Muslimspot.com

Selasa, 03 Mei 2011

Sejarah Perkembangan Pemikiran dan Karya Intelektual KH. Abdurrahman Wahid



Oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Perkembangan dan Tipologi Pemikiran 
Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam klasik dan pendidikan Barat modern. Faktor-faktor ini merupakan prasyarat baginya untuk mengembangkan  ide- ide liberalnya.[1] Dalam kegiatan- kegiatannya yang berkaitan dengan perjalanan, membaca dan memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini. Menurut Greg Barton, barangkali ia mengerjakan hal ini secara lebih lengkap dari pada mayoritas inteletual Islam Indonesia lainnya.[2]
Secara kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, semua aktifitas tersebut mendapat apresiasi oleh banyak pihak, termasuk yang tampak dari penghargaan Megsaysay dari pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993) dan Penghargaan Dakwah Islam Dari Pemerintah Mesir (1991).[3]
Cendikiawan liberal seperti Gus Dur dan kebanyakan ulama NU terbuka untuk berlajar dari tradisi lain, termasuk tradisi-tradisi yang terdapat di jantung spiritualitas Jawa dan Asia Tenggara sebelum datangnya Islam. Greg dalam Syafi’i Ma’arif, menyebut Gus Dur sebagai seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus dan membebaskan batas-batas orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk ke wacana  modern, liberal, dan kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Islam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar. [4]  Hal ini sejalan dengan keyakinan yang dianut secara luas oleh kaum tradisionalis bahwa segala sesuatu yang tidak secara jelas diharamkan oleh Al-Qur’an dan sunnah Nabi maka hal itu diizinkan selama terdapat konsistensi dengan prinsip-prinsip dan nilai –nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sebaliknya kaum cendikiawan konservatif dengan  latar belakang  modernis, jika sesuatu tidak ada acuannya dalam Al-Qur’an dan sunnah, maka hal itu harus diperlakukan secara hati- hati; dan jika sesuatu mengandung unsur bertentangan dengan monoteisme Islam maka hal itu juga harus dihindari.[5]



Dalam prakteknya, keterbukaan Gus Dur terhadap tradisi, dituangkannya dalam kehidupan sehari- hari. Pada saat itu Gus Dur mencoba menggabungkan studi Islam dengan pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap ilmu dan pemahaman. Ia sangat tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari kebudayaan Islam tradisional.[6] Dalam pandangan Gus Dur terdapat perbedaan antara panteisme yang terdapat dalam mistisme kaum abangan dan priyai yang sangat tidak Islami dengan monoteisme yang terdapat dalam sufisme Islam tradisional. Hal inilah yang menurut Greg Barton, merupakan perbedaan yang fundamental antara pendekatan yang digunakan kaum modernis dan tradisional terhadap kebudayaan Indonesia.[7]
Pola pemikiran Gus Dur, kiranya dapat ditelusuri sejak tahun 1970-an. Pada periode awal ini ia banyak mencurahkan perhatiannya tentang dunia pesantren yang memang digelutinya secara langsung. Ia telah menulis sejumlah artikel, dan bagian- bagian terpentingnya dipublikasikan dalam buku “Bunga Rampai Pesantren (1978)”,. Di samping ia memperkenalkan kepada orang luar prihal kekuatan yang ada di pesantren, misalnya percaya diri dan gaya hidup sederhana. Gus Dur mengingatkan kepada orang dalam bahwa pesantren kini sedang dipersimpangan jalan, bahkan dalam ambang kemandegan. Hal itu diantaranya disebabkan karena imbas modernitas di satu sisi dan di sisi lain karena kurang terakomodasinya tuntutan- tuntutan masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat. Maka tidak ada jalan lain menurutnya kecuali harus dilakukan “dinamisasi”, yaitu usaha untuk membangkitkan kualitas secara progresif yang memungkinkan Islam tetap relevan dan dapat diterima. Yang dapat dicatat di sini bahwa pada tahap awal ini Gus Dur telah menempatkan dirinya sebagai “penyambung budaya”, yaitu membawa sub- kultur (pesantren) ke perbincangan multi-kultur (modernitas), seolah ia berharap orang-orang pesantren dapat mencari jalan keluar sendiri dalam menangani tantangan modernitas. [8]
Ketika Gus Dur memulai eksplorasi keilmuannya di luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang tengah bergulat dengan masalah bagaimana Islam dapat mengadakan perubahan. Menjelang masa dewasanya, ia pernah terpukau oleh Islamisme yang radikal. Tujuh  tahun kemudian ia kembali ke Indonesia sebagai seorang yang penuh komitmen terhadap pemahaman liberal mengenai Islam. Adapun pengaruh-pengaruh yang membentuk liberalismenya tidaklah sulit untuk diidentifikasi, dan juga tidak mengejutkan bahwa daya tarik Islamisme radikal tidak berumur panjang. Menurut John L. Exposito dalam Greg Barton, pengaruh-pengaruh tersebut adalah: pertama, faktor keluarga yang senantiasa mengajarkannya untuk selalu berfikir terbuka dan mempertanyakan sesuatu secara intelektual; kedua, bahwa ia dibesarkan di dunia mistik Islam tradisional Indonesia; ketiga, ia dipengaruhi oleh orientasi budaya dan masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme. Akhirnya ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelejarinya karena keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mencoba mengintegrasikan pemikiran Barat modern dan Islam.[9]
Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya ketika Gus Dur kembali ke Indonesia setelah menjalankan studinya di luar negeri, bersama dengan para intelek lainnya, ia tergabung dalam sekelompok kecil pemikir-pemikir perintis yang tengah bergulat untuk memperbarui pemikiran hukum Islam. Masa tahun-tahun ini, Gus Dur sering terlibat dalam pemikiran intensif dalam merumuskan pemahaman keIslaman yang integral dan komprehensif. Ia mulai melakukan terobosan-terobosan pemikiran, yang kemudian mengantarkannya sebagai pemikir kritis termasuk pada tradisi keagamaannya sendiri. Pemikiran barunya terlihat nyata dalam perumusannya tentang konsep Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja) yang berbeda dengan mainstrem umum pemahaman masyarakat.[10]
Sebagaimana diketahui, doktrin ini merupakan landasan paling pokok dalam pandangan keagamaan kaum tradisionalis. Begitu mendasarnya doktrin ini sampai- sampai dapat disebut, wujud kongkrit tentang apa yang disebut Islam di kalangan ini adalah Aswaja itu sendiri, yang dipahami dalam dimensi ideologi sebagai benteng pertahanan tradisionalisme atas serangan modernisme. Dalam pada itu, berkat komunikasi intelektual dengan berbagai pihak ditambah improvisasinya sendiri Gus Dur mampu menampilkan doktrin Aswaja menjadi konsep akademis yang membawa semangat kemanusiaan universal.[11]
Doktrin Aswaja menurutnya merupakan serangkaian pandangan tentang berbagai sendi kehidupan masyarakat baik berupa pandangan ideologis maupun orientasi kehidupan, di samping seperangkat nilai-nilai yang melandasi kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya bidang Aswaja mencakup beberapa segi, yaitu:
1.      Pandangan tentang manusia dan tempatnya dalam kehidupan.
2.      Pandangan tentang ilmu, pengetahuan, dan teknologi.
3.      Pandangan tentang pengaturan kehidupan bermasyarakat.
4.      Pandangan tentang hubungan individu dan masyarakat.
5.      Pandangan tentang tradisi dan dinamisasinya melalui. pranata hukum, pendidikan, politik, dan budaya.
6.      Pandangan tentang cara- cara pengembangan masyarakat, dan
7.      Asas-asas internalisasi dan sosialisasi yang dapat dikembangkan dalam konteks doktrin yang formal diterima saat ini.[12]
Masing-masing poin di atas dielaborasi oleh Gus Dur sedemikian rupa sehingga jelas konseptualisasinya. Dengan demikian, sampai di sisni terlihat ciri universalisme pemikiran keagamaan Gus Dur, suatu model yang hendak mentransformasikan nilai-nilai keagamaan dalam praktek kehidupan yang luas. Tetapi lebih jauh dari itu, ia sesungguhnya juga seorang liberal, dalam arti memiliki kecenderungan pemikiran bebas, tidak mau terkungkung oleh batasan apa pun an siapa pun. Dengan pola pemikiran yang cenderung liberal ini, Gus Dur semasa hidupnya menggagas ide pembaruan hukum Islam di Indonesia bersama dengan pemikir muslim lainnya seperti Nurcholish Madjid.[13]
Kebebasan berfikir (liberalisme) Gus Dur inilah yang kemudian memberikan menginspirasi para intelektual Islam Indonesia untuk “bebas” pula memilih istilah yang tepat bagi tipologi pemikiran Gus Dur menurut versi masing-masing. Greg Barton memasukkannya ke dalam kelompok neo-modernisme yang pernah digagas oleh Fazlur Rahman.[14] Dalam tipologi ini, Gus Dur disandingkan dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Wahib dan Djohan Effendy. Sebelumnya, Wiiliam Liddle memasukkan Gus Dur sebagai pemikir Indigenist.[15] Sementara itu, M. Syafi’i Anwar memasukkan Gus Dur sebagai pemikir substanvistik.[16] Bahkan yang terakhir, Mujamil Qomar,[17] memasukkan Gus Dur sebagai pemikir divergen, yaitu berpikir yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional.[18]
2.      Karya-Karya Intelektual KH. Abdurrahman Wahid
Gus Dur adalah seorang intelektual bebas (independen), atau mungkin -meminjam istilah Antonio Gramsci- "intelektual organik" dari tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotifkan transformatif. Referensi formal akademis dan pengikatan diri terhadap satu metodologi tidaklah menjadi penting, sepenting substansi yang disampaikannya.
Sejumlah karya tulis ini membuktikan intelektualisme Gus Dur yang kaya dengan gagasan dan pemikiran yang kreatif-transformatif dan inovatif. Tulisan-tulisan ini juga mungkin suatu bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampa teori atau tidak tanpa visi, yang suatu waktu dapat terjerumus pada oportunisme dan pragmatisme politik. Ketajamannya membaca realitas dan kekritisannya mengambil keputusan dapat dilihat dari kecenderungan tulisan-tulisan tersebut.
Sebanding dengan waktu dan kepentingan tulisan-tulisan tersebut dibuat, tema pembicaraan atau wacana yang dikembangkannya pun sangat beragam dan kompleks: mengenai apa saja. Mulai dari wacana fiqih praktis di pesantren hingga wacana global "rekayasa masa depan" disinggung oleh Gus Dur. Jenis tulisannya pun beragam. Mulai dari bentuk tulisan yang serius-akademis hingga tulisan ringan-populer, semuanya dilakukan Gus Dur. Namun begitu, untuk kepentingan pemahaman makro pemikiran Gus Dur, secara simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke dalam tujuh tema pokok.
Ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui tulisannya maupun visi gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah:
1.      Pandangan dunia pesantren.
2.      Pribumisasi Islam.
3.      Keharusan demokrasi.
4.      Finalitas, negara-bangsa pancasila.
5.      Pluralisme agama.
6.      Humanitarinisme universal, dan
7.      Antropologi kiai.
Ketujuh tema pokok ini secara umum menjelaskan keluasan wawasan dan besarnya perhatian Gus Dur terhadap tema-tema kontemporer yang menjadi isu global abad XX, yakni demokrasi, HAM, Lingkungan hidup, dan gender. Tema- tema pokok inilah barangkali yang melandsi seluruh gerakan Gus Dur selama ini, baik dalam wilayah keagamaan, politik, kebudayaan maupun ekonomi. Seluruh tema tersebut, dalam banyak tulisan dibidik Gus Dur dari pemahaman keagamaan (Islam) melalui kekeyaan intelektual dan kebudayaan pesantren. Ini tidak lain karena pemikiran Gus Dur mengenal agama diperoleh dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya lokal. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan Gus Dur. Sementara pengembaraannya di timur tengah dan di barat telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai isu mondial yang membuatnya harus berfikir kosmopolit dan progresif.
Dalam artikel berjudul “Peranan Umat Islam dalam Berbagai Pendekatan”[19], Gus Dur juga berargumen bahwa konvergensi nilai-nilai hukum Islam terdiri dari dua model pendekatan, yaitu nilai inspiratif dan normatif. Model inspiratif bahwa nilai- nilai Islam menjadi titik tolak bagi pengembangan moral aturan. Sedangkan model yang kedua, normatif yaitu dapat dilakukan dengan cara melihat Islam dalam bentuk norma. Sehingga menurutnya kedua pendekatan ini sangat penting untuk dikembangkan, dan keduanya harus ada dan saling mendukung.[20] Menurut penulis, hal inilah yang mungkin digunakan Gus Dur sebagai landasan pendekatan antropologi-budaya pada ide ‘pribumisasi Islam’ miliknya.
Ide pribumisasi Islam yang fenomenal Gus Dur berpandangan bahwa dalam memahami wahyu haruslah dipertimbangkan aspek kontekstual ataupun adat istiadat setempat, sepanjang hal tersebut tidak mengubah makna dan substansi agama dengan berdasarkan pada “al-‘ādatu muhakkamah”.[21]
Pandangan Gus Dur tersebut merupakan buah pemikirannya tentang universalisme Islam sebagaimana yang terdapat dalam artikel berjudul “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, menurutnya universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manivestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya yang meliputi berbagai bidang seperti hukum agama (fiqh), ketauhidan (tauhīd), etika (akhlāq) yang dalam masyarakat seringkali disempitkan hingga menjadi kesusilaan belaka dan sikap hidup, menampakkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan.[22]
Sementara itu, dalam artikel berjudul “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, Gus Dur berargumen bahwa hukum Islam memiliki kedudukan kunci dalam kehidupan bergama. Sebagai kumpulan peraturan dan tata cara yang harus diikuti oleh seseorang yang petuh memeluk agamanya. Menurutnya hukum Islam memiliki pengertian yang lebih dari sekedar luas lingkup yang dikenal orang pada umumnya. Di samping itu juga mengandung pengertian hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang yuridis juga meluputi soal-soal liturgi dan ritual keagamaan.[23]
Dalam artikel berjudul “Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia”, Gus Dur berpandangan bahwa dengan mengutip kembali fatwa muktamar NU 1935 di Banjar Masin yang menyentuh dua hal yang sangat esensial yaitu bahwa Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama dan membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik mereka ditentukan oleh proses negara.[24]
Terdapat juga tulisan-tulisan kumpulan esai yang ditulis Gus Dur pada periode 1980-an yang diterbitkan oleh Tempo. Sebuah periode yang dapat disebut sebagai “periode ilmiah”-nya Gus Dur. Diantara judul esai-esai tersebut antara lain seperti: Pesantren Dan Ludruk, Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah, Kiyai Khasbulloh Dan Musuhnya, Sulit Masuknya Mudah Keluarnya, Kiyai Ikhlas Dan Ko- Edukasi, Reorientasi Kiyai Adlan, Kiyai Razaq Yang Terbakar, Ketat Tapi Longgar, Kiyai Iskandar Dan Pak Damin, Bersatu Dalam Menuntut Ilmu, Baik Belum Tentu Bermanfaat, Tokoh Kiyai Syukri, Sang Kiyai Dan Keyakinannya, Dunia Nyatakiyai Zainal, Ustadz Yang Hidup Dalam Dua Dunia, Bila Kiyai Berdebat, Kiyai Dolar Berdakwah, Syeikh Mas’ud memburu Kitab, Kiyai Mencari Mutiara, Yang Umum Dan Yang Khusus, Akar Prioritas Ibadah, Dokter Idealis Kiyai Formalis dan Muallim Syafi’i: In Memoriam. Berbagai judul esai ini dapat pula ditemukan dalam buku “Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah.”
Dalam buku yang cukup fenomenal berjudul “Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita”, Gus Dur menunjukkan bagaimana potret pemikirannya tentang Islam dalam kaitannya dengan isu-isu mutakhir, seperti nasionalisme, demokrasi pluralisme, Hak Asasi Manusia (HAM), kapitalisme, sosialisme dan globalisasi. Pembahasannya tentang Islam selalu mampu menerobos wilayah-wilayah yang sering tidak terpikirkan oleh para ulama pada umumnya. Dalam konteks ini, Gus Dur ternyata mampu menghadirkan Islam mulai dari masa awal kehadirannya hingga saat ini, dari nuansa tekstual hingga kontekstual, dari aspek struktural hingga kultural.
Dalam buku  ini, Gus Dur memberikan tiga kerangka keberIslaman yang patut kita apresiasi bersama secara serius dan mendalam, terutama dalam menciptakan Islam yang damai. Pertama, Islamku, yaitu keberIslaman yang berlandaskan pada pengalaman pribadi perseorangan. Kedua, Islam Anda, yaitu keberIslaman yang berlandaskan pada keyakinan. Dalam hal ini harus diakui bahwa setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri terhadap beberapa hal tertentu. Pandangan kalangan Nahdlatul Ulama dapat jadi berbeda dengan pandangan kalangan Muhammadiyah. Demikian pula sebaliknya. Ketiga, Islam Kita, yaitu keberIslaman yang bercita-cita untuk mengusung kepentingan bersama kaum Muslimin. Dalam buku setebal 412 halaman ini, Gus Dur menekankan pentingnya menerjemahkan konsep kebajikan umum sebagai jembatan untuk mengatasi problem Islamku dan Islam Anda.[25]
Pada umumnya, diskursus keberIslaman hanya terhenti pada kedua model tersebut. Oleh karena itu, Gus Dur menawarkan solusi akan pentingnya merajut antara keberIslaman yang berbasis pada pengalaman dan keyakinan untuk membangun pemahaman keagamaan yang berorientasi pada perdamaian dan keadilan sosial.
Seperti pernyataan Dr. M. Syafi’i Anwar, dalam kata pengantarnya, dalam buku ini, benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat kejayaan Islam justru terletak pada kemampuannya untuk berkembang secara kultural. Oleh karena itu, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi dibanding upaya ideologisasi. Pemahaman seperti inilah yang menggugah Gus Dur untuk melantangkan pentingnya pribumisasi Islam, terutama dalam konteks keIndonesiaan.
Sementara Moeslim Abdurrahman, sahabat dekat Gus Dur, mengibaratkan Gus Dur sebagai tokoh yang hendak membebaskan umat dari beban sejarah politik masa lalunya, seraya menyeru agar umat Islam Indonesia mampu menjawab beberapa persoalan mendesak, seperti kemajemukan dalam berbangsa dan bernegara, demokratisasi, dan keadilan sosial. Di sisi lain, Gus Dur, menurutnya, termasuk salah satu tokoh penting yang melengkapi khazanah intelektual Islam Indonesia lewat literatur klasik. Dalam konteks inilah, ia -bersama Nurcholish Madjid- lantas disebut sebagai kelompok neo-modernis.
Kompleksitas wacana yang menjadi perhatian Gus Dur menunjukkan bahwa Gus Dur adalah seorang generalis, bukan spesialis keilmuan tertentu. Hampir setiap isu kontemporer direspon Gus Dur. Ini mungkin berkaitan dengan posisinya sebagai pemimpin publik dan aktivis gerakan sosial, terutama di organisasi Nahdlatul Ulama. Sebagai pemimpin berjuta-juta umat pada level nasional dan internasional (selaku Presiden WCRP) memaksa Gus Dur untuk terlibat dalam segala urusan publik, mulai dari wacana internal keagamaan dan ke-NU-an hingga wacana global yang menjadi trend Dunia Ketiga.
Meski secara kuantitatif garis statistiknya kian meningkat, namun belum tentu untuk kualitas tulisan-tulisan tersebut. Untuk mengetahui secara pasti kualitas masing-masing tulisan tersebut kiranya butuh penelitian khusus. Tetapi dengan asumsi bahwa standar tulisan di jurnal ilmiah, seperti Prisma, lebih serius dan lebih bermutu dari pada tulisan artikel atau kolom di Majalah atau Surat Kabar Harian, maka periode pertengahan akhir 1970-an hingga pertengahan pertama 1980-an merupakan puncak keemasan intelektual Gus Dur. Kurun waktu inilah kiranya dapat disebut "periode ilmiah" Gus Dur. Sepanjang tahun tersebut, Gus Dur mencurahkan energi intelektualnya ke berbagai media massa terkemuka, seperti di Prisma, Tempo, dan Kompas.
Sementara pada periode pertengahan akhir 1980-an hingga pertengahan awal 1990-an, tulisan Gus Dur memang tersebar ke berbagai media massa dengan jangkauan lebih luas lagi. Bukan hanya Prisma, Tempo, Kompas, Pesantren, melainkan juga di Panji Masyarakat, Aula, Pelita, Editor, Amanah, Media Indonesia, Jawa Pos, Forum Keadilan, dan sejenisnya. Akan tetapi, tulisan-tulisan pe­riode ini relatif lebih pendek dan singkat ketimbang pada periode sebelumnya. Sebagian tulisannya diterbitkan dalam bentuk antologi. Sedangkan dalam bentuk bunga rampai hanya satu, yakni “Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi”.[26]
Seiring dengan kesibukannya pada akhir tahun 1990-an, tulisan-tulisan ilmiah bermutu Gus Dur di atas pada akhirnya berganti dengan komentar-komentar dan statemen-statemen yang hampir tiap hari menghiasi wacana Koran atau Majalah. Apalagi setelah nuansa gerakan politiknya kian pekat di penghujung 1990-an, di mana Gus Dur menjadi deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan sekarang menjadi Presiden RI Keempat, maka tulisan-tulisan itu tampaknya akan berubah menjadi pidato-pidato dan statemen-statemen politik saja. Demikian gambaran singkat spektrum intelektualitas Gus Dur dan hubungannya dengan gerakan praksis sosialnya.
Dengan pemaparan data-data karya tulis intelektual ini, tampak jelas bahwa Gus Dur ternyata bukan hanya seorang aktifis gerakan sosial dan gerakan politik semata, melainkan juga seorang intelektual dan pemikir cerdas yang terkemuka, sejajar dengan pemikir-pemikir besar lainnya, baik di Indonesia maupun di kalangan internasional. Meski ia tak pernah belajar di dunia akademik yang terdepan dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi dalam daftar karya intelektual Gus Dur itu jelas terlihat kedalamannya meramu ilmu-ilmu sosial dengan pengetahuan keagamaan yang kritis.



[1]Greg Barton, Gagasan Islam  Liberal di Indonesia, (terj.), (Jakarta: Paramadina, 1999). Khusus tentang pemikiran dan kiprah Gus Dur, lihat. hal.325-430 dan hal.488-501.
[2]Greg Barton, The Authorized., hal. 138
[3]Zainal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008), hal. 17
[4]Greg Barton, Gagasan., hal. 325
[5]Greg Barton, The Authorized., hal. 68
[6]Ibid, hal. 53
[7]Ibid, hal. 68
[8]Akhmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Gagasan Sentral Nurkholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rinek Cipta, 1999), hal. 31
[9]Greg Barton, The Authorized., ,hal. 135
[10]Akhmad Amir Aziz, Neo-Modernisme.,  hal. 32
[11]Ibid.
[12]Akhmad Amir Aziz, Neo-Modernisme., hal. 32- 33
[13]Greg Barton, The Authorized., ,hal. 21
[14]Istilah neo-modernisme sebenarnya pertama kali digulirkan oleh Fazlur Rahman. Neo-modernisme yang disuguhkan oleh Fazlur Rahman bertitik tolak dari ide pembaruan pemikiran yang mencoba membongkar doktrin-doktrin Islam. Meskipun tidak bisa disimpulkan bahwa Fazlur Rahman adalah tokoh yang melahirkan pemikiran liberal di Indonesia, namun pengaruhnya terhadap pola pemikiran kaum liberal di Indonesia tidak bisa dipungkiri. Lihat, Robitul Firdaus, “Menggagas”., hal. 36. Sementara itu, Greg Barton lebih senang menyebut pemikiran liberal dengan istilah  pemikiran neo-modernisme. Ia menyebutkan bahwa gerakan neo-modernisme adalah sebuah gerakan intelektual yang membutuhkan kajian secara detail dan seksama. Gerakan ini menurutnya berusaha memadukan cita-cita liberal yang progresif dengan keimanan yang shaleh. Lihat, Greg Barton, Gagasan.,  hal. 8. Dari defenisi tersebut bisa disimpulkan bahwa yang  dimaksud Barton dengan neo-modernisme juga mencakup ide liberal di dalamnya. Jadi, pemikiran-pemikiran liberal atau progresif dalam konteks Indonesia sesungguhnya telah muncul jauh sebelum berdirinya institusi Jaringan Islam liberal.
[15]Gagasan ini lebih menekankan substansial kultural dalam proses Islamisasi di Indonesia. Lebih jelas, lihat, M. Syafi’i Anwar, Pemikiran., hal. 156
[16]Ibid. hal.  156
[17]Mujamil Qomar, NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002 ), hal. 254
[18]Kamaruzzaman Bustamam- Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal.85
[19]Mukhtar Ganda Atmaja dan M.Shodiq (peny.),  Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990), hal. 195
[20]Muntaha Azhari dan Mun’im Saleh (ed.), Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hal.198-199
[21]Ibid. hal. 83
[22]M. Mansur Amin dan Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993), hal. 545
[23]Tjun Surjaman, Hukum Islam di Indonesia; Pemikiran dan Praktek, Cet. II, (Bandung: Remaja Posdakarya, 1994), hal. 2
[24]Munawwar Budi Rahman, (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), hal 582
[25]M. Husaini, “Pribumisasi Islam ala Gus Dur”. Dalam http//www.nu.or.id, diakses pada 26 Oktober 2010.
[26]Abdurrahman Wahid, Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi, (Jakarta: RMI dan Jawa Pos, 1989)

2 komentar: