kebijakan pemerintah bertentangan dengan kaidah prinsip nila-nilai keislaman.

H.      METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu sebuah penelitian yang berusaha mengungkap keadaan yang bersifat alamiah secara holistic. Masalah dan fakta akan digambarkan secara deskriptif, kemudian dianalisis guna memperoleh gambaran utuh tentang permasalahan yang diteliti. Penelitian kualitatif bukan hanya menggambarkan variable yang satu dengan variable yang lain[16]. Artinya, menurut West, dengan penggunaan jenis penelitian ini, penulis memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variable menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang meiliki validitas universal[17].
 1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data literer atau library research (studi pustaka). Namun, karena terbatasnya data mengenai fatwa golongan putih, penulis banyak mengutif fakta dengan browsing di internet. Adapun data yang penulis gunakan disamping itu adalah data sekunder yang terdiri dari:
a.       Bahan hukum primer, fatwa MUI tentang golput.
b.      Bahan hukum sekunder, berupa buku, artikel, jurnal, dan majalah. 
c.       Bahan hukum tersier, berupa kamus yang berguna untuk mempertajam analisa penulis.

2. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data dalam penelitian ini adalah content analysis (analisis isi) dengan paradigma kritis. Dengan analissis semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai bahan pustaka yang ada dan searah dengan obyek kajian yang dimaksud dalam menyikapi pola pikir mengenai keberpihakan MUI terhadap pemerintan orde beru serta kaitannya dengan fatwa tentang golongan putih.

3. Pendekatan Studi
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua metode, yaitu:
a.             Metode Komparatif
   Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh m. hasbi ash shiddiqie, metode penelitian komparatif adalah suatu ilmu yang menerangkan hukum syara’ dengan mengemukakan pendapatyang berbeda- beda terhadap suatu permasalahan dan dalil- dalil dari mesing- masing pendapat itu, keidah—kaidah yang dipergunakan, serta membandingkan yang satu dengan yang lain. Kemudian mengambil mana yang lebih denkat dengan kebenaran dan membandingkannya dengan peraturan yang berlaku di suatu negeri.

b.Pendekatan Sosiologis
   Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang berusaha menggambrkan tentang keadaaan masyarakat atau fenomena social yang dapat dianalisa dengan factor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas social serta keyakinan- keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut. Adapun tujuan utama penggunaan jenis pendekatan ini adalah untuk menyoroti factor dan dampak dari fatwa tentang golongan putih pada pemilu[18].

I.         SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Untuk mempermudah pengetahuan tentang isi dari penulisan penelitian ini, maka secara global penelitian ini dapat di ringkas kedalam beberapa bab, yaitu:
·         Bab I Pendahuluan, bab ini mengandung beberapa unsur dalam penulisan penelitian, seperti: latar belakang, definisi operasional, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan sistematika pembahasan.
·         Bab II Tinjauan, bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang Majlis Ulama Indonesia
·         Bab III Hasil Penelitian, bab ini berisi tentang deskripsi tentang fatwa MUI tentang golongan putih
·         Bab IV Analisis, bab ini berisi tentang studi kritis terhadap keberpihakan MUI terhadap pemerintah dalam fatwanya tentang golongan putih
·         Bab V kesimpulan dan saran
·         Daftar pustaka
·         Lampiran



[1] Lihat: Muhammad Taufiqqurahman, , - detikNews http://www.detiknews.com/read/2009/01/28/072928/1075280/10/fatwa-haram-golput-berlebihan,-mui-sebaiknya-hanya-imbau-saja. Fatwa Haram Golput Berlebihan. Diakses pada 01 Juni 2009 Pkl. 22.11.
[2] Lihat: di: http://www.islamic-bookfair.com/index.php?option=com_content&task=view&id=47&Itemid=27. Seputar Fatwa Haram Golput. Diakses pada 01 Juni 2009 Pkl. 15.00.
[3] Lihat: http://myrazano.com/menyoal-fatwa-mui/. Menyoal Fatwa Mui. Dakses pada 01 Juni 2009. Pkl. 22.20.
[4] Lihat:  http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia
[5] Sukardja, Ahmad, 1995, Piagam Madinah dan Undang- Undang Dasar 1945 (Kajian Perbandingan…), Jakarta: Universitas Indonesia Press, Hlm 161- 162.
[6] Jailani, Abdul Qadir, 1998, Negara Ideal Menurut Konsep Islam, Surabaya: Bina Ilmu, Hlm. 8-9
[7] Soehino, 1993, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, Hlm. 24-25
[8] Barent, J, 1981, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Erlangga, Hlm. 28
[9] Taimiyah, Ibn, 1995, Siasah Syari’ah; Etika Politik Islam (Alih Bahasa: Rafi’ Munawwir) Surabaya: Risalah Gusti, Hlm. 156.
[10] Sadzali, Munawwir, 1993, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran), Jakarta: Universitas Indonesia Press, Hlm.76
[11] Munawwir, Imam, 1980, Asas- Asas Kepemimpinan Islam. Surabaya: Usaha Nasional. Hlm. 98
[12] Budiman, Arif, 1997, Teori Negara, (Negara, Kekuasaan, Ideologi), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 24
[13]Ahmad, Zainal Abidin H, 1975, Konsep Negara Bermoral Menurut al Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 310
[14] An Nai’m, Abdullah Ahmed, 1994, Demokrasi Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 134
[15] Kadarsolihin, In, “Dalam Ulama Dan Konstalasi Politik Orde Baru”, Lihat:  http://sekolahfavorit.blogspot.com/
[16] Ali, M. Sayuti, 2002, Metodologi Penelitian Agama (Pendekatan, Teori dan praktek), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 47
[17] Sukandi, 2005, metodologi penelitian pendidikan: kompetensi dan prakteknya, Jakarta: pt. bumi aksara, hlm. 15
[18]  Abudin, Nata, 2001, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 39


DAFTAR RUJUKAN

Buku:
Abudin, Nata, 2001, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Ahmad, Zainal Abidin H, 1975, Konsep Negara Bermoral Menurut al Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang
Ali, M. Sayuti, 2002, Metodologi Penelitian Agama (Pendekatan, Teori dan Praktek), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
An Nai’m, Abdullah Ahmed, 1994, Demokrasi Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Barent, J, 1981, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Erlangga
Budiman, Arif, 1997, Teori Negara, (Negara, Kekuasaan, Ideologi), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Jailani, Abdul Qadir, 1998, Negara Ideal Menurut Konsep Islam, Surabaya: Bina Ilmu
Munawwir, Imam, 1980, Asas- Asas Kepemimpinan Islam. Surabaya: Usaha Nasional
Sadzali ,Munawwir, 1993, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran), Jakarta: Universitas Indonesia Press
Soehino, 1993, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty
Sukandi, 2005, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Prakteknya, Jakarta: PT. Bumi Aksara
Sukardja, Ahmad, 1995, Piagam Madinah dan Undang- Undang Dasar 1945 (Kajian Perbandingan…), Jakarta: Universitas Indonesia Press
Taimiyah, Ibn, 1995, Siasah Syari’ah; Etika Politik Islam (Alih Bahasa: Rafi’ Munawwir) Surabaya: Risalah Gusti,

Internet:
·         Muhammad Taufiqqurahman, , - detikNews http://www.detiknews.com/read/2009/01/28/072928/1075280/10/fatwa-haram-golput-berlebihan,-mui-sebaiknya-hanya-imbau-saja. Fatwa Haram Golput Berlebihan. Diakses pada 01 Juni 2009 Pkl. 22.11.
·         http://www.islamic-bookfair.com/index.php?option=com_content&task=view&id=47&Itemid=27. Seputar Fatwa Haram Golput. Diakses pada 01 Juni 2009 Pkl. 15.00.
·         http://myrazano.com/menyoal-fatwa-mui/. Menyoal Fatwa MUI. Dakses pada 01 Juni 2009. Pkl. 22.20.
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia
·         Kadarsolihin, In, “Dalam Ulama Dan Konstalasi Politik Orde Baru”, Lihat:  http://sekolahfavorit.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar