Muslimspot.com

Senin, 09 April 2012

Rame-rame Selamatkan Koruptor (Menilik Korupsi dalam Tinjauan Akhirat)


By: Jondra Pianda, S.Sy.

Lagi, risywah (suap) menjadi obrolan hangat. Tampak bahwa perbuatan ini memang tidak akan kunjung padam di negeri ini. Terkait Risywah disinyalir banyak sekali penyebabnya. Namun yang begitu nyata adalah karena pemerintah belum menemukan format hukuman yang tepat untuk menjerat para pelaku. Mengapa Pemerintah? Karena memang Negara ini adalah Negara hukum yang menempatkan Pemerintah sebagai pengurus organisasi yang bernama Negara ini.
Dalam sebuah dialog para tokoh bertajuk Kiat Memberantas Korupsi, yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi tahun lalu, diperoleh satu kesimpulan bahwa satu-satunya cara ampuh  yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang nyaris over-load di negara yang mayoritas muslim ini adalah dengan meningkatkan kesadaran beragama yang kuat.  Hal ini merupakan jawaban atas kegamangan para tokoh bangsa itu dalam menemukan solusi yang efektif menuntaskan negara dari korupsi. Tidak ditemukannya solusi itu, sebabnya adalah karena hingga saat ini penyebab korupsi itu tidak dapat digeneralisir menjadi satu karena sejatinya memang beraneka sebab, konsumerisme (ekonomi), tekanan politik, (keluarga) sosial, lemahnya penegakan hukum dan lain sebagainya. Namun yang pasti bukan agama dan budaya, karena ajaran agama dan leluhur kita tidak pernah mengajarkan kita untuk korupsi. Dengan demikian, orang yang melakukan korupsi dapat disebut pelanggaran terhadap ajaran agama dan kehendak leluhur suatu bangsa.
Terlepas bahwa korupsi adalah sebuah pelanggaran terhadap ajaran agama (akhlaq al-madzmumah) yang harus diberantas, para koruptor dalam ajaran tersebut juga wajib ditolong. Menolong bukan berarti ikut nimbrung di dalamnya sehingga dikenallah istilah korupsi berjamaah. Melainkan menolong untuk menyelamatkan mereka dari ketidakselamatan di akhirat kelas. Bentuk pertolongan itulah yang akan penulis bahas dalam artikel ini.  

Korupsi dalam Tinjauan Fiqh Jinayah (Pidana Islam)
Dalam tinjauan jinayah pidana Islam, sebagaimana dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di UII, Prof. Amir Mu’allim dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta berargumen bahwa jika mengikuti ajaran Al-Qur’an korupsi dapat diberantas hanya dengan hukuman mati (bagi koruptor kelas kakap), potong silang (untuk koruptor kelas menengah), dan penjara (bagi koruptor kelas teri).
Sangat menakutkan mengetahui sanksi yang demikian, namun jika boleh menyambung dialog itu pada saat ini, maka secara spesifik saya beranggapan bahwa kembali pada ajaran agama itu adalah solusi yang super hebat. Mengingat ajaran agama itu bersumber pada Tuhan yang menciptakan dan paling mengetahui jalan keluar suatu permasalahan.
Kita semua, mungkin, pernah membayangkan, hidup damai dalam naungan agama yang kita cintai, Islam. Setidaknya, karena kita meyakini dengan sepenuh hati, Islam adalah agama yang mampu memberikan tuntunan-tuntunan hidup yang positif dan rasional lewat ajarannya baik di dunia maupun akhirat sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an dan AL-Hadis. Di dalam kedua sumber suci ajaran itu juga diatur mengenai kabar gembira dan ancaman (basyiran wa nadziran) yang keduanya difungsikan untuk mendeskripsikan reward atas kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh tangan manusia selama mereka di dunia. Hal ini mengisyaratkan bahwa Allah dan Rasul-Nya menghendaki bahwa manusia seharusnya punya jiwa antisipatif atas akibat dari apa yang akan diperbuatnya.
Hilangnya jiwa ansisipatif inilah yang kemudian menjadikan manusia tidak berfikir kedua kali dalam setiap tindakannya. Khususnya terhadap ancaman dosa bagi siapa yang melakukan tindakan buruk seperti korupsi atau suap yang juga dapat diterjemahkan sebagai pengabaian terhadap ancaman Allah dalam Al-Qur’an yang diperinci oleh Hadis Rasulullah.
Jika boleh mengajak untuk berandai-andai bahwa jika saja manusia Indonesia ini mampu menanamkan sikap antisipatif dalam hal dosa-pahala, sebagaimana disampaikan di atas mungkin bencana akhlak berupa korupsi akan hilang atau paling tidak begitu menggeliat seperti saat ini.

Ilustrasi Balasan Allah Bagi Koruptor dalam Slilit Sang Kiyai (Rememori)
Slilit sama sekali tak penting. Tak pernah jadi urusan nasional. Tidak pula berkaitan dengan ilmuan atau penyair yang memang tidak pernah mengingatnya. Bahkan satu-satunya produk ekonomi yang berkaitan dengannya disebut tusuk gigi –bukan tusuk slilit. Padahal slilitlah yang ditusuk.
Namun demikian, slilit pernah memusingkan seorang kiyai di dalam kuburnya, bahkan mengancam kemungkinan susksesnya masuk surga. Ceritanya dia mendadak dipanggil Tuhan, sebelum para santrinya diap untuk itu. Murid-murid setia itu sesudah mengebumikan sang kiyai lantas nglembur mengaji berhari-hari. Arag diperkenankan bertemu roh beliau sejenak barang dua jenak. Dan Allah Yang Maha memungkinkan segala kejadian akhirnya menunjukkan tanda kebesaran-Nya. Melalui mimpi, para santri itu melihat roh sang kiyai menemui mereka.
Singkat cerita terjadilah wawancara singkat, prihal nasib sang kiyai di alam “sana”. Sang kiyai pun berkata: “Baik-baik nak, dosa-dosaku umumnya diampuni, amalku diterima, tapi cuma satu yang membuatku masyghul (sibuk). Kalian ingat waktu aku memimpin kenduri di rumah Pak Kusen? Sehabis makan bareng hadirin berebut menyalamiku, hingga tak sempat aku mengurus slilit di gigiku. Ketika pulang, di tengah jalan, barulah bisa kulakukan sesuatu. Karena lupa enggak bawa tusuk gigi slilit maka aku mengambil sepotong kayu kecil dari pagar orang. Kini alangkah sedihnya, bahwa aku tidak sempat minta maaf kepada yang empunya prihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah bakal mengampuniku”.
Para santri pun turut berduka. Kemudian membayangkan alangkah lebih malangnya nasib sang kiyai bila slilit di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu sebesar gelondongan kayu raksasa di hutan Kalimantan. Lebih-lebih kalau menyamai hotel Asoka atau candi Borobudur, setidaknya satelit Palapa.
Ada satu insensitas ruhani tertentu dari hidup manusia. Yakni tempat Tuhan begitu mutlak. Tempat pahala begitu sakral, dan dosa begitu menakutkan lebih dari Banaspati. Intensitas itu tentunya bergantung pada bagaimana seseorang mengolah dirinya dalam hidup.
Meski demikian, hal itu sebenarnya neluriah saja. Tanpa mengenal konsep dosa secara agama pun orang yang menebang pohon angker jatuh sakit menganggap penyakitnya karena dosa kepada yang punya dan menjaga pohon itu. Ada juga yang merasionalisasi: karena tindakan penebangan merusak sistem ekologis.
Seorang Indian Wintu Callifornia berkata pilu: “Orang-orang kulit putih ini tidak pernah mencintai tanah, rusa atau beruang. Jika kami makan daging, kami tak menyisakannya. Jika kami memerlukan akar, kami bikin lubang bukan mencerabutnya. Kami tak menumbangkan pihon. Kami hanya memakai kayu yang mencabutnya, memotong-motongnya. Roh tanah benci mereka! Mereka meledakkan batu-batu. Gunung-gunung kecil, menghamparkannya di tanah hingga saling tidak bisa bernafas. Batu-batu mengaduh: jangan! Aku pecah dan aku sedih! Tetapi mereka tak ambil pusing. Bagaimana roh batu menyayangi mereka? Apa saja yang tersentuh mereka rusaklah segala sesuatu itu….!
Naluri jernih suku Wintu bagai menyindir sejarah, sesudah kepunahan bangsa Kulit Merah, manusia dengan kesadarannya berhasil menaklukkan alam, menggenggam, mengeksplorasi, mengekploitasi, dan menyulapnya menjadi surga impian; memakan, menghabiskan, memeras dan mengenyamnya demi kelayakan-kelayakan yang irasional dan mubadzir, bagai direncanakan untuk menyegerakan kehancuran yang ditutup-tutupi.
Jika naluri suku Wintu bisa disebut identik dengan kesadaran dosa, pada zaman seba penaklukan ini, rumusan dosa telah begitu sukar diperoleh. Segalanya serba berkaitan, semrawut dan membenang kusut, menjadi tak begitu penting, juga di negari yang bangsanya Nampak religius. Kata “Tuhan” disebut ratusan kali setiap hari. Konsep dosa tidak memiliki fungsi di hampir setiap kebikasanaan yang menyangkut orang banyak. Konsep dosa hanya tersisa di bagian pinggiran dari urusan pokok masyarakat. Dan bagian pinggiran itulah hidup Pak kiyai yang sangat masyghul (sibuk, pen.) akibat dosa selilitnya. (Diadopsi dari: Slilit Sang Kiai karya Emha Ainun Najib dalam Grafiti mei 1993 hal. 3-5)

Orang Islam Wajib Menyelamatkan Koruptor
Fitrah manusia adalah ingin selalu dekat dengan Tuhannya. Jalaluddin Rumi, seorang sufi mengibaratkan jiwa manusia seperti sebatang bambu yang diambil (dipisahkan) dari rumpunnya. Begitulah kita-kita bagaimana ruh manusia ini begitu rindu pada asalnya yaitu Tuhan.
Dengan fitrah yang demikian, maka manusia sejatinya tidak akan mau berbuat sesuatu yang dapat menjauhkannya dari Tuhan. Perbuatan yang menjauhkan manusia dari Tuhan itu adalah segala perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani yang telah diciptakan Tuhan sebagai barometer. Hati nurani tidak pernah setuju dengan perbuatan yang buruk. Dan setiap manusia pasti memiliki hati nurani.
Korupsi adalah perbuatan yang sangat bertentangan dengan ajaran agama karena dapat di-qiyas-kan sebaai perbuatan mencuri. Jika ditilik lebih jauh akar persoalannya maka dapat dipastikan bahwa jauh dalam hati nuraninya, seseorang tidak mengehendaki perbuatan ini. Namun karena beberapa sebab seperti yang disampaikan pada pendahuluan di atas bahwa lingkungan ekonomi, politik, sosial, dan hukumlah yang memaksa (menipu)-nya untuk berbuat demikian. Hal ini sesuai dengan petunjukan Nabi bahwa setiap manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menentukan apakah ia akan menjadi hitam atau putih. Hal ini juga dapat diartikan lingkunganlah yang dapat menjadikan seseorang baik atau buruk.
Keadaan terpaksa (tertipu) inilah menjadi dalil bagi orang Islam untuk membantu koruptor yang dipaksa (ditipu) oleh suatu kondisi. Dapat pula diartikan bahwa mereka dizalimi oleh lingkungan dimana mereka hidup. Di sisi lain, koruptor juga dapat disebut orang yang zolim karena telah merampas hak orang lain dan menimbulkan banyak kesengsaraan. Dalam kedua posisi ini, Islam mengajarkan bahwa orang Islam akan berdosa jika tidak membantu orang yang dizalimi dan zalim, dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar.
Dasar kewajiban itu sebagaimana firman Tuhan dalam hadis qudsi: "Dengan keperkasaan dan keagunganKu, Aku akan membalas orang zalim dengan segera atau dalam waktu yang akan datang. Aku akan membalas terhadap orang yang melihat seorang yang dizalimi sedang dia mampu menolongnya tetapi tidak menolongnya." (HR. Ahmad)
Begitu juga dalam hadis Nabi: “Barangsiapa berjalan bersama seorang yang zalim untuk membantunya dan dia mengetahui bahwa orang itu zalim maka dia telah ke luar dari agama Islam. (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
Dalam hadis lain juga disebutkan: “Bila orang-orang melihat seorang yang zalim tapi mereka tidak mencegahnya dikhawatirkan Allah akan menimpakan hukuman terhadap mereka semua. (HR. Abu Dawud)
Kemudian pertanyaan yang timbul adalah dalam bentuk apakah bantuan itu diformulasikan bagi para koruptor?
Cara membantu koruptor dalam posisi dia sebagai orang yang zalim adalah sebagaimana Rasul pernah bersabda, yang seketika itu pula para sahabat bingung karena tidak mengerti dengan ucapan Rasul. Hadits  tersebut adalah: “Tolonglah saudaramu baik yang dizolimi dan yang zolim.” Mereka bertanya: “ini kita membantunya disaat dia dizolimi, kemudian bagaimana kita membantu orang yang zolim?” Beliau bersabda: “rampaslah apa yang ada ditangannya (kekuasaanya)
Dalam hadis ini ini, koruptor diposisikan sebagai pihak yang berlaku zolim karena perbuatan mencuri hak orang lain. Namun demikian, dalam ajaran Islam mereka juga termasuk orang-orang yang harus ditolong. Walaupun memang hadis di atas tidak secara spesifik diformulasikan bagi para koruptor.

Pada akhirnya, memang tidak ada satupun manusia yang dapat memastikan bahwa hukuman di dunia dapat menghapus hukuman Allah di akhirat. Namun demikian, indikasi bahwa barang siapa yang mau bertaubat atas dosa yang telah diperbuatnya, pastilah Allah akan mengampuni dosa-dosa itu. Wallahu a’lam bishawwab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar