Muslimspot.com

Sabtu, 07 April 2012

Tau..? Kalian itu Spesial (Catatan Akhir Sekolah)


oleh: Jondra Pianda, S.Sy.
Guru memang harus objektif menilai murid. Prinsip ini seharusnya memang mendarah daging dalam diri seorang pendidik dan pengajar (pendidik dan pengajar itu beda, Bung!). Tapi bagaimanapun, setiap guru pasti punya siswa yang begitu ‘special’ - punyai nilai lebih- dari siswa-siswa yang lain. Spesialisasi itu memuat beberapa katagori, diantaranya: kecerdasan, kedisiplinan, dan loyalitas. Atau antonim dari ke-tiga kategori itu. Tapi terkait yang terakhir ini, saya punya cerita sendiri bersama ketiga murid yang menyebut dirinya sebagai “The Fly”. Apalagi pada momentum perpisahan siswa tahun ini, saya rasa tidak begitu lebay untuk menuangkan kenangan itu dalam bentuk tulisan .. betul tidak? (Aa Gym)
Awalnya saya gak donk apa maksud sebutan itu. Tapi setelah dipikir, ternyata nama itu adalah singkatan dari nama ke-tiga murid yang menurutku begitu special, F-arida, L-ina, Y-uni. Sekali lagi spesialisasi ini terkait loyalitas, bukan karena kami berlawanan jenis. Saya orang ganteng (bersertifikat Internasional), mereka Trio Macan (Manusia Cantiq)  versi On The Spot.
Berikut ini komentar saya terkait beberapa kategori special “The Fly”, selain loyalitas :Kecerdasan: mereka gak begitu cerdas. Gak pernah jadi juara umum atau juara kelas. Apalagi dapet “Nobel”. Pernah sih juara 1 MTQ Kecamatan walau gagal di tingkat Kabupaten. Tapi kalo di kelas memang mereka cerdas dalam bidang lain, yaitu membuat suasana kelas jadi rame. Di kelas 7 –sebodoh-bodohnya saya, dulu pernah ngajar bahasa Inggris- pun saya punya sebutan khusus buat mereka. Farida=saya lupa, Lina= Ms. Hour, Yuni=Ms. Blow.  Sebutan itu menurut hemat saya muncul karena cinta mereka terhadap kamus lengkap bahasa Inggris 9 miliar. Kalau mau bilang “jam 10” dalam bahasa Inggris , Lina bilang: “Hour ten”. Sedangkan Yuni bilang: “Blow ten”. Kalian tahu hour artinya jam. Blow artinya pukul. Saya tersenyum, karena semenjak saya “brojol” ke dunia ini, saya belum pernah denger turis asing bilang begitu. Tapi untuk menghormati keberanian mereka, diakhir pertemuan saya katakan: “Dalam belajar bahasa tidak ada yang salah, tapi mungkin kurang tepat”. Paling tidak, mungkin keterbukaan saya ini adalah awal kedekatan kami secara emosional. Buktinya, saya tau dari cerita mereka siapa saja mantan-mantan -dalam istilah kerennya “ex-boyfrends”- nya. Yah.. paling tidak saya dapat satu pelajaran bahwa guru yang baik adalah guru yang bisa jadi pengajar&pendidik sekaligus sebagai teman curhat. Asal kalian tau aja.. Jarang loh guru yang bisa begitu –tepuk tangan dunk buat saya, .. piss!
Kedisiplinan: Wah ... berat bagi saya untuk mengatakan bahwa “The Fly”adalah ‘genk’ yang sangat begitu tidak disiplin-nya luar biasa (bahasa alay). Solanya ini benar-benar terjadi, bahwa saya gak pernah liat kapan mereka pake kaos kaki ke sekolah. Untuk ketagori yang satu ini saya punya sebutan khusus untuk mereka “Si Kaki Jarang”. Jarang artinya kuda. Tapi kami akrab bilang “Sikil Wong Gunung”. Gak tau kenapa, tapi belakangan saya tau karena mereka males nyuci. Farida pernah ngaku kalo spatunya aja udah 2 bulan belum dicuci. Katanya: “biar hujan aja yang nyuci, pak!”. Cukup beralasan, karena kalo musim panas Gunungkidul gak ada airnya. Kalo pun ada itupun harus beli. Ini mungkin sebabnya Farida gak pernah nyuci sepatu. Saya maklum karena paling tidak ini masukan bagi Pemerintah, bahwa kalo mau generasi muda Indonesia tidak males nyuci agar menyediakan bantuan air besih kalo musim kermarau, khusunya bagi warga Purwosari dan sekitarnya. Heee … (curhat boleh kan..? Presiden aja suka curhat sama pundunk di tipi, kok!)
Untuk kategori Loyalitas senghaja saya akhirkan karena saya punya cerita tersendiri yang cukup “dramatis” bersama “The Fly”. Kenangan yang tentu saja yang membuat saya sedih untuk berpisah dari mereka pada pertengahan tahun 2012 ini. Insyaallah, mereka akan “kadaluarsa”  –lulus- dari sekolah ini pada bulan kelulusan (kalo pun lulus, .. piss!).
Kamu tau, sosok sepinter “Pak YoPi” –singkatan Jondra Pianda- ini nasibnya tidak sebaik prestasinya di bangku akademik. Fakta bahwa dari bangku SD sampe SMA saya gak pernah dapet juara 2. Saya hanya mengenal juara 1 dan sebutan jenius di sekolah. Bisa kuliah pun karena dapet beasiswa penuh badah wakaf UII (Universitas Islam Indonesia; bukan InsyaAllah Islam). Terima kasih almamaterku. Sampe akhirnya, saya kawin dan sekarang punya 2 anak yang ganteng kaya bapaknya, dan cantik kaya ibunya. Saya tergolong mahasiswa berpredikat MA. Bukan Master Agama tapi Mahasiswa Abadi. Itu karena saya kuliah sampe 6 tahun baru lulus. Huss .. bukan karena bodoh, brow! Tapi karena saya memutuskan ambil cuti “illegal” pada tahun 2007 sampe 2009. Berbarengan dengan masuk pascacuti itulah saya ditawari bapak angkat saya untuk ngajar di SMP N I Purwosari pada awal tahun 2009. Artinya di umur yang belia ini, saya sudah melakoni tiga tugas sekaligus, kepala rumah tangga, mahasiswa sekaligus guru –walau pun honorer/ GTT-. Telak himpitan ekonomi pun memaksa saya untuk berpikir kreatif mengumpulkan pundi-pundi rupiah dan –pinjem istilah Wali Band- sebongkah berlian. Yah .. semua itu demi bertahan hidup di tanah rantau yang jauh ini, kidul Ngayogyakarta Hadiningrat. Untuk bisa kuliah, nglaju Jogja-Gunungkidul, tentu saja buat makan istri dan anak-anak.
Bisa dibilang memanfaatkan status sebagai guru Bahasa Inggris, saya coba membuka Les Bahasa Inggris baik di dari rumah ke rumah –istilah kerennya Privat- dan di sekolah. Sehingga berdirilah di sekolah pada saat itu komunitas pencinta bahasa Inggris, “English Lovers”. Dengan konsep ABG (Anak Belajar Gratis). Di sini saya doktrin anak-anak untuk menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa milik mereka, bukan hanya milik orang Inggris. Sehingga mereka saya bebaskan mau ngomong, mau nulis apa saja dalam bahasa Inggris. Toh .. kalo pun salah alias ngawur tidak ada yang marah. Bahkan sering kami tertawa terbahak-bahak ketika ada sesi mendengarkan musik Barat yang kami terkakan. Suasana kekaluargaan, keterbukaan, kesejajaran antara saya dan mereka –“English Lovers”- tampaknya membuat mereka begitu enjoy. Kalo saya lagi ada duit tidak jarang saya beli jajanan walau hanya sekedar minuman dan roti ketika pertemuan sambil NoBar (Nonton Bareng) film kartun Barat. Begitu pun mereka, walau Cuma permen yang harganya paling 100 perak.
Di disinilah awal mula kisah saya dan “The Fly” diawali. “English Lovers” tidak berjalan lama, hanya sekitar 1,5 tahun. Karena seiring dengan berjalannya waktu pada akhirnya saya direposisi menjadi guru Agama dan Komputer. Kenapa?? Yang pertama tentu karena takdir. Kedua, jadi guru PAI kelas 7, karena memang latarbelakang pendidikan saya adalah keagamaan. Ketiga, jadi guru TIK kelas 9, saya bingung apa alasannya. Tapi mungkin karena dalam 4 tahun terakhir ini suka ngotak-atik komputer dan aktif di dunia maya. Dan saya juga menguasai beberapa aplikasi komputer. Plus pengetahuan bahasa Inggris yang cukup memumpuni ..PeDe!  Tapi yang pasti dan saya yakini tentu karena sekolah punya pertimbangan yang lebih dari itu.
Kembali ke persoalan “English Lovers”. Selama 3 semester itu berarti sudah 3 periode yang saya lewati dan tiga alumni per level yang lulus. Maklum, pergantian level di “English Lovers” adalah 1 semester alias 6 bulan sekali. Selama 3 periode itu, tentu saja karena konsepnya ABG “Anak Belajar Gratis”, “English Lovers” banyak peminatnya 87 orang dari kelas 1 sampe kelas 9. Pastinya, dengan berbagai latar belakang masing-masing siswa. Ada yang ikut karena ingin merasakan suasa santai dalam belajar yang belum pernah mereka alami selama ini di pertemuan klasikal. Maklum lagi, metode pembelajaran yang saya lakukan saya adopsi dari tiga lembaga pendidikan bahasa Inggris terkenal yaitu EF, LIA, dan IEC. Dulu waktu SMA saya tercatat aktif sebagai pelajar di ketiga tempat itu sekaligus di Lampung. Atau hanya sekedar ikut-ikutan pacar yang kebetulan kecantol “English Lovers”. Yah .. saya terima apapun motifnya, dan terbukti ini begitu menarik banyak siswa. Termasuk “The Fly”. Yang begitu setia “menemani” saya hingga masa bubarnya “English Lovers”.
Hanya “The Fly”yang saya sebut, karena mereka adalah peserta pertama dan terakhir “English Lovers” yang tersisa. Disinilah relevansi loyalitas mereka kepada saya. Selama tiga periode itu, “English Lovers” hanya menyisakan segelintir siswa saja. Yah.. itu mereka, “The Fly”. Berikut saya sajikan bagian cerita yang “dramatis”  yang saya janjikan sebelumnya. Dramatis, karena kalo saya inget masa-masa itu, mata saya jadi gatel terus “hujan”.
Konsep ABG (Anak Belajar Gratis) yang saya gagas, ternyata mengetuk hati sekolah untuk paling tidak memberikan kompensasi atas pengorbanan dan perjuangan saya selama mengajar “les”. Mungkin karena Allah kasian sama saya. Jumlahnya tidak banyak, tetapi sangat berharga bagi guru honorer dan mahasiswa seperti saya. Tercatat sudah 3 kali saya menerima fee (bayaran, coy!) itu selama tiga periode.  Uang itu saya gunakan untuk kuliah plus untuk jajan anak-anak dan beli “sedotan” alias rokok. Tapi pernah suatu ketika uang itu habis hanya untuk bayar uang semesteran kuliah. “Kalo gak bayar berarti gak boleh ikut ujian”, kata-kata itu begitu sering saya dengar dari bendahara kampus kalo mau ngadapin UTS.
Di suatu malam yang sunyi saya pernah termenung, andai saja “English Lovers” dan ketiga murid yang hobi “cngangas-cngengesan” –“The Fly”- itu tidak ada. Wah .. saya gak tau jadi apa saya waktu itu. Mungkin berhenti kuliah atau bahkan jadi kuli bangunan. Lagi, kalo saya inget masa-masa itu , sedih men! That’s why.. di dalam hati, saya selalu katakan: “Kalian itu Spesial”. Sekedar ucapan yang mewakili rasa terima kasih seorang guru kepada murid-nya yang loyal.
Saudara .. walau simpel, secara objektif saya menilai kisah setengah “curhat” ini didalamnya tersirat masukan bernilai luhur bagi perkembangan metode pendidikan. Bukan teori tapi praktek. Bahwa: (1) jadi guru honorer yang selalu enjoy akan membawa kita pada titik ikhlas berkorban. Baik waktu ataupun tenaga. (2) Jangan pernah tunjukkan bahwa kita punya masalah pribadi ketika berhadapan dengan anak-anak. Sehingga mereka yakin bahwa kita adalah tempat yang tepat untuk menjadi pendengar setia curhatan mereka. (3) Beri anak kebebasan menentukan gaya belajarnya masing-masing, jangan pernah marahi mereka atas kesalahannya, serta tampung dan penuhi aspirasi mereka yang sering kali disampaikan lewat body language yang termanifestasi dalam perilaku belajar mereka sehari-hari atau bahkan sekedar curhat.
Saya tulis cerita ini tentu saja tidak untuk menyinggung pihak-pihak tertentu. Kalo ada yang kesinggung, anggap aja itu angin lewat. Mohon maaf atas kekurangan dan kesalahan. Terima kasih sudah mau baca. Ingat! membaca adalah perintah agung dalam al-Qur’an. Jadi, bacalah cerita ini!

Ruang Perpustakaan SMP N I Purwosari, 23 Maret 2012
Salam manis,

Mas Guru JoPi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar