Muslimspot.com

Rabu, 04 Mei 2011

Jangan Boikot Pajak

Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Fenomena pajak beberapa akhir ini menjadi sorotan mendalam media dan masyarakat luas. Hal ini bukan disebabkan oleh prestasi Ditjen (Direktorat Jendral) Pajak selaku pihak yang dipercaya menangani masalah perpajakan di Indonesia melainkan sebaliknya karena torehan negatif lembaga tersebut. Bagaimana tidak, tabir penggelapan dana pajak yang mencuat akhir- akhir ini sudah cukup sebagai alasan rakyat menyuarakan pemboikotan pembayaran pajak di media jejaring sosial Face Book. Dan jika hal ini benar- benar terjadi maka apa kata dunia?
Pajak merupakan beban yang ditetapkan oleh pemerintah, yang dikumpulkan sebagai keharusan dan dipergunakan untuk menutupi anggaran umum pada suatu segi. Sedangkan pada segi lain, untuk memenuhi tujuan- tujuan perekonomian, kemasyarakatan, politik, serta tujuan- tujuan lainnya yang dicanangkan oleh negara. 
Ironis memang jika melihat darimana pajak itu berasal dibandingkan dengan keadaan rakyat yang begitu menderita di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan dan sosial. Di satu sisi,  jauh di beberapa penjuru negeri ini banyak anak yang menderita busung lapar karena kelaparan, putus sekolah dan prosentase pengangguran yang tak kunjung berkurang. Di sisi lain, para pejabat bermewah- mewah dengan fasilitas negara yang wah dan dipandang tak manusiawi pada akhir dekade ini.
Belakangan diketahui bahwa penyebab fenomena memperihatinkan ini adalah penggelapan dana pajak yang note- benenya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat dan digunakan untuk kepentingan pribadi para pejabat dan kaum elit di tanah air.
Bagi kalangan yang sadar atau mengetahui seluk- beluk pajak tentu akan memiliki tanggapan berbeda dengan yang kurang atau sama sekali tidak mengetahui penyelewengan yang terjadi. Bagi mereka yang tahu, tentu akan sangat terkoyak nuraninya dan mengutuk perbuatan penyelewengan tersebut. Sedangkan bagi mereka yang tidak, paling ridak akan menganggap pajak yang selama ini mereka percayakan kepada negara untuk dikelola dengan baik hanya sebagai “upeti” wajib untuk pemerintah sebagai sewa tempat dimana mereka tinggal. Dengan kata lain, mereka akhirnya sadar bahwa hidup di tanah air yang telah merdeka sejak 64 tahun silam ini adalah bag hidup ng-kos yang identik dengan kehidupan mahasiswa.
Menarik untuk ditinjau status pajak dalam yurisprudensi islam (fiqh) mengingat sebagian besar penduduk negeri ini adalah muslim. Dalam beberapa kajian mengenai pajak dalam fiqh islam kerap dikaitkan dengan zakat, rukun islam yang keempat. Keterkaitan ini diangkat terilhami dari sistem perekonomian yang ada pada masa Rasulullah mendirikan Negara Madinah yang diatur dalam suatu piagam terkenal yaitu Piagam Madinah. Pada pasal ke-37 piagam tersebut dinyatakan “Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya,…”. Hal ini merupakan isyarat adanya kewajiban seluruh penduduk Negara Madinah di bidang ekonomi saat itu tanpa membedakan agama dan suku. Sejatinya pajak atau yang di sebut biaya pada piagam tersebut bertujuan untuk solidaritas sosial dan pada akhirnya mampu mensejahterakan rakyat sebagai pihak yang dibebankan membayarnya. Tentunya didukung pula dengan  administrasi yang baik hingga penyalurannya yang tepat guna sehingga pada masa itu dikenal dengan masa tamaddun yaitu masa dimana umat islam memulai peradabannya dalam bidang administrasi negara di bidang ekonomi.
Di Indonesia, peraturan yang             memuat ketentuan umum perpajakan  adalah Undang- Undang nomor 9 tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Di dalamnmya dinyatakan secara tuntas tentang definisi tujuan pajak sebagaimana disebutkan terdahulu.
Dalam beberapa kajian keislaman di Indonesia dapat ditemui adanya upaya mensinergikan antara pajak dan zakat bahkan disatukan alias kewajiban pajak dianggap telah menggantikan zakat. Hal ini disebabkan karena adanya kesamaan tujuan diantara keduanya.
Adalah Masdar F. Mas’udi seorang tokoh muda NU pada saat itu menulis buku yang memberikan argumentasi bahwa zakat tidaklah harus dilaksanakan dengan cara yang selalu dianggap benar oleh masyarakat muslim. Secara radikal, Masdar menyatakan bahwa sistem perpejakan modern dalam suatu negara kesejahteraan mungkin dapat menggantikan fungsi zakat. Dengan kata lain, jika kaum muslimin membayar pajak untuk kesejahteraan [rakyat] maka pembayaran pajak itu dianggap sebagai kewajiban agama dan pemenuhan zakat. Akan tetapi tentunya usulan ini mendapat kritikan luas karena alasan radikalisme agama.
Adalah Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Ath- Thayyar berpendapat bersebrangan dengan pendapat pertama. Menurut dia, pembayaran pajak menurut pemerintah tidak bisa dijadikan sebagai pembayaran zakat karena perbedaaan yang terdapat antara keduanya. Seperti perbedaan pihak yang mewajibkan, tujuan, jenis harta, volum yang wajib dibayar serta penyalurannya.
Mendeskripsikan lebih lanjut bagaimana kontaversi yang ada tentu membutuhkan forum dan waktu yang tidak sedikit dan terbatas sehingga tidak mungkin untuk diangkat dalam tulisan ini. Namun yang pasti bahwa terlepas dari perbedaan pendapat yang ada hal ini merupakan indikasi betapa fundamentalnya eksistensi zakat dan atau pajak dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat yang sering dipertanyakan selama ini.
Dengan demikian, tulisan ini dapat dikatakan respon terhadap kalangan yang mencoba menyuarakan pemboikotan terhadap pembayaran pajak. Menurut penulis, ekspresi berlebihan ini merupakan ekspresi atas emosional individu yang ditransformasi berkekuatan komunal tanpa ada pertimbangan sosial dan keagamaan.
Coba kita pertimbangkan kembali segi mudharah (bahaya) dan manfaah (manfaat) yang ditimbulkan oleh tindakan pemboikotan ini. Hal ini dapat kita lakukan misalnya dengan mempelajari kembali kaidah- kaidah fiqh sebagai “sumber ketiga” ajaran islam. Terutama yang terkait dengan mashlahah. Dalam kaidah tersebut disebutkan “jika terdapat dua kemudharatan maka ambillah salah satu yang mudharatnya lebih ringan”. Di sini, pemboikotan pajak dapat dianggap sebagai hal yang memiliki segi mudharat lebih besar daripada mendukung terciptanya kepercayaan terhadap pemerintah supaya dapat menuntaskan permasalahan pelik perpajakan negara ini. 
Maka sepatutnya rambu- rambu syari’at ini menjadi pertimbangan mendalam kaum muslimin sebelum memutuskan memboikot pembayaran pajak yang selama ini telah menopang 70%  atau sekitar Rp. 611 triliun APBN negara sembari membangun kembali kepercayaan terhadap pemerintah dalam menuntaskan segala permasalahan. Janganlah mempersamakan aksi ini degan aksi solidaritas yang pernah terjadi sebelumnya pada kasus Prit  dan Bibit- Chandra. Sebab aksi seribu fecebookers dalam hal pemboikotan pajak ini tidaklah dapat dipersamakan dengan aksi seribu facebookers peduli Prita atau Bibit- Chandra yang tidak mempunyai konsekuensi kemashlahatan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Note:
*Penulis adalah aktifis Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum Islam- FIAI- UII Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar