Muslimspot.com

Sabtu, 07 Mei 2011

Konstruksi Idiologis Gerakan Fundamentalis Islam Dalam Lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (Telusur Jaringan Terorisme di Indonesia)
Oleh: Drs. Jeje Abdul Rojak, M.Ag.
 
A.      Pendahuluan
Penelaahan secara mendalam terhadap akar munculnya radikalisme dan terorisme di kalangan umat Islam di Indonesia, selalu menarik untuk dicermati secara mendalam. Karena banyaknya segi yang dapat didalami dan luasnya jaringan bahkan jaringannya sangat rapi serta tersembunyi, tidak mungkin dengan instan dapat dilacak semuanya. Itulah sebabnya makalah ini memfokuskan akar jaringan gerakan radikalisme yang mengatasnamakan umat Islam dari sisi penanaman ajaran dari madzhab mana yang disinyalir berkontribusi terhadap lahirnya gerakan terorisme nusantara.
Fenomena radikalisasi di kalangan ummat Islam seringkali disandingkan dengan faham keagamaan. Faham keagamaan Islam yang sering dianggap menjadi inspirasi gerakan radikal adalah paham wahhabi, sekalipun kalau dicermati secara seksama gerakan radikal di kalangan beragama merupakan fenomena sosial dan bukan fenomena keagamaan. Artinya pengaruh ajaran keagamaan seradikal apapun hanya merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor radikalisasi gerakan sosial kemasyarakatan.
Kajian ini tidak memfokuskan pada fenomena gerakan radikal ummat Islam, tetapi memfokuskan pada fenomena transformasi nilai-nilai salafi, yang sering diidentikkan sebagai inspirasi gerakan radikal tersebut. Laporan regional Asia yang dikeluarkan oleh International Crisis Group (selanjutnya disebut ICG) pada tanggal, 13 September 2004[1] menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat sejumlah lembaga pendidikan yang bergabung dalam Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah (FKAWJ). Sejumlah pondok pesantren tersebut mencoba mengajarkan ajaran salafi kepada para santri dan siswanya dengan tujuan:
1.      Untuk melatih para calon pengajar di bidang keislaman dan bahasa Arab yang dikemudian hari akan ditempatkan di sejumlah sekolah Islam dan pondok pesantren.
2.      Untuk menyiapkan sejumlah muballigh yang akan menyebarluaskan paham salafi di masyarakat dalam skala yang lebih besar.
3.      Untuk mempraktikkan ajaran Islam yang terhindar dari bentuk-bentuk yang berbau Bid’ah, Takhayul dan Khurafat.
4.      Untuk melaksanakan program dauroh dan beberapa bentuk pelatihan yang lain.

Di kalangan pengikut Salafi di Indonesia terdapat dua kelompok besar. Pertama adalah kelompok Surury[2] dengan tokoh sentralnya Yusuf Baisa berpendapat bahwa untuk dakwah Islam harus dibangun atas tiga pilar utama. Kemampuan organisatoris seperti yang dicontohkan oleh gerakan Ikhwanul Muslimin, kebijakan Jama’ah Tabligh dan ajaran keagamaan yang pernah diajarkan oleh para tokoh-tokoh salaf. Sedangkan dakwah bertujuan untuk menyebarluaskan dan mengajarkan pengetahuan keagamaan Islam di kalangan ummat Islam.
Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok puritan dengan tokoh sentralnya Ja’far Umar Thalib yang beranggapan bahwa penisbatan Islam kepada satu kelompok tertentu (hizbiyyah) seperti dilakukan oleh kelompok Sururi (yang memperoleh inspirasi dari pemikiran Muhammad Surur, mantan anggota Ikhwan Muslimin) tidak lah dapat dibenarkan. Bahkan dalam pandangannya praktik khuruj yang diwajibkan bagi anggota Jama’ah Tabligh adalah salah satu bentuk praktik bid’ah yang tidak ditemukan akarnya dalam ajaran Islam.
Selain dua kelompok tersebut yang berbeda dalam konsep teologis mereka, terdapat dua kelompok dalam pengikut salafi ketika berhubungan dengan orang lain. Kedua kelompok tersebut adalah Salafi non-Jihadi dan Salafi Jihadi. Mereka berbeda dalam empat hal. Pertama, tentang diperbolehkannya melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan muslim. Kelompok pertama tidak memperbolehkan sedangkan, yang kedua membolehkannya. Kedua berkaitan dengan urgensi organisasi untuk mendukung perjuangan mereka. Untuk persoalan kedua, kelompok pertama tidak mengharuskan adanya organisasi yang terstruktur, sedangkan kelompok kedua mengharuskannya. Perbedaan ketiga diantara kedua kelompok ada pada konsep Jihad. Kelompok pertama cenderung untuk memaknai Jihad dengan pengertian yang lebih luas dan tidak menyempitkan dalam pengertian perang, sedangkan kelompok lainnya memaknai Jihad hanya perang. Titik perbedaan keempat adalah taktik dan metode perjuangan yang berkaitan dengan Jihad.
Penelusuran teoritik munculnya gerakan radikal, beberapa hipotesis selalu mengacu kepada tiga alur utama dalam mendekati fenomena sosial tersebut. Pertama adalah madzhab Weberian yang berkeyakinan bahwa sebuah gerakan sosial memiliki struktur pada komitmen yang dipegang oleh sekelompok anggota masyarakat terhadap sebuah sistem kepercayaan yang darinya dapat dijabarkan tujuan gerakan, pola perilaku sosial, legitimasi dari sebuah kekuasaan.
Madzhab kedua memperoleh inspirasi dari pemikiran Karl Max. Max berpandangan bahwa kelas sosial muncul dari sebuah posisi yang dimiliki sekelompok masyarakat dalam sebuah sistem produksi, maka perubahan terjadi akibat dari sebuah proses pergeseran dalam organisasi produksi. Oleh sebab itu tujuan dan kepercayaan yang dibagi bersama berasal dari kepentingan bersama dan dimediasi lewat struktur internal serta hubungan antar kelas. Sebuah gerakan sosial bagi pengikut madzhab ini muncul dan berawal dari perjuangan atas kepentingan dan kesadaran akan identitas bersama.
Madzhab ketiga dalam studi gerakan sosial diilhami oleh pemikiran sosiolog berkebangsaan Prancis, Emile Durkheim. Di kalangan Durkhemian, sebuah integrasi sosial berasal dari kesadaran bersama, dan ketidak-pastian yang menyebabkan kondisi anomie, disorientasi individual dan konflik yang terjadi. Perubahan sosial pada satu sisi menciptakan perbaikan, tapi di sisi lain mengakibatkan disintegrasi di kalangan anggota masyarakat.[3]
Faham salafi dalam makalah ini diasumsikan sebagai sebuah kesadaran kolektif yang ditransformasikan secara sistematis kepada para anggotanya lewat jaringan pondok pesantren. Kesadaran kolektif tersebut pada kemudian hari tersublimasi sebagai pengetahuan publik dan pada akhirnya berpengaruh pada perilaku keberagamaan dan menjadi identitas sosial.[4]
Dalam perspektif pembentukan ilmu pengetahuan (faham Islam Salafi) ada tiga persoalan yang menjadi pokok perhatian dalam kajian ini. Pertama adalah sumber ilmu pengetahuan yang bermuara pada kurikulum yang diajarkan di beberapa pondok pesantren yang beraliran salafi. Kedua adalah interaksi antara anggota kelompok yang memiliki identitas sosial sama, dan dalam konteks ini adalah proses transformasi faham salafi dalam bentuk pola pengajaran baik formal maupun informal serta hubungan antar jaringan pondok pesantren beraliran salafi. Ketiga adalah persepsi anggota masyarakat (the inner group) terhadap kelompok luar (the outer group).[5] Ketiga masalah inilah yang menjadi fokus perhatian ini untuk mengungkapkan potret Islam Salafi di Indonesia. Tentu kajian yang lebih dalam harus ada tempat khusus.

B.   Kekerasan Atas Nama Agama
Dalam perjalanan sejarah,[6] agama memiliki dwi fungsi dalam masyarakat pluralistik. Beberapa intelektual dan pemimpin agama setuju bahwa agama banyak berperan dalam mendukung perdamaian, harmoni dan peradaban. Akan tetapi, ilmuwan lain berpendapat bahwa agama juga bisa menjadi pemicu konflik kekerasan. Pandangan terakhir ini didukung oleh banyaknya insiden kekerasan agama di seluruh dunia. Tulisan Juergensmeyer, contohnya. Sangat jelas menunjukkan bagaimana kekerasan terjadi dan meluas di bawah panji-panji semua agama. Dalam pengantarnya Juergensmeyer menyatakan.
Bagian pertama buku ini berisi bab-bab tentang kaum Nasrani di Amerika yang mendukung pemboman klinik aborsi dan aksi militant seperti pemboman gedung federal Oklahoma City; kaum Katolik dan Protestan yang mendukung aksi terorisme di Irlandia Utara; kaum Muslimin yang dihubungkan dengan pemboman World Trade Center di kota New York dan serangan Hamas di Timur Tengah; kaum Yahudi yang mendukung pembunuhan Perdana Menteri Yitzhak Rabin dan serangan atas Kuburan Wali di Hebron; kaum Sikh yang terlibat dalam pembunuhan Perdana Menteri India Indira Gandhi dan Menteri Utama Punjab Beant Singh; dan kaum Buddhis Jepang yang tergabung dalam kelompok yang dituduh melakukan serangan gas syaraf di kereta bawah tanah Tokyo.[7]
Publikasi terakhir dari serial Concilium, Agama sebagai Sumber Kekerasan, juga mendukung isu kekerasan di bawah panji agama dengan mengacu pada berbagai kasus konflik agama di Rwanda, Sri Lanka, Bosnia, dan Guatemala.[8] Ilmuwan lain seperti Rene Girard (1973),[9] Bruce Lawrence (1989),[10] dan Regina Schwartz (1997)[11] telah menemukan adanya hubungan antara kekerasan dan agama.
Argumen klasik penentang kekerasan di bawah panji agama adalah bahwa semua agama menjunjung tinggi doktrin suci anti kekerasan dan mendukung perdamaian. Oleh karena itu, ketika kekerasan agama terjadi, para pemimpin agama sering secara sepihak menuding bahwa militan agama merupakan penyebab timbulnya aksi kekerasan. Setelah menganalisis berbagai kasus kekerasan agama, penulis mengatakan bahwa kedua hipotesis di atas harus diperiksa lagi melalui aspel-aspek kekerasan dalam doktrin keberagamaan dan penyalahgunaan doktrin oleh para militan agama untuk membenarkan kekerasan. Keduanya sama berpotensi untuk menyebabkan kekerasan. Yang pertama menunjukkan sumbangan agama terhadap aksi-aksi kekerasan dan yang kedua merujuk pada budaya kekerasan yang diciptakan oleh para militan agama. Untuk tujuan ini, penulis akan melakukan analisis tentang kekerasan agama di Indonesia.
Sejak tahun 1996, kekerasan di bawah panji agama semakin meningkat di Indonesia. Di samping kekerasan agama berskala kecil, seperti di Situbondo, Jawa Timur (1996), Tasikmalaya, Jawa Barat (1996), dan Ketapang, Jakarta (1998), berbagai kekerasan agama berskala besar juga terjadi antara kaum Muslim dan Nasrani dimulai tanggal 19 Januari 1999 di Ambon, Maluku. Penyebab awal konflik ini adalah pertengkaran antara seorang pemuda Muslim dari kampung Batumerah dan seorang pemuda Nasrani dari kampung Mardika mengenai tarif angkutan bis umum.[12] Akan tetapi pertengkaran tersebut menjelma menjadi konflik massa antara ratusan pemuda dari ke dua kampung itu dan menyebar menjadi pengrusakan gereja dan masjid di lingkungan itu.[13]
Munculnya Laskar Jihad merupakan respon atas kekerasan agama di Maluku. Seperti yang akan dijelaskan di bawah ini, Laskar Jihad jelas-jelas menunjukkan bagaimana kelompok laskar Islam menggunakan doktrin agama untuk membenarkan tindakan kekerasan terhadap kaum Nasrani di Ambon. Laskar Kristus di Ambon muncul melalui Gereja Petra dan memegang misi suci untuk memerangi kaum Muslimin di bawah panji Kristus. Karenanya, Laskar Jihad dan Laskar Kristus mengklaim misi yang sama: memerangi pihak lawan di bawah panji agama. Menarik untuk dilihat bagaimana Laskar Jihad, di satu pihak, dan Laskar Kristus, di pihak lain, menggunakan dan melakukan kekerasan atas nama doktrin agama. Apakah doktrin agama mendukung kekerasan? Siapa penggagas konsep kekerasan agama? Apakah kedua Laskar di atas menunjukkan budaya kekerasan yang sama dari agama yang berbeda? Untuk menjawab masalah ini tentu butuh kajian secara khusus.

C.   Saluran Gerakan Radikal
1. Laskar Jihad
Laskar Jihad dibentuk tanggal, 30 Januari 2000 sebagai tanggapan atas kekerasan agama antara kaum Muslimin dan Nasrani di Maluku. Laskar ini merupakan sayap paramiliter dari Forum Komunikasi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (FKAWJ) yang didirikan dua tahun sebelumnya. FKAWJ secara formal didirikan oleh pembentuk Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib, ketika dia dan para pengikutnya mengadakan tabligh akbar di Solo, Jawa Tengah, 14 Pebruari 1998.
Misi utama FKAWJ adalah memurnikan dan menyebarkan ajaran Islam menurut generasi pertama pengikut Nabi Muhammad. Robert W. Hefner menyebut FKAWJ dan gerakan Laskar Jihad sebagai sebuah gerakan neo-fundamentalis atau neo-Salafi, karena menekankan pandangan politik ekstrim yang tidak berhubungan dengan varian paham Salafi sebelumnya, termasuk yang masih populer di Arab Saudi. Satu penekanannya adalah kepercayaan kuat bahwa Amerika Serikat dan Israel memimpin sebuah konspirasi di seluruh dunia untuk menghancurkan Islam dan respon kaum Muslimin atas upaya tersebut adalah jihad bersenjata.[14]
Seperti yang telah disebutkan di atas, Thalib menuduh Amerika, Israel dan kaum Nasrani pada umumnya menjadi dalang di belakang kekerasan agama di Ambon. Sebagai sayap paramiliter FKAWJ, Laskar Jihad mencerminkan struktur formal militer Indonesia terdiri dari ’brigade, batalion, kompi, peleton dan regu, dan bahkan memiliki badan intelejen sendiri.[15] Ditunjuk sebagai panglima Laskar Jihad, Thalib didukung oleh sebagian komandan lapangan, termasuk Ali Fauzi dan Abu Bakar Wahid al-Banjari.[16]
Berdasarkan latar belakang sejarah dan hubungannya dengan gerakan Salafi di Arab Saudi, posisi Thalib sebagai pendukung Salafi, atau Neo-Salafi menurut istilah Hefner, jelas terlihat. Ahli sejarah Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Azyumardi Azra, menyebut gerakan ini sebagai ’radikalisasidari Salafi radikal’.[17] Azra memakai istilah itu untuk mereka yang melakukan tindakan kekerasan dan terorisme berdasarkan konsep atau ideologi yang biasanya disebut sebagai radikal-Salafi.[18]
Hubungan Laskar Jihad dengan gerakan radikal-Salafi di Saudi Arabia turut berpengaruh dalam keluarnya fatwa jihad terhadap kaum Nasrani di Maluku. Hubungan ini dapat dilacak pada pembentukan Laskar Jihad sebagai tanggapan atas kekerasan di Maluku. Seperti yang dilaporkan International Crisis Group, pembunuhan lebih dari 400 kaum Muslim oleh kaum Nasrani di Tobelo Maluku Utara selama minggu pertama Desember 1999, telah menyalakan sentimen Muslim seluruh Indonesia.[19]
Kamis, 6 April 2000, enam perwakilan Laskar Jihad, termasuk Ja’far Umar Thalib; wakil komandan Ayip Syafrudin; Brigjend (purn.) Rustam; komandan perang Ambon Ali Fauzi; komandan perang Tidore Abu Bakar al-Banjari dan Tasrif Tuasikal diterima oleh Presiden Abdurrahman Wahid (juga disebut Gus Dur) di Istana Merdeka.[20] Mereka menyatakan kritik keras atas kebijakan Presiden berkenaan dengan krisis Maluku dan usulan pembatalan TP MPRS XXV/1996.[21] Saat Gus Dur dan keenam perwakilan tersebut membicarakan masalah konflik Ambon, ratusan pejuang Laskar Jihad berdemonstrasi di depan  Istana Merdeka.[22] Berkenaan dengan pemobilisasian para pejuang Laskar Jihad, Greg Fealy mencatat bahwa Thalib berkata. Saya Cuma menjalankan tugas saya sebagai seorang Muslim, karena jelas-jelas pemerintahan Abdurrahman Wahid tidak mampu melindungi komunitas Islam. Jika negara ini tidak bisa melindungi kami (yaitu Muslim), maka kami harus melakukannya sendiri. Dia berpendapat bahwa pemerintahan Wahid sebagai anti-Islam: Pemerintah diposisikan untuk menindas kepentingan Muslim dan melindungi kepentingan orang-orang kafir. FKAWJ bertekad menjatuhkan pemerintahan ini.[23]
Para pejabat Laskar Jihad percaya bahwa kaum Muslim di Ambon menerima perlakuan terburuk dan Thalib lalu mengkoordinasi dan mengatur para relawan di kamp pelatihan dekat Bogor, Jawa Barat.[24] Para pejuang Laskar Jihad dilatih di kamp ini berjumlah sekitar 3000 orang, dan Thalib dalam pidatonya mengatakan bahwa dalam gelombang kedua, sekitar 7000 pejuang akan dilatih dan dikirim ke Maluku di masa depan.[25] Thalib menjelaskan bahwa para pejuang Laskar Jihad akan dilatih oleh bekas anggota resimen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta, Yogyakarta dan Bogor. Dia berulang-kali menekankan bahwa tidak ada pihak militer Indonesia yang terlibat dalam pelatihan itu.[26] Dalam wawancara lain dengan Budiyono, wartawan untuk sebuah situs web di Jakarta, Thalib menambahkan bahwa para pelatih juga datang dari Afghanistan, Moro, dan Kashmir.[27]
Sebagai tanggapan atas rencana ini, Presiden Wahid melarang pelatihan paramiliter, memerintahkan kamp latihan mereka ditutup dan mencegah pejuang Laskar Jihad pergi ke Maluku. Sayangnya, Thalib sebelumnya telah mengirim beberapa ribu pejuang Laskar Jihad ke Maluku, segera setelah April 2000.[28]
Dalam wawancaranya dengan harian The Jakarta Post, Thalib berkata: Sekitar 3000-an relawan awal akan pergi ke Maluku (segera). Tetapi relawan kami adalah penceramah agama, yang dibekali dengan pengetahuan agama untuk berceramah pada orang-orang lokal. Sebuah tim investigasi yang saya pimpin menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kaum muslim di Maluku tidak hanya mengalami penderitaan fisik tapi juga penderitaan spiritual karena kurangnya pemahaman mereka akan agama. Secara spiritual, mereka tidak tahu bagaimana harus mengatasi masalah-masalah mereka. Berdasarkan hal ini, dan juga karena gerakan solidaritas Muslim untuk Maluku dipusatkan lebih pada mengatasi sisi fisik dari masalah-masalah tersebut, kami memutuskan untuk mengirim para penceramah bersama dengan bantuan.[29]
Sebelum berangkat ke Maluku, para pejuang Laskar Jihad bertemu di Pesantren As-Sunnah di jalan Kaliurang KM 15, Yogyakarta. Segera setelah persiapan akhir, mereka berangkat ke Surabaya dan naik kapal ke Maluku.[30] Yang mengherankan, ketika para pejuang Laskar Jihad tiba di pelabuhan Maluku, kedatangan mereka di kancah pertempuran disambut secara bersahabat oleh para anggota militer, yang menyediakan sejumlah senjata militer seperti AK-47, SS-14, dan lain-lain.[31] Kedatangan para pejuang Laskar Jihad, karena, meningkatkan konflik religius antara kaum Muslim dan kaum Nasrani di Ambon.
Bukti yang ada menyebutkan bahwa keterlibatan anak-anak dalam perang di Maluku merupakan akibat langsung dari hadirnya para pejuang Laskar Jihad. Para pejuang cilik ini dikenal dengan acang, nama kecil Hasan yang menunjukkan identitas Islam. Hasan Abdurrahman, berumur 8 tahun, ingin bergabung dengan Laskar Jihad, (Beta ingin jadi Laskar Jihad).[32] Idolanya bukanlah Superman atau Batman, tetapi Ja’far Umar Thalib.[33] Disamping Hasan, Ridwan Zaky (14 tahun) baru saja kembali dari perang Ambon.[34] Di desa Batumerah Dalam, Sirimau, Ambon, Ridwan merupakan anggota Pasukan Putih, yang berperang bersama para pejuang Islam. Dia berkata kepada wartawan Mingguan Gatra, bahwa ”Beta masuk Pasukan Bakar-Bakar.[35] Ini berarti tugasnya adalah membakar semua yang dimiliki pihak musuh. Muslim segala umur di Ambon tahu tentang cerita Syamsul Bahri Sarfan. Syamsul (15 tahun) berdiri di garis depan selama perang Ambon, mengenakan kaos merah bertuliskan ayat-ayat Qur’an.[36] Bila muslim kecil atau dewasa di Ambon ditanya tentang siapa yang menjadi panglima pejuang cilik, mereka akan menjawab, ”Syam!” Bagaimana keterlibatan anak-anak dalam perang Maluku sebagai akibat langsung Laskar Jihad merupakan alat penyebaran budaya kekerasan dalam hidup sehari-hari mereka akan dijelaskan di belakang.
2. Fatwa Jihad
Siapa yang melatarbelakangi fatwa jihad di perang Maluku? Sebelum berperang melawan kaum Nasrani di Maluku, para pejuang Laskar Jihad telah di bawah perintah tujuh fatwa yang dikeluarkan oleh FKAWJ.[37] FKAWJ sendiri menerima fatwa-fatwa jihad ini dari tujuh mufti.[38] Ini merupakan hasil jaringan Salafi antara Thalib sebagai pimpinan FKAWJ dan mufti Salafi dari Arab Saudi.
Mufti pertama adalah Shaikh Abdul Mukhsin al-’Abbad, seorang mufti Salafi Madinah dan ahli hadits. Dia menyerukan kaum Muslimin pergi ke Maluku untuk melindungi saudara-saudara Muslim mereka, sehingga kehadiran mereka sah atas nama hukum Islam. Untuk ikut serta dalah Jihad, dia menuntut dua syarat: kepergian ke Maluku tidak membahayakan kaum Muslim sendiri dan posisi mereka harus bertahan, bukan menyerang.[39] Fatwa jihadnya berdasarkan hadits Nabi Muhammad, ”Mereka yang mati membela harta mereka, akan dianggap syuhada. Mereka yang mati membela diri mereka sendiri, kondisi akan dianggap syuhada”.[40] Mufti kedua adalah Shaikh Ahmad An-Najmi, anggota Haiah Kibār al-’Ulama al-Su’udiyah di Jizan, Arab Saudi. Dia menyatakan bahwa kewajiban penting kaum Muslimin adalah menolong Muslim lain yang tertindas. Dia menambahkan, ”Jika kalian tidak memiliki pemimpin Muslim diantara pejuang perang suci, kalian harus memilih seseorang untuk menjadi pemimpin sementara di medan perang.”[41]
Mufti ketiga adalah Shaikh Muqbil bin Hadi al-Wadii, seorang mufti salafi ternama di Yaman. Dia percaya kaum Muslimin Indonesia mempunyai kewajiban individual (wajib ’ain) untuk menolong saudara muslim mereka di perang Maluku dan seluruh muslim mempunyai kewajiban bersama untuk melakukan hal serupa.[42] Untuk jihad di Maluku, dia menyebutkan enam persyaratan: (1) Kaum muslimin mampu berjihad memerangi orang kafir; (2) Kaum muslimin yang mampu berjihad tidak boleh menyebabkan konflik diantara kaum muslimin sendiri; (3) kemampuan melibatkan kaum muslimin di medan perang murni berdasarkan niat akan ke Allah; (4) Jihad harus berdasarkan Sunah Nabi Muhammad; (5) Jihad memalingkan kaum Muslimin dari mempelajari agama Islam yang lurus; (6) Jihad tidak boleh dilakukan oleh kaum Muslimin untuk memperoleh posisi politik atau mendapatkan kepentingan pribadi di dunia ini.[43]
Mufti keempat adalah Shaikh Rabi bin Hadi al-Madkholi, seorang mufti salafi ternama yang tinggal di Mekkah. Fatwanya tentang jihad lebih jelas: dia menyatakan bahwa merupakan kewajiban tiap Muslim untuk pergi berperang ke Maluku, karena saudara-saudara Muslim sedang diserang oleh kaum Nasrani. Ini merupakan bentuk jihad diwajibkan bagi Muslim yang sedang diserang karena alasan-alasan agama.[44]
Ulama kelima, Shaikh Salih al-Suhaimi, adalah seorang mufti salafi di Madinah. Pertama, dia mengatakan ”kalian harus berpegang pada metodologi salafi (manhaj salafi), dan tetap menasihati komunitas Islam. Jika kalian mampu membantu saudara-saudara Muslim yang diserang pihak musuh, maka kalian wajib melakukannya.”[45] Dalam hubungannya dengan perintah jihad ini, dia mengeluarkan fatwa tentang jihad dengan menyatakan ”Jihad di daerah konflik merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin jika mereka memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Jika kalian tidak memiliki cukup kemampuan, kalian harus berjuang untuk mencapai perdamaian dengan orang-orang kafir seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dengan kaum musyrik.”[46]
Shaikh Wahid al-Jabiri, mufti keenam, adalah seorang mufti salafi di Madinah. Dia menyatakan, ”membela saudara-saudara Muslim yang diserang oleh pihak musuh sah atas nama hukum Islam. Tetapi, bagaimana caranya membantu saudara-saudara Muslim di medan perang harus didiskusikan dulu dengan para pemimpin agama karena kalian lebih tahu dari saya tentang apa yang sebenarnya terjadi di negara kalian.[47]
Mufti terakhir adalah Shaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali, seorang mufti salafi di Madinah, Arab Saudi. Fatwanya tentang jihad cukup jelas. Dia menyatakan bahwa tiga langkah sebelumnya –termasuk tabligh akbar, pertemuan dengan Presiden Abdurrahman Wahid, dan latihan paramiliter dekat Bogor– merupakan langkah tepat. Larangan jihad di Ambon oleh Presiden Abdurrahman Wahid dianggap tidak sah. Dia mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad untuk membenarkan fatwanya, ”Dilarang bagimu untuk mematuhi seseorang yang melawan perintah Tuhan”.
Berdasarkan fatwa-fatwa ini, Thalib memaklumkan jihad di perang Maluku melawan kaum Nasrani, yang membunuh lebih dari 400 orang Muslim. Penggunaan jihad untuk membenarkan kekerasan terhadap pihak musuh dimulai dengan mencap mereka sebagai ”pihak luar” yang harus dibunuh di bawah panji agama.
3.  Pembenaran Islami atas Kekerasan
Untuk mendukung fatwa jihad atas kaum Nasrani di Maluku, Thalib memproklamirkan tahun 1421 Hijriah sebagai ”Tahun Jihad”. Thalib menyebutkan, ”deklarasi Tahun Jihad ini menunjukkan perasaan solidaritas kita terhadap tragedi kemanusiaan yang menimpa kaum Muslimin di Maluku.[48] Karena itu, jihad di Ambon, menurut pandangan Thalib, merupakan tugas tiap Muslim. Dia mengutip pandangan Ibn Taymiyah, salah satu guru besar gerakan salafi yang mengatakan, ”jika musuh menyerang kaum Muslimin, melawan serangan itu merupakan kewajiban yang jatuh pada diri kaum Muslimin yang diserang dan merupakan kewajiban kaum Muslimin lain membantu mereka.[49]
Untuk memastikan suksesnya jihad melawan kaum nasrani di Maluku, Thalib mulai mendefinisikan kaum Nasrani sebagai ”orang luar” dan ”musuh” yang harus diperangi di bwah panji Islam. Dalam sebuah wawancara dengan Robert W. Hefner, Agustus 2001, Thalib pertama-tama menekankan jihad sebagai alat untuk memastikan bahwa orang kafir mengerti bahwa status mereka di masyarakat adalah minoritas yang dilindungi (dhimmi). Sebuah konsep dari tradisi klasik Islam, ke-dhimmian menyatakan bahwa non-Muslim tidak dibolehkan memegang otoritas di atas kaum Muslimin.[50] Seperti yang dijelaskan Hefner, ’tidak seperti mayoritas pemimpin Muslim Indonesia, Ja’far dengan jelas menyatakan bahwa kesetaraan warga negara yang disebutkan dalam UUD Indonesia berlawanan dengan Islam.[51]
Thalib juga mencap kaum Nasrani yang menyerang kaum Muslimin di Maluku sebagai ”orang kafir yang wajib diperangi” (kafir harbi).[52] Pelabelan berdasarkan doktrin agama sangat penting dalam perjuangan pejuang Laskar Jihad. Hal ini menjadi jelas bahwa proses pencapan dan prasangka terhadap kaum Nasrani sebagai ”pihak luar” turut berperan dalam konflik dan kekerasan. Seperti yang dicatat Greg Fealy, kafir harbi dilihat sebagai kelompok kafir paling berbahaya, dan hukum Islam mewajibkan kaum Muslimin untuk memerangi mereka. Dalam kasus Laskar Jihad, pelabelan kaum Nasrani sebagai kafir harbi memberi lisensi agama yang kuat untuk membunuh.[53]
Jelaslah bahwa doktrin agama dipakai oleh Thalib dan Laskar Jihadnya untuk dua tujuan: Pertama, untuk membenarkan tindakan kekerasan terhadap kaum Nasrani; kedua, untuk mendukung kepercayaan bahwa pejuang Laskar Jihad yang tewas dalam perang Maluku melawan kafir harbi akan mati sebagai Syuhada. Doktrin agama atas kesyuhadaan telah mendorong pejuang Laskar Jihad untuk berperang melawan kaum Nasrani di Ambon. Dalam sebuah wawancara dengan seorang calon relawan Laskar Jihad, Hasan menyebutkan, ”perang di Maluku memberikan kesempatan emas untuk menjadi seorang syuhada, orang yang mengharap disambut oleh bidadari di surga. Para pejuang Laskar Jihad percaya sekaranglah waktunya untuk melaksanakan al-jihad al-akbar, jihad Islami yang sebenarnya.[54]
Argumen ini sama dengan pengakuan Abdul Aziz, alias Imam Samudra, salah seorang dalang pemboman Bali di Kuta, Bali 12 Oktober 2002. Selepas memeriksa Imam Samudra, kepala divisi detektif Indonesia, Erwin Mappaseng, mengatakan bahwa motivasi utama Samudra melakukan pemboman di Bali dan tempat lain di Indonesia semata-mata didasarkan atas jihad.[55] Samudra ingin melakukan jihad sendiri dan memberitahu Iqbal, orang yang membawa bom ke Paddy’s Club, bahwa dia akan mati syahid.[56] Samudra bahkan menamai bom itu sebagai ”bom syahid”.[57] Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana doktrin agama disalahgunakan dan dibajak oleh Muslim radikal, pejuang Laskar Jihad dan Imam Samudra sendiri, untuk membenarkan tindakan kejahatan dan perang.
Akhirnya Thalib berargumen bahwa kaum Nasrani dan komunitas internasional berkomplot untuk menghancurkan komunitas Islam di Maluku. Dia mengutip ayat Quran, ”Kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah mencapai misi mereka sampai kamu (kaum Muslimin) mengikuti agama mereka.[58] Pernyataan ini dengan jelas mendorong pejuang Laskar Jihad berperang melawan kaum Nasrani di Maluku. Di bawah ini merupakan kutipan dari bagian deklarasi perang Thalib akan perang melawan kaum Nasrani dan komplotan internasional Maluku.
4.  Penutupan FKAWJ dan Laskar Jihad
Kesimpulan di atas paralel dengan penutupan FKAWJ dan Laskar Jihad. Setelah pertemuan awal antara 30 September dan 2 Oktober 2002, diikuti dengan pertemuan kedua antara 3 dan 5 Oktober 2002, dewan eksekutif FKAWJ memutuskan untuk membubarkan FKAWJ dan Laskar Jihad berdasarkan pertimbangan berikut:
Pertama, tujuan utama pembentukan FKAWJ dan Laskar Jihad adalah untuk berjihad di Maluku, berdasarkan Qur’an, Sunnah dan fatwa mufti salafi.
Kedua, dalam berjihad, FKAWJ dan Laskar Jihadnya selalu berusaha mengevaluasi dan mengoreksi diri sendiri seperti yang disarankan oleh para mufti salafi.
Ketiga, dalam menilai Jihad, tampaknya kelemahan-kelemahan dan kurangnya kemampuan FKAWJ dan Laskar Jihad berakibat terjadinya kesalahan atau penyimpangan (cetak miring oleh penulis) dari metodologi dan moralitas.
Keempat, kami bertobat pada Allah atas seluruh kesalahan, penyimpangan dan kekeliruan (cetak miring oleh penulis) yang membuat kami berada dalam situasi-situasi ini.[59]
Memperhatikan pertimbangan di atas, pengakuan akan adanya kesalahan, penyimpangan dan kekeliruan dan dikeluarkan oleh FKAWJ dan Laskar Jihad membuktikan tesis utama akan kekerasan oleh pasukan Laskar Jihad di bawah panji Islam.
Juga penting mempertimbangkan penerimaan Ahmadi, seorang anggota Laskar Jihad. Dia berkata bahwa pembubaran FKAWJ dan Laskar Jihad dikarenakan fatwa yang dikeluarkan oleh Shaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i di Arab Saudi.[60] Muqbil merupakan salah satu dari tujuh mufti yang mengeluarkan fatwa jihad di Ambon. Menurut Muqbil, tidak terdapat alasan cukup untuk mengorbankan jihad di Ambon.[61] Para pengurus FKAWJ dan Laskar Jihad mendiskusikan fatwa ini dan memutuskan untuk membubarkan Laskar Jihad.[62] Informasi ini dengan jelas menunjukkan hubungan salafi-radikal antara FKAWJ-Laskar Jihad di Indonesia dan mufti salafi di Arab Saudi.

D.   Pesantren Salafi dan Radikalisme
Dari gambaran di muka bersumber dari pemahaman teks-teks kitab secara literalistik, tekstual, sakral, eternal, magis, dan final. Pandangan inilah yang menyebabkan perilaku mereka yang ekstrem, radikal, fanatis, tidak kenal kompromi, eksklusif dan fundamentalis.
Term ”salafi radikal” yang diambil dari terminologi Azyumardi Azra ketika melihat fenomena gerakan otentifikasi Islam sedang mengecambah di Indonesia. ”Salafi radikal” adalah kelompok yang berorientasi pada penegakan dan pengamalan ”Islam yang murni”, ”Islam otentik” yang dipraktikkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Disebut sebagai ”salaf radikal” karena mereka cenderung menempuh pendekatan dan cara-cara keras untuk mencapai tujuan, daripada cara damai dan persuasif. Tumbuhnya kelompok ini berawal dari imigrasi orang-orang Hadramaut ke Indonesia dalam jumlah besar dan massif, terjadi terutama sejak abad 19. mereka membentuk enklave-enklave di berbagia kota di Indonesia; Petamburan dan Kwitang (Batavia), Pekalongan, Surakarta, Surabaya, Pontianak, Palembang, dan lain-lain.
Term ini terasa aktual akhir-akhir ini setelah mendapatkan momentumnya. Pasca insiden JW Marriott, aparat menuduh pesantren sebagai sarang teroris. Term ”salafi radikal” tepat sekali untuk menggambarkan fenomena Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi, Ali Imron, Hambali, dan lain-lain. Nama-nama ini muncul ke permukaan, bahkan dunia, karena aktivitasnya yang menghebohkan, menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Segala cara harus dilakukan untuk menegakkan kalimah Allah di muka bumi ini. para penentang ”khilafah”, ”hukum Allah”, dan ”syariat” adalah kafir yang harus dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Mereka merujuk hadis ”Man ra-a minkum munkaran falyughayyirhu biyadihi wa-in lam yastathi’ fabilisanihi wa-in lam yastathi’ fabiqolbih, wazalika adl’aful iman”, barang siapa melihat kemungkaran, ubahlah dengan kekuasaan, jika tidak mampu ubahlah dengan kemampuan diplomasi, dan jika tidak mampu maka cukup dengan hati, dan itu adalah iman yang lemah.
Berdasarkan tekstualitas hadis ini, mereka melakukan serangkaian kegiatan dan gerakan pembersihan segala apa yang berbau ”maksiat” (ma’ashi), ”dosa” (zunab), ”mungkar” (munkar), ”keji” (fakhsya’), ”kemunafikan” (nifaq), dan segala macam ”muharramat” (yang diharamkan agama). Term-term ini sangat luas maknanya, mencakup hampir seluruh aspek kehidupan, terutama publik.
Saat ini, secara faktual marak keanekaragam perzinaan, eksploitasi aurat (para turis), iklan transparan (semua iklan hampir menonjolkan organ waita yang sensitif), judi, minum-minuman keras, dan lain-lain mengelilingi kehidupan ini secara bebas. Dan kebetulan, yang menyediakan hal-hal semacam ini secara full dan terbuka umum adalah restoran, night club, dan tempat-tempat hiburan lainnya yang notabene banyak dikunjungi oleh warga negara asing. Maka tak ayal lagi, tempat-tempat semacam itu selalu rentan aksi kelompok ini, baik berupa ancaman, bom, tembak, sweeping, dsb, yang semuanya masuk dalam kategori terorisme.
Bagi kelompok ini, demokrasi adalah absurd, hanya akal-akalan barat untuk mempermudah ekspansi kapitalisme-global yang ujung-ujungnya semakin memperlemah posisi dan bargaining power umat Islam, dan semakin mengangkat kekuatan mereka nyaris sempurna. Sampai saat ini, umat Islam identik dengan kelompok marginal, tertindas, obyek perdagangan, dan slalu dijadikan bulan-bulanan kaum zionis-imperalis dengan lokomotifnya AS. Maka, tidak ada jalan lain kecuali kekerasan dan mengoptimalkan semua kekuatan Islam untuk menandingi kedigdayaan lawan sesuai dengan bunyi teks hadits.
Disinilah kelihatan karakter asli kelompok ini yang memandang turas (doktrin dan tradisi) yang berupa teks-teks kitab secara literalistik, tekstual, sakral, eternal, magis, dan final. Pandangan inilah yang menyebabkan perilaku mereka yang ekstrem, radikal, fanatis, tidak kenal kompromi, eksklusif, dan fundamentalis. Apa yang tersirat dalam teks adalah mutlak kebenarannya dan wajib hukumnya memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan.
Persoalannya kemudian, betulkah karakter semacam ini menjadi mainstream pesantren di Indonesia, sehingga pesantren layak dituduh sebagai sarang terorisme sebagaimana tuduhan pihak berwajib? Di sinilah urgensi identifikasi dan kategorisasi pesantren untuk memperjelas apakah semua pesantren layak dituduh sebagai sarang terorisme, atau sebagian saja.
Sepanjang berdirinya negara ini, pesantren sebagaimana  yang kta tahu adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh para ulama untuk mendidik, membimbing dan memberdayakan santri dan masyarakat dalam hal keagamaan, sosial, budaya dan politik kultural. Peran serta ulama dalam ikut mengantarkan negeri ini ke gerbang kemerdekaan tidak diragukan lagi, tertulis dalam tinta emas perjuangan bangsa.
Tiga mainstream keilmuan pesantren (tauhid, fiqh dan tasawuf) sangat menganjurkan umat untuk berbuat kebajikan, kasih sayang, mengalah demi orang lain, membahagiakan orang lain, menolong dan bekerjasama, dan sedini mungkin menghindari konflik, konfrontasi, intrik, dan hal-hal destruktif lainnya. Dengan inilah Islam akan bisa diterima dimuka bumi secara simpatik dan penuh dengan kesan. Bukan dengan pedang, bom, temabk yang menyisakan kesan kejam, bengis, dan biadab. Bukankah Rasulullah Muhammad tidak pernah menggunakan pedang selama masih ada jalan lain yang lebih bijaksana?
Dari sini bisa disimpulkan, kelompok dari rahim pesantren yang populer dengan ”salafi radikal” ini adalah minoritas dari mainstream pesantren yang ada. Kelompok ini mempunyai aktivitas, gerakan dan target politik yang jelas, serta jaringan internasional dengan cara dan karakter yang spesifik. Di sektor dana, pesantren seperti ini juga mempunyai akses yang luas. Ciri-ciri semacam ini sulit didapatkan di pesantren Indonesia pada umumnya. Oleh sebab itu, sangat tidak bijaksana apabila ada pihak-pihak tertentu yang melakukan generalisasi dengan mengatakan semua pesantren layak disebut sebagai sarang terorisme.

E.   Penutup
Gerakan-gerakan radikal Islam di Indonesia memunculkan organisasi macam MMI, FPI, Laskar Jihad juga HT. Upaya untuk mengajak umat muslim kembali ke ajaran Islam yang murni atau cita-cita untuk menegakkan Daulah Islamiyah?
Berbagai label diberikan kepada kelompok ini; ada yang menyebutnya ekstremis, militan, radikal, dan fundamentalis. Tak mudah memang menulis tentang gerakan Islam atau mendefinisikan ”Islam radikal”. Sebutan radikal yang dilabelkan dalam gerakan Islam seringkali mengandung unsur pejoratif. Terlebih setelah kasus 11 September 2001, kata radikal diidentikkan dengan ”terorisme”. Kesulitan lainnya, label radikal selalu dilawankan dengan modernisme.
Menurut penelitian tentang fundamentalisme, gejala gerakan semacam itu bukanlah monopoli suatu kelompok keagamaan tertentu, bukan pula hanya lahir di wilayah tertentu. Kelompok radikal keagamaan juga terdapat di India dengan latar belakang agama Hindu, dan di Irlandia terdapat gerakan radikal Katolik maupun Protestan yang sangat militan. Bahkan di negara sekuler seperti Amerika, gerakan radikal keagamaan adalah gejala universal dan fenomena yang dapat berkembang pada semua tradisi keagamaan.
Munculnya gerakan Front Pembela Islam, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Komunikasi Ahulussunnah wal Jamaah (FKAWJ), termasuk KPPSI di Makassar, dan lain-lain, merupakan wujud respon psikologis yang tertunda (delayed psychological response) terhadap kekuasaan otoriter. Fenomena tersebut sesungguhnya hal yang biasa, ketika pintu keterbukaan dibuka. Gerakan Islam garis keras hanyalah satu dari sekian gerakan yang muncul pada masa reformasi.
Isu solidaritas terhadap penderitaan umat Islam di belahan bumi lain, ditambah lagi oleh sentimen sikap ketidakadilan dunia Barat, diakui menjadi faktor penting yang menumbuhkan radikalisme, termasuk ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan semacamnya— juga punya pengaruh.
Dari sudut teologis, gerakan Islam garis keras dipengaruhi oleh teologi salafi. Jika ditelusuri akar genealogis teologi salafi bersumber pada beberapa pemikiran dan gerakan. Gerakan Islam garis keras di Indonesia mengklaim dirinya sebagai pengikut minhaj al-Salafi (jalannya orang-orang terdahulu).
Teori salafi dipengaruhi oleh, pertama, pemikiran Ibn Taimiyah yang menentang infiltrasi budaya lokal dalam mempraktikkan agama. Kedua, secara gerakan, teologi salafi dipengaruhi oleh gerakan reformis Wahabi di Arab Saudi. Gerakan Wahabi di Arab Saudi mengharuskan adanya pemurnian ajaran Islam dari pengaruh budaya maupun ajaran non Islam dalam praktik-praktik keIslaman.































 
DAFTAR PUSTAKA


Abu Ulil: Menjual Barang untuk Berangkat Jihad,” Buletin Laskar Jihad Ahlus Sunah wal Jama’ah, Edisi 13/1/2001, p. 15.

Azyumardi Azra, “Radikalisasi Salafi Radikal,” Majalah Tempo, No. 41/XXXI/08-15 Desember 2002, di http://www.tempo.co.id/majalah/arsip/thn05/edisi41/kol-1.html, diakses tangal 16 Desember 2002.

Bruce D. Lawrence, Defenders of God, The Fundamentalist Revolt against the Modern Age, (New York: Herper & Row, 1989).

Budiyono, “Wawancara dengan Panglima Laskar Jihad,” di http://www.astaga.com/April 16, 2002, diakses tanggal 7 Oktober 2002.

Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah, “Fatwa Para Ulama tentang Jihad di Maluku,” di http://216.239.39.100/search?q=cache:LsLDOVWCxAC:www.laskarjihad.or.id/risalah/fatwa2.htm+%E2%80%9CFatwa+Para+Ulama+tentang+Jihad+di+Maluku,%E2%80%9D&hl=en&ie=UTF-8, diakses tanggal 17 Desember 2002.

Edmund Burke III dan Ira M. Lapidus (eds.,) Islam, Politics, and Social Movements. Berkeley: University of California Press, 1988.

E. Doyle McCarthy, Knowledge as Culture: The New Sociology of Knowledge, London and New York: Roudledge, 1996.

“Enam Laskar Jihad bertemu Presiden,” Harian Umum Kompas, Jumat 7 April 2000, di http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0004/07/utama/enam01.htm, diakses tanggal 17 Desember 2002.

Greag Fealy, “Inside Laskar Jihad: An Interview with the Leader of a New, Radical, Militant Sect,” Inside Indonesia 65, (Januari – Maret 2001), di http://www.insideindonesia.org/edit65/fealy.htm, diakses tanggal 6 Oktober 2002.

ICG, Indonesian Backgrounder: Why Salafism and Terorism Mostly Don’t Mix, Asia Report No. 83, 13 September 2004.

Indonesia: The Search for Peace in Maluku,” International Crisis Group, Asia Report No. 31, 8 Februari 2002.

Indonesia: Violence and Radical Muslims,” International Crisis Group, 10 Oktober 2001.

“Jihad Force is No One’s Political Tool: Commander Ja’far Umar Thalib,” The Jakarta Post, 15 Mei 2000, di http://www.thejakartapost.com

Ja’far Umar Thalib, “Dialog Islam-Barat di Jakarta,” Buletin Laskar Jihad Ahlus SUnnah wal Jamaah Edisi 18/11, 30 Maret -14 April 2002.

Lambang Trijono, “Religious Communal Conflict and Multi-track Resolution: Lesson from Ambon, Indonesia,” paper dipresentasikan pada Southeast Asia Conflict Studies Network Workshop, Malaysia, 3-5 Mei 2001.

“Laskar Jihad Dibubarkan,” Harian Umum Sore Sinar Harapan, 16 Oktober 2002, di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0210/16/sh05.html, diakses tanggal 16 Desember 2002.

Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Relligious Violence, (California: University of California Press, 2000).

Noorhaidi Hasan, “Faith and Politics. The Rise of Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia, Indonesia 73, (April 2002).

Peter Beger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, London: Penguin Books, 1991.

Rene Girard, Violence and the Sacred, (Baltimore & London: The Johns Hopkins University Press, 1973).

Robert W. Hefner, Civil Pluralism Denied? The New Media and Jihadi Violence in Indonesia, (makalah tidak diterbitkan, 2002).

Robert W. Hefner, “Transition or Breakdown Islam and Stalled Democracy in Indonesia,” makalah dipresentasikan di Conference of the Association for Asian Meetings, Washington, D.C., 6 April 2002.

“Setelah Berserak bagai Buih,” Gatra, 18 Agustus 2001.

“Teks ‘Pernyataan Perang’ oleh Panglima Laskar Jihad Ustadz Ja’far Umar Thalib,” disiarkan di Radio Suara Perjuangan Muslim Maluku (SPMM), tanggal 1-3 Mei 2002. BBC Monitoring International Reports, 16 Mei 2002, di http://websitesreg.com/ambon/documents/laskar-jihad-010502.htm, diakses tanggal 29 September 2002.

Wim Beuken dan Karl-Josef Kuschel (eds), Religion as Source of Violence, (London: SCM Press and Maryknoll, New York: Orbis Books, 1997).

Young Yun Kim, Communication and Cross Cultural Adaptation: an Integrative Theory. Clevedon, Phi, Multilingual Matters, Ltd., 1995.

http://www.islamic-paths.org/home/english/sects/qutubis-surooris/causing_dissention.html





















































 
BIODATA


IDENTITAS DIRI
Nama                                         :  Drs. Jeje Abdul Rojak, M.Ag.
NIP/NIK                                     :  196310151991031003     
Jenis Kelamin                            :  Laki-laki
Tempat dan Tanggal Lahir         :  Sumedang, 15 Oktober 1963
Agama                                       :  Islam          
Golongan / Pangkat                   :  (IV/c) / Pembina Utama Muda       
Jabatan Fungsional Akademik  :  Lektor Kepala       
Jabatan Tambahan                   :  Pembantu Dekan II
Fakultas                                     :  Syari’ah
Perguruan Tinggi                       :  IAIN Sunan Ampel Surabaya
Alamat                                       :  Jl. A. Yani 117 Surabaya
Telp./Faks.                                 :  031 8417418
Alamat Rumah                          :  Jl. Gang Nidlomiah No. 25 Jombang      
Telp./Faks.                                :  0321 866367
HP                                             :  081332093875,  088803048204
E-mail                                        :  jejeabdulrozaq@yahoo.com
Blog                                           : http://blog.sunan-ampel.ac.id/jejeabdrojaq



* Makalah ini disarikan dari laporan hasil penelitian kolektif dimana penulis termasuk salah satu anggotanya: Potret Islam Salafi di Indonesia (Lembaga Penelitian IAIN Sunan Ampel tahun 2005) dan Konstruksi Idiologis dan pola jaringan organisasi Islam Fundamentalis di Surabaya, serta benih-benih al-Ikhwan al-Muslimun dan al-Qaedah.
[1]  ICG, Indonesian Backgrounder: Why Salafism and Terorism Mostly Don’t Mix, Asia Report No. 83, 13 September 2004.
[2] Lihat http://www.islamic-paths.org/home/english/sects/qutubis-surooris/causing_dissention.html
[3] Edmund Burke III dan Ira M. Lapidus (eds.,) Islam, Politics, and Social Movements. Berkeley: University of California Press, 1988, hal. 19-20.
[4] Peter Beger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, London: Penguin Books, 1991; E. Doyle McCarthy, Knowledge as Culture: The New Sociology of Knowledge, London and New York: Roudledge, 1996.
[5] Young Yun Kim, Communication and Cross Cultural Adaptation: an Integrative Theory. Clevedon, Phi, Multilingual Matters, Ltd., 1995.
[6] Juduk ini diilhami oleh buku Van Dijk, Rebellion under the Banner of Islam, The Darul Islam in Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981). Penulis mengucapkan terima kasih kepada William H. Frederick, Elizabeth F. Collins (Ohio University), Osman Abu Bakar, John L. Esposito, John O. Voll (Georgetown University), dan Justin McDaniel (Harvard University), untuk kritik dan komentar mereka atas draft awal artikel ini. Artikel ini dianugerahi Panitia Ohio University sebagai The Best Student Award untuk Conference on Islam and Children di Ohio University, Athens, Ohio, 10-12 April 2003.
[7] Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Relligious Violence, (California: University of California Press, 2000), pp. 13-14.
[8] Wim Beuken dan Karl-Josef Kuschel (eds), Religion as Source of Violence, (London: SCM Press and Maryknoll, New York: Orbis Books, 1997).
[9] Rene Girard, Violence and the Sacred, (Baltimore & London: The Johns Hopkins University Press, 1973)
[10] Bruce D. Lawrence, Defenders of God, The Fundamentalist Revolt against the Modern Age, (New York: Herper & Row, 1989).
[11] Bruce D. Lawrence, Defenders of God, The Fundamentalist Revolt against the Modern Age, (New York: Herper & Row, 1989).
[12] Lambang Trijono, “Religious Communal Conflict and Multi-track Resolution: Lesson from Ambon, Indonesia,” paper dipresentasikan pada Southeast Asia Conflict Studies Network Workshop, Malaysia, 3-5 Mei 2001, p.1.
[13] Ibid.
[14] Robert W. Hefner, Civil Pluralism Denied? The New Media and Jihadi Violence in Indonesia, (makalah tidak diterbitkan, 2002), p. 6.
[15] Lihat Noorhaidi Hasan, “Faith and Politics. The Rise of Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia, Indonesia 73, (April 2002), p.159.
[16] Ibid.
[17] Azyumardi Azra, “Radikalisasi Salafi Radikal,” Majalah Tempo, No. 41/XXXI/08-15 Desember 2002, di http://www.tempo.co.id/majalah/arsip/thn05/edisi41/kol-1.html, diakses tangal 16 Desember 2002.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Lihat, “Indonesia: The Search for Peace in Maluku,” International Crisis Group, Asia Report No. 31, 8 Februari 2002, p.5.
[21] “Enam Laskar Jihad bertemu Presiden,” Harian Umum Kompas, Jumat 7 April 2000, di http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0004/07/utama/enam01.htm, diakses tanggal 17 Desember 2002.
[22] TAP MPRS No. XXV/1966 berisi tiga topik utama: (1) Pembubaran Partai Komunis Indonesia; (2) Pernyataan Partai Komunis Indonesia sebagai partai terlarang di Indonesia; (3) Pelarangan setiap aktivitas yang berhubungan dengan penyebaran atau pengembangan konsep atau doktrin Komunisme/Maxisme-Lenninisme, See, Ibid.
[23] Ibid.
[24] Lihat Greag Fealy, “Inside Laskar Jihad: An Interview with the Leader of a New, Radical, Militant Sect,” Inside Indonesia 65, (Januari – Maret 2001), di http://www.insideindonesia.org/edit65/fealy.htm, diakses tanggal 6 Oktober 2002.
[25] Lihat, “Indonesia: Violence and Radical Muslims,” International Crisis Group, 10 Oktober 2001, p. 13.
[26] “Enam Laskar Jihad Bertemu Presiden,” op cit.
[27] Ibid.
[28] Budiyono, “Wawancara dengan Panglima Laskar Jihad,” di http://www.astaga.com/April 16, 2002, diakses tanggal 7 Oktober 2002.
[29] “Indonesia: Violence and Radical Muslims,” op cit.
[30] “Jihad Force is No One’s Political Tool: Commander Ja’far Umar Thalib,” The Jakarta Post, 15 Mei 2000, di http://www.thejakartapost.com
[31] “Enam laskar Jihad Bertemu Presiden,” op cit.
[32] Norhaidi Hasan memperoleh informasi ini ketika di mewawancarai seorang anggota tim, Cempaka Putih Tengah, Desember 2000. Lihat Norhaidi Hasan, op cit., p. 148.
[33] “Setelah Berserak bagai Buih,” Gatra, 18 Agustus 2001, p. 88.
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah, “Fatwa Para Ulama tentang Jihad di Maluku,” di http://216.239.39.100/search?q=cache:LsLDOVWCxAC:www.laskarjihad.or.id/risalah/fatwa2.htm+%E2%80%9CFatwa+Para+Ulama+tentang+Jihad+di+Maluku,%E2%80%9D&hl=en&ie=UTF-8, diakses tanggal 17 Desember 2002.
[39] Ini merupakan salah satu hubungan jelas antara gerakan Laskar Jihad dan gerakan salafi di Arab Saudi.
[40] Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah, Op cit.
[41] Ibid.
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] Ibid.
[45] Ibid.
[46] Ibid.
[47] Ibid.
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Ibid.
[51] “Enam Laskar Jihad bertemu Presiden,” op cit.
[52] Norhaidi Hasan, Op cit., p. 166.
[53] Robert W. Hefner, “Transition or Breakdown Islam and Stalled Democracy in Indonesia,” makalah dipresentasikan di Conference of the Association for Asian Meetings, Washington, D.C., 6 April 2002, pp. 6-7.
[54] Ibid.
[55] Ja’far Umar Thalib, “Dialog Islam-Barat di Jakarta,” Buletin Laskar Jihad Ahlus SUnnah wal Jamaah Edisi 18/11, 30 Maret -14 April 2002, p.4.
[56] “Teks ‘Pernyataan Perang’ oleh Panglima Laskar Jihad Ustadz Ja’far Umar Thalib,” disiarkan di Radio Suara Perjuangan Muslim Maluku (SPMM), tanggal 1-3 Mei 2002. BBC Monitoring International Reports, 16 Mei 2002, di http://websitesreg.com/ambon/documents/laskar-jihad-010502.htm, diakses tanggal 29 September 2002.
[57] Regina M. Schwartz, op cit., p. 5.
[58] Ibid.
[59] “Laskar Jihad Dibubarkan,” Harian Umum Sore Sinar Harapan, 16 Oktober 2002, di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0210/16/sh05.html, diakses tanggal 16 Desember 2002.
[60] Greg Fealy, “Inside Laskar Jihad: An Interview with the Leader of a New, Radical, Militant Sect,” Inside Indonesia 65, (Januari-Maret 2001).
[61] Norhadi Hasan, Op cit., p. 166.
[62] Abu Ulil: Menjual Barang untuk Berangkat Jihad,” Buletin Laskar Jihad Ahlus Sunah wal Jama’ah, Edisi 13/1/2001, p. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar