Muslimspot.com

Kamis, 05 Mei 2011

Melihat Makna, Sifat, dan Indikasi Hukum Adat serta Perbedaannya Dengan Hukum Kebiasaan

By: Jondra Pianda, S.Sy.
    Terdapat perbedaan antara hukum adat dan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah hukum yang terbentuk karena adanya perbuatan yang dilakukan secara berulang- ulang. Karena itu, disebut sebagai kebiasaan (gewoonte) dan dirasakan masyarakat sebagai suatu perbuatan yang sudah seharusnya dilakukan. Kebiasaan ini memiliki sifat mengikat didasarkan pada pandangan msyarakat yang merasakan kebiasaan yang bersangkutan sebagai kewajiban yang harus ditaati karena telah dikukuhkan oleh pemimpin masyarakat, atau di dalam masyarakat modern karena adanya pendapat umum, yurisprudensi dan doktrin.
Adapun unsur dari hukum kebiasaan itu sendiri adalah: pertama, adanya keyakianan masyrakat tentang suatu perbuatan yang dianggap sebagai keharusan sehingga harus dilaksanakan. Kedua, adanya pengakuan atau keyakinan bahwa kebiasaan tersebut bersifat mengikat. Dan ketiga, adanya pengukuhan berupa pengakuan dan atau penguatan dari keputusan yang berwibawa.
Sedangkan hukum adat adalahhukum yang merupakan bagian dari adat- istiadat, memiliki asas- asas yang berasal dari budayadan keyakianan masyarakatsebagai norma tidak tertulis yang dibuat dan atau dipertahankan oleh fungsionaris hukum (penguasa yang berwibawa) bersifat mengikat serta mengandung sanksi.
Sebagai hukum sosial hukum adat memiliki sifat khusus, yaitu terbuka, sebuah sifat yang muncul karena adanya interaksi harmonis antara sistem- sistem hukum yang berlaku pada masyarakat indonesia, antara hukum tertulis dan tidak tertulisatau antara hukum adat dengan hukum islam serta hukum barat. Berdasarkan sifat ini tidak menutup kemungkinan bahwa hukum adat dapat menerima hukum tertulisatau sistem hukum lain ke dalam sistem hukumnya selama hukum dipandnag sesuai dengan keperibadian masyarakat.
Hal tersebut mungkin saja disebabkan karena sifat hukum adat yang empat, yaitu: magis- religius, komunal, konkret dan kontan. Keempat sifat hukum adat ini adalah cukup bukti untuk menguatkan pernyataan yang menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang terbuka.
Terciptanya pranata- pranata modern telah menipiskan akar promordialitas masyarakat berkembang atau transsi dalam setiap hubungan hukum, baik pada tingkat lokal maupun internasional. Pada sisi lain, pranata pranata tersebut sebagai sebuaah fenomena yang baru tercipta dalam masyarakat tradisional, pula memunculkan perpecahan kesadaran hukum dengan kompleksitas ide- ide, norma- norma dan nilai- nilai sosialnya. Asas modernitas, sebagai satu- satunya alasan dan tuduhan atas adanya intervensi kolonial, baik secara sadar maupun tidak, telah memunculkan reformulasi sistem hukum paada msyarakat timur- jika tidak sepakat bahwa dunia atas timur dan barat- termasuk indonesia.
Dalam sistem hukum, terjadi pergeseran hukum tidak tertulis oleh hukum tertulis, yang nota bene pertama kalinya diperkenalkan kolonial asing, dan akhirnya diterima sebagai sebuah sistem yang memiliki validitas lebih. Pergeseran itu terjadi secara langsung, sederhana dan cepat.
Hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dikonsepsikan sebagai sistem hukum yang tebentuk dan berasal dari pengalaman empiris  masyarakat pada masa lalu, yang dianggap adil atau patut dan telah mendapatkan legitimasi dari penguasa adat sehingga mengikat atau wajib dipatuhi (bersifat normatif). Proses kepatuhan terhadap hukum adat, mula- mula muncul karena danya asumsi bahwa setiap manusia sejak lahir telah dliputi oleh norma- norma yang mengatur tingkah laku personal untuk setiap perbuatan hukum dan hubungan- hubungan hukum yang dialukannya dalam suatu tindakan harmonis. Dengan demikian masyarakat dan anggota- anggotanya menjalankan perintah- perintah normaif ini tanpa memandangnya sebagai – atau berdasarkan atas- suatu paksaan melainkan karena nggapan bahwa perintah- perintah tersebut memang demikianlah seharusnya.
Pandangan tersbut sesuai dengan falsafah masyarakat indonesia, yaitu falsafah serba berpasangan (participerend denken), beralam pikiran integral- harmonis dengan alam semesta dan mendambakan suasana selaras- serasi- seimbang dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terbukti misalnya pada konsep hak milik perorangan atas tanah di samping hak ulayat (beschikkingsrecht), yang sering juga disebut hak milik asli (eigedom) atau hak milik komunal (communal bezitsrecht) sebelum berlakunya UU No. 5/ 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraris (UUPA). Hak ulayat (publik pen.) ini menurut Vallenhoven, adalah hak milik masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) yang tidak dapat dilepaskan kecuali untuk sementara waktu, guna kepentingan anggota- anggotanya atau mungkin orang asing. Dalam hal terjadi pelepasan hak kepada orang asing, si orang asing yang bersangkutan harus memberi kompensasi berupa pembayaran cukai (heffingen) atas penghasilan yang hilang karana pelepasan tersebut, kepada msyarakat setempat tanah ulayat tersebut terletak.
Suatu hal yang menarik bahwa pelepasan hak ulayat yang dlakukan sebelum berlakunya UUPA kepada pemerintah Hindia Belanda, harus diartikan sebagai pelepasan hak kepada pemerintah RI pasca pemberlakuan UUPA, yang dengan demikian dapat dipahami sebagai suatu perubahan status tanah ulayat menjadi tanah milik negara.
Oleh sebab itu, menurut para ahli hukum adat adalah hukum yang khas, karena baik sebagai sesuatu yang akademis maupun sebagai alat rekayasa politik, hukum adat merupkan satu bentuk hukum yang pernah berkuasa di indonesia. Anlisis hukum adat oleh para ahli, terutama dari kalangan barat, seringkali jauh pada dua asumsi yang salah. Pertama bahwa hukum adat dapat dipahami melalui bahan- bahan tertulis, dipelajari darri catatan- catatan asli atau didasarkan pada hukum- hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat dapat disistimasikan secara paralel dengan hukum- hukum barat atau setidak- tidaknya dengan cara yang sama seperti halnya pembentukan corpus juris justitionus. Kesalahan- kesalahan inipun lebih parah setelah pemerintah kolonial mengadopsinya kedalam berbagai peraturan perundang- undangan (ordonanti).
Sebagai negara yang sedang melakukan transformasi hukum menuju pada sistem hukum tertulis (statutory law system), indonesia telah dan sedang mengupayakan suatu proses unifikasi dari berbagai sistem hukum tidak tertulisnya yang berlaku di beberapa bagian masyarakat di indonesia. Salah satu pokok perhatian dalam proses tersebutt adalah mengenai keberasaan hukum adat terutama untuk bidang- bidang yang sensitif. Bidang- bidang hukum adat yang sampai sekarang masih tetap hidup dalam pola- pola hubungan hukum pada msyarakat di indonesia, yang keberadaannya bergantung pada faktor budaya dan keyakinan masyarakat.
Hukum Adat Menurut Undang- Undang Dasar 1945
Indonesia telah mengalami empat kali pemberlakuan konstitusi, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950 dan UUD 1945 pasca Dekrit. Hal ini menimbulkan satu pertanyaan, apakah hukum adat diakui oleh konstitusi di indonesia?
Terdapat beberapa jawaban atas pertanyaan ini, yaitu: pertama, sesuai dengan apa yang dikukuhkan oleh TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, maka keberadaan dan pemberlakuan hukum adatmasih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan didasarkan pada UUD 1945. kedua, dilatakan bahwa UUD 1945 mengandung kristalisasi adat sebagaimana dijelaskan dalam bagian Penjelasan Umum Paragraf II yang pada intinya menjelaskan keterkandungan asas- asas hukum adat dalam konstitusi di indonesia. Hal tersebut dapat dipahami dari klausul suasana yang terkandung dalam aragraf tersebut. Ketiga, pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang disebut juga sebsgai legitimasi hukum adat menyatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih masih langsung berlaku selama belum diadakan yang beru menurut Undang- Undang Dasar ini”.
Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya hukum adat adalah suatu hukum yang berlaku bagi setia badan negara seperti lembaga- lembaga hukum dan peraturan peraturan sepertiketentuan- ketentuan dalam pasal 131 dan pasal 163, baik sebelum maupun pada masa pemerintahan kolonial.
Ketiga jawaban atas pertanyaan sebelumnya diatas adalah cukup representatif untuk sebuah pernyataan bahwa hukum adalah hukum yang pernah menjadi raja hukum di indonesia sekaligus sebagai hukum yang tidak pernah mati atau tetap dianut oleh kalangan tertentu di beberapa daerah di indonesia.
Eliminasi Peranan Hukum Pidana Adat Menurut UU No. 1 Darurat tahun 1951
    Diantara sekian banyaknya unsur- unsur dalam hukum adat yang telah diupayakan untuk dihapus dari sistem hukum yang hidup di indonesia seperti hukum waris adat, perkawinan adat, perjanjian adat dan lain sebagainya, maka hukum pidana adat-lah yang nampaknya perlu menjadi acuan dan bukti konkrit dari upaya penghapusan tersebut.
Berdasar pada ketentuan pada  UU No. 1 Darurat Tahun 1951, dapat disimpulkan bahwa hukum pidana adat berikut sanksi- sanksinya diupayakan untuk dihapus dari sistem hukum di indonesia dan diganti oleh perundang- undangan sehingga prosedur penyelesaian perkara- perkara pidana pada umumnya disalurkan melalui pengadilan umum.
Ditentukan melalui pasal 1 undang-  undang ini bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan gubernemen, badan pengadilan swapraja (zelbesturrechtspaark) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tdilan adat telah dihapuskan. Akan tetapi, sampai sekarang masih terdapat hakim hakim yang mendasarkan putusannya pada “hukum adat” (dalam tanda petik, pen.) atau setidak- tidaknya pada hukum yang dianggap sebagai hukum adat dengan penafsirannya atas pasal 5 ayat 3 UU No. 1/Drt/1951.
Masa Depan Hukum Adat
    Beranjak dari premis bahwa hukum adat talah mengalami reduksi yang signifikan, keberadaan hukum adat pada masa sekarang nampaknya akan tetap berlaku sepanjang masyarakat masih memiliki nilai- nilai dan norma- norma yang menjadi patokan dalam bertingkah laku.konstitusi hukum adat sangat bergantung pada budaya dan keyakinan masyarakat. Rontoknya nilai- nilai dan norma- norma tersebut akan membawa implikasi pada kematian hukum adat.
    Khusus untuk bidang- bidang hukum adat yang telah diatur peraturan perundang- undangan, berarti ketentuan dalam hukum adat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai hukum adat, karena ciri- ciri hukum adatnya telah hilang, yaitusebagai hukum tidak tertulis. Dengan demikian, keberadaan hukum adat terbatas pada asas- asasnya saja. Dengan kata lain, hukum adat yang bersangkutan tidak berlaku dalam tingkat praktiskecuali asas- asas dan nilai- nilainya, yang nota bene nya tidak mengikat, tidak memiliki kekuatan hukum.
    Dengan mengingat bahwa saat ini masih diupayakan sebuah bentuk sistem hukum nasional, mungkin terjadi kekosongan hukum dalam bidang- bidang tertentu. Hal ini jelas membawa implikasi pada hukum adat yang berfungsi sebagai pelengkap atau tambahan  yang mengisi kekosongan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar